Pendekar Binal bagian 42

Anak itu ternyata bukan anak bayi yang diharapkan itu melainkan sebuah boneka belaka. 

Namun sudah terlambat, seluruh rumah berjangkit suara mendenging, beratus-ratus bintik perak memancar ke arahnya bagai hujan. Suara mendesing senjata rahasia itu tajam lagi cepat serta kuat pula, jelas beratus-ratus senjata rahasia itu seluruhnya tersambit dari tangan kaum ahli dan bertekad harus membinasakan Yan Nan Tian. 

Segenap pelosok rumah itu adalah sasaran berbagai macam senjata rahasia sehingga Yan Nan Tian benar-benar tidak diberi peluang untuk berkelit dan menghindar. Mendadak Yan Nan Tian bersuit nyaring, tubuh terus melayang ke atas, terdengarlah suara gemuruh, ia telah membobol atap rumah dan melayang keluar. 

Di bawah terdengar suara nyaring riuh ramai, beratus-ratus senjata rahasia berserakan memenuhi lantai. Di balik bayang-bayang gelap sekeliling rumah segera terdengar jerit kaget berulang-ulang, belasan bayangan orang segera berlari simpang siur. 

Kembali Yan Nan Tian bersuit panjang, laksana naga turun dari langit, mendadak ia menubruk dari atas. Terdengarlah suara gedebak-gedebuk disertai jeritan beberapa kali, seorang ditendangnya hingga mencelat ke tepi jalan, seorang dilemparkannya jauh ke tengah jalan, seorang lagi disodok hingga menerobos genting rumah. Semuanya kepala pecah dan otak berantakan. Namun sisanya masih sempat kabur, hanya sekejap saja lantas lenyap. 

Berdiri di tengah jalan raya itu Yan Nan Tian berteriak dengan suara murka, “Main sergap, tapi bisakah kalian menjatuhkan diriku? Kalau ingin jiwa orang bermargaYan ini, ayolah keluar bertanding!” 

Suara raungan murka Yan Nan Tian itu menggema angkasa dan tak hentinya menimbulkan kumandang dari jauh suara tantangan itu. 

Dengan langkahnya yang tegap kuat Yan Nan Tian menyusuri jalan sambil mencaci-maki dan menantang. Namun Lembah Iblis itu seakan-akan tak berpenghuni lagi, tiada seorang pun yang berani menongol. Meski seorang diri, namun Yan Nan Tian telah membuat seluruh penjahat yang menghuni Lembah Iblis itu ciut nyali semua, sungguh gagah perkasa dan berwibawa. 

Namun sedikit pun hati Yan Nan Tian tidak merasa bangga dan puas, sebaliknya ia merasa cemas, pedih dan murka. Meski langkahnya ringan gesit, namun perasaannya amat berat. 

Sekonyong-konyong, entah sejak kapan, seluruh sinar lampu di Lembah Iblis itu padam semua. Walaupun ada cahaya rembulan dan bintang, namun lembah maut itu tetap gelap gulita dan menggetar sukma. 

Mendadak seberkas sinar mengkilat menyambar dari balik pintu rumah sebelah, sebuah golok membacok sekuatnya. Serangan itu jelas berasal dari seorang jago silat terkenal, baik waktunya yang tepat, arahnya yang jitu, semuanya dilakukan dengan kena benar dan berkeyakinan kepala Yan Nan Tian pasti akan terbelah menjadi dua. 

Di luar dugaan, Yan Nan Tian yang tampaknya sama sekali tidak tahu akan serangan itu, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong tubuhnya dapat menyurut mundur sehingga golok itu menyambar lewat di depan hidungnya tanpa melukai seujung rambut pun. 

“Trang”, saking kerasnya tenaga serangan itu hingga golok membacok tanah dan memercikkan api. 

Secepat kilat tangan Yan Nan Tian terus membalik dan tepat mencengkeram pergelangan tangan penyergap itu sambil membentak bengis, “Keluar! Ingin kutanya padamu.” 

Di luar dugaan. mendadak pegangan Yan Nan Tian terasa enteng, meski tangan orang itu kena ditariknya keluar, tapi melulu sebuah tangan berlumuran darah tanpa pemiliknya. Kiranya orang itu telah menebas mentah-mentah lengan kanan sendiri. 

Keji amat dan tega benar hati orang itu. Bahkan suara mendengus saja tak terdengar sama sekali. Kejut, cemas, gusar dan gemas pula Yan Nan Tian, ia ambil goloknya dan buang lengan buntung itu, menyusul golok itu terus membacok, sebuah daun pintu kontan jebol. Namun di balik pintu tiada nampak bayangan seorang pun.

Pendekar Binal bagian 41

Yan Nan Tian menahan perasaannya dan menatap orang tanpa bicara. 

Orang berbaju hitam itu langsung mendekati Yan Nan Tian dan berdiri di depannya. Di antara sorot matanya yang licik itu terkulum juga senyuman licin pada mulutnya.

 “Selamat, Pendekar Yan!” tiba-tiba orang itu menyapa dengan tertawa sambil angkat tangan memberi hormat. 

“Hm,” Yan Nan Tian hanya mendengus saja. 

“Hamba ‘Si Pedang Pemburai Usus’ Sima Yan,” kata pula si baju hitam. 

Meski Yan Nan Tian sudah mengambil keputusan akan bersabar dan bersikap tenang, kini tidak urung terguncang juga perasaannya dan berseru tanpa kuasa, “Kiranya kau! Jadi kamu sudah di sini?!” 

Sima Yan terkekek licik, katanya, “Sebelum Pendekar Yan tiba, lebih dulu Hamba sudah sampai di sini. 

Sepak terjang Pendekar Yan akhir-akhir ini sudah kudengar, sebab itulah, begitu Pendekar Yan datang, orang-orang di sini juga lantas tahu.” 

Mendelik mata Yan Nan Tian, tapi tetap diam saja. 

“Pendekar Yan tidak perlu melotot padaku, kukira engkau takkan membunuh aku,” ujar Sima Yan, dengan tertawa licik. 

“Berdasar apa kau kira aku tak berani membunuhmu? Sungguh aneh, coba katakan!” bentak Yan Nan Tian bengis. 

“Sederhana, di antara dua negeri yang berperang, tidak mungkin membunuh utusan dari salah satu pihak,” kata Sima Yan dengan tertawa. 

“Utusan? Kamu ini utusan? utusan dari mana?” Yan Nan Tian menegas. 

“Hamba datang atas perintah untuk menanyai sesuatu pada Pendekar Yan,” jawab Sima Yan. 

“Apakah urusan mengenai anak itu?” tergerak juga hati Yan Nan Tian. 

“Benar!” jawab Sima Yan dengan tertawa. 

Segera Yan Nan Tian mencengkeram baju orang itu, bentaknya dengan suara parau, “Di mana anak itu?” 

Sima Yan tidak menjawab, dengan mengulum senyum ia pandang tangan Yan Nan Tian. Yan Nan Tian menggreget, tapi akhirnya ia kendurkan tangannya. 

Dengan tertawa-barulah Sima Yan menjelaskan, “Hamba disuruh menanyakan pada Pendekar Yan, apabila mereka menyerahkan kembali anak itu padamu, lalu bagaimana urusannya?” 

Tergetar hati Yan Nan Tian, sahutnya, “Untuk ini ….” 

“Apakah Pendekar Yan akan terus berangkat pergi dan untuk selamanya takkan datang lagi ke sini?” Sima Yan menegas. 

Kembali Yan Nan Tian menggreget, jawabnya dengan parau, “Demi anak itu, baik kuterima.” 

“Sekali sudah berjanji ....” 

“Apa yang pernah kukatakan selamanya takkan berubah!” bentak Yan Nan Tian dengan gusar. 

“Baik, silakan Pendekar Yan ikut padaku!” kata Sima Yan dengan tertawa. 

Berturut-turut mereka lantas keluar dari rumah itu. Suasana malam yang tenang meliputi Lembah Iblis, di bawah cahaya bulan yang remang-remang Lembah Iblis tampaknya bertambah aman dan tenteram. Sima Yan melangkah di jalanan batu yang licin itu, tindakannya enteng tanpa bersuara sedikit pun, tanpa berhenti ia terus menuju ke sebuah rumah dengan pintu setengah tertutup dan kelihatan cahaya terang menembus keluar. 

“Di dalam rumah inilah anak itu berada,” kata Sima Yan setiba di depan pintu.

 “Diharap setelah Pendekar Yan memondong anak itu keluar, hendaklah segera mundur kembali ke jalan engkau datang semula. Kereta yang dibawa Pendekar Yan itu pun sudah siap di mulut lembah sana.” 

Yan Nan Tian tidak sabar lagi, tanpa menunggu habis ucapan orang itu, segera ia menerobos ke dalam rumah. Di tengah rumah kelihatan ada sebuah meja bulat, anak itu memang betul tertaruh di atas meja. 
Darah Yan Nan Tian bergolak, sekali lompat maju segera ia pondong anak itu sambil berkata dengan pilu, “O, anak yang malang!”

 Tapi belum habis ucapannya, mendadak anak itu dibantingnya ke lantai sambil mengerang murka, “Bangsat keparat!”

Pendekar Binal bagian 40

Begitulah ia terus mengamuk, segala isi rumah itu diobrak-abriknya hingga berantakan. Namun penghuni Lembah Iblis seakan-akan sudah mampus seluruhnya, tiada seorang pun berani menongol. 

“Baik, ingin kulihat kalian akan sembunyi sampai kapan!” bentak Yan Nan Tian dengan murka sambil mengamuk sepanjang jalan.

 Tiba-tiba ia menerjang masuk sebuah rumah, “blang”, ia depak daun pintu rumah itu hingga roboh sebelah, di dalam rumah ada dua orang, mereka menjadi kaget melihat Yan Nan Tian menerjang masuk bagai orang gila, segera mereka hendak kabur. 

“Lari ke mana?” bentak Yan Nan Tian. 

Seperti kucing menerkam tikus, dengan cepat ia melompat maju, sekali meraih, punggung salah seorang itu kena dicengkeramnya. Kepandaian orang itu sebenarnya tidak lemah, tapi entah mengapa kini ia tak dapat berkutik sama sekali dan kena diangkat begitu saja seperti elang mencengkeram anak ayam. 

Di tengah gertakan Yan Nan Tian, sekali dorong, kontan kepala orang itu pecah berantakan menumbuk dinding. Keruan orang yang lain ketakutan setengah mati, kaki pun terasa lemas dan tidak sanggup lari lagi. “Bluk”, ia jatuh bersimpuh di tanah. 

Segera Yan Nan Tian mencomot kuduk orang itu sambil membentak, “Bangsat! Pergilah menyusul kawanmu!” 

“Nanti dulu, dengarkan perkataanku!” mendadak orang itu berteriak. 

“Apa yang hendak kau katakan?” tanya Yan Nan Tian, ia mengira orang akan memberitahukan di mana beradanya bayi yang hilang, sebab itulah ia menghentikan aksinya. 

Tak tahunya orang itu lantas bertanya malah, “Ada permusuhan dan dendam apa antara engkau dan aku, mengapa engkau berbuat sekeji ini?” 

“Penghuni Lembah Iblis adalah kawanan bangsat yang mahajahat, biarpun kubunuh habis juga takkan keliru!” bentak Yan Nan Tian gusar. 

“Benar!” seru orang itu. “Aku Wan Chun Liu dahulu memang betul orang jahat, tapi sudah lama aku memperbaiki diriku, mengapa kau ingin membunuhku pula? Ber ... berdasarkan apa engkau membunuh aku?” 

Sejenak Yan Nan Tian terkejut, gumamnya kemudian, berdasar apa aku membunuhnya? Mengapa aku tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperbaiki kelakuannya dan memperbaharui hidupnya?”

 Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia lepaskan pegangannya dan membentak perlahan, “Pergilah!” 

Cepat orang itu meronta bangun, tanpa menoleh lagi terus berlari pergi dengan langkah terhuyung. 

Sambil menyaksikan kepergian orang itu, Yan Nan Tian menghela napas panjang dan bergumam pula, 

“Apa gunanya membunuh orang yang tak bersalah? Wahai, Yan Nan Tian, Saudaramu Jian Feng hanya meninggalkan yatim piatu ini, jika kamu tidak bertindak dengan tenang dan menggunakan akal sehat, bisa jadi keturunan saudara angkatmu itu akan lenyap, biarpun kau bunuh habis segenap penghuni Lembah Iblis ini juga tiada gunanya lagi ….”

 Berpikir demikian, seketika api amarahnya padam. Segera ia pun menemukan berbagai keanehan di tempat ini. Ia lihat rumah ini sangat besar, sebuah ruangan yang penuh tertimbun macam-macam bahan obat-obatan. Selain itu ada belasan anglo dengan apinya yang sedang membara, setiap anglo itu ada perkakas masak sebangsa wajan, ceret serta alat lain yang berbentuk aneh dan tak diketahui namanya. Di dalam setiap perkakas masak itu tercium bau harum obat yang menusuk hidung. 

Yan Nan Tian sudah kenyang asam garam dunia Kangouw, pengalamannya banyak, pengetahuannya luas, terhadap ilmu pertabiban dan pengobatan juga tidak asing, pada waktu menganggur dia sering mencari bahan obat-obatan di lereng gunung dan pernah pula membuat beberapa macam obat luka menurut resepnya sendiri. Tapi sekarang bahan obat-obatan yang tertimbun di rumah ini, baik yang tertumpuk di pojok ruangan maupun yang sedang dimasak, paling-paling Yan Nan Tian hanya kenal dua-tiga jenis di antaranya, selebihnya hampir tak pernah dilihatnya. 

Baru sekarang ia terkejut, pikirnya, “Kiranya begini tinggi ilmu pertabiban Wan Chun Liu tadi, syukur aku tidak jadi membunuhnya. Jika dia tidak pernah menyesal pada kejahatannya yang dahulu dan tidak ingin memperbaikinya, tentu dia takkan susah payah mempelajari ilmu pengobatan yang bermanfaat bagi orang lain ini.” Bau harum obat yang dimasak itu semakin keras hingga akhirnya rumah itu penuh kabut asap dan menambah gaibnya rumah itu. 

Tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam tampak melangkah datang menembus kabut asap itu. Langkah orang itu sedemikian ringan, begitu gesit, sepasang matanya juga mengerling lincah dan terang.

Pendekar Binal bagian 39

Li Da Zui tidak sempat kabur, terpaksa ia berdiri di situ, katanya dengan tertawa, “Bagus, Yan Nan Tian, biar orang she Li ini yang coba-coba mengukur kepandaianmu.” 

Sembari bicara, mendadak ia menyelinap ke belakang Du Sha dan berkata pula, “Namun apa pun juga kepandaian Pendekar Du Sha lebih hebat daripadaku, adik tak berani bersaing dengan sang kakak. Silakan maju dulu, Pendekar Du Sha!” 

Padahal meski Yan Nan Tian sudah berdiri, namun tenaga murninya belum terhimpun, kalau saja beberapa orang itu menyerbunya sekaligus, dia sukar terhindar dari maut. Tapi Yan Nan Tian memperhitungkan dengan tepat jiwa licik orang-orang ini, berani pada yang lemah, takut pada yang kuat. 

Mementingkan diri sendiri dan lebih suka merugikan orang lain. Jika mereka disuruh bagi rezeki tentu akan maju sekaligus, sebaliknya jika mereka disuruh mengadu jiwa, jangan harap! Begitulah maka Yin Jiu You, Do Qiao Qiao, Ha Ha Er, Li Da Zui, dalam sekejap saja sama menghilang, hanya tertinggal Du Sha yang masih berdiri mematung di situ. 

Sementara itu tenaga murni Yan Nan Tian sudah terkumpul, sorot matanya memancar tajam, cuma ia belum segera turun tangan, dengan suara bengis ia membentak, “Kenapa kamu tidak lari seperti kawan-kawanmu?” 

“Menghadapi lawan, selamanya orang bermarga Du tak pernah lari!” jawab Du Sha tegas.

 “Jadi kau berani bertarung dengan aku?” tanya Yan Nan Tian

 “Benar!” belum lenyap suara Du Sha, serentak ia melompat maju, di tengah berkibarnya pakaian putih laksana gumpalan salju terseling dua buah tangan merah berdarah. 

Tui-hunhiat-jiu, Tangan Berdarah Pemburu Sukma, ilmu pukulan berbisa andalan Du Sha. 

“Bagus!” sambut Yan Nan Tian dengan tertawa keras.

 Ia pun angkat kedua tangan dan balas menghantam kedua telapak tangan lawan yang merah itu. 

Diam-diam Du Sha bergirang. Maklumlah, ia disegani karena tangan berbisanya yang merah berdarah itu, sebab dia memakai sarung tangan berduri yang telah direndam dengan cairan beratus macam racun. Asalkan badan kulit orang tergores sedikit saja, maka tidak sampai setengah jam kemudian orang itu pasti akan binasa. Racun itu boleh dikatakan “kena darah lantas tutup napas”, ganasnya luar biasa. 

Tapi sekarang Yan Nan Tian berani memapak tangannya yang berbisa itu dengan tangan telanjang, bukankah ini sama dengan mengantarkan nyawa? Maka terdengarlah suara gertakan berbaur dengan suara jeritan, menyusul lantas berbunyi “krek” satu kali. Sudah jelas Yan Nan Tian menjemput serangan tangan berdarah lawan dengan pukulan pula, tapi sampai di tengah jalan, entah bagaimana mendadak gerak serangannya itu berubah.

 Sekonyong-konyong Du Sha merasakan serangannya tak mencapai sasarannya, perasaannya mirip orang berjalan yang mendadak sebelah kaki menginjak tempat kosong. Keruan ia terkejut, gugup dan bingung pula.

 Pada saat itulah kedua pergelangan tangannya sudah kena dipegang Yan Nan Tian, baru saja dia menjerit kaget dan cemas, “krek”, pergelangan tangan kanannya telah dipatahkan menta-hmentah oleh lawan. 

Sebelum tubuh lawan roboh, Yan Nan Tian sempat mencengkeram pula baju dadanya dan membentak dengan bengis, “Di sini ada orang bernama Jiang Qin tidak?” 

Rasa sakit Du Sha tak terkatakan, namun ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sahutnya dengan parau, “Kalau memang tidak ada, ya tetap tidak ada!”

 “Dan di mana anak bayi itu?” bentak Yan Nan Tian pula.

 “Ti ... tidak tahu! Kau bunuh saja diriku!”

 “Mengingat keperkasaanmu, jiwamu kuampuni!” kata Yan Nan Tian, mendadak tangannya mengebas, Du Sha terlempar jauh. 

Hebat juga Du Sha dan tidak malu sebagai tokoh Bu-lim yang disegani, dalam keadaan demikian dia masih sanggup menguasai diri, dia berjumpalitan satu kali di udara, lalu tancapkan kakinya dengan enteng di atas tanah tanpa sempoyongan dan terjatuh. 

Jubahnya yang putih mulus sudah berlepotan darah, dengan tangan kiri memegangi tangan kanan sendiri, ia berseru dengan suara serak, “Sekarang kamu mengampuni aku, sebentar lagi kamu takkan kuampuni!” 

“Hahaha! Kapan Yan Nan Tian pernah minta diampuni orang?” jawab Yan Nan Tian sambil tertawa.

 “Baik!” kata Du Sha sambil melangkah pergi. “Kembalikan anak itu, kalau tidak, lembah ini pasti kuhancurleburkan!” bentak Yan Nan Tian dengan kereng. 

Suaranya menggelegar, namun segalanya sunyi senyap. Yan Nan Tian menjadi gusar, “blang”, sebuah meja ditendangnya hingga mencelat. “Brek”, sekali hantam dinding lantas berlubang.

Pendekar Binal bagian 38

Tanpa terasa mengkirik juga bulu roma Yan Nan Tian, pikirnya, “Benar-benar cocok dengan julukannya sebagai ‘setengah manusia setengah setan’ Yin Jiu You ini, bahkan cara bicaranya juga ‘tujuh bagian berbau setan.” 

“Hahaha!” demikian terdengar Ha Ha Er lagi berkata dengan tertawa, “Jadi setan saja Yin Jiu You juga tidak mau kesepian. Kalau Pendekar Yan sudah datang kemari, mana mungkin kau khawatir takkan mendapat teman di akhirat?” 

“Aku tidak sabar menunggu lagi!” sahut suara aneh tadi, suara Yin Jiu You yang berjuluk “setengah manusia setengah setan” itu. 

Belum lenyap suara itu, tiba-tiba Yan Nan Tian merasa sebuah tangan meraba kuduknya dari belakang, tangan itu terasa lebih dingin daripada es, seketika Yan Nan Tian juga menggigil karena rabaan itu.

 “Yin Jiu You, singkirkan tanganmu!” bentak Li Da Zui. 

“Sekali kena raba tangan setanmu, apa daging itu dapat dimakan lagi?” 

Yin Jiu You terkekeh, katanya, “Kamu yang turun tangan juga boleh, cuma lekasan sedikit.” 

“Nanti dulu, aku ingin menanyai dia lagi!” seru Du Sha mendadak.

 “Tanyalah, kan tiada yang merintangimu,” ujar Du Qiao Qiao dengan mengikik genit. 

“Yan Nan Tian,” segera Du Sha mulai bertanya, “apakah kedatanganmu ke sini hendak mencari diriku?”

 “Kamu belum sesuai bagiku,” jawab Yan Nan Tian. 

Du Sha tidak marah, dengan nada dingin ia bertanya pula, “Aku tidak sesuai bagimu, lalu siapa yang sesuai?” 

“Jiang Qin,” jawab Yan Nan Tian singkat. 

“Jiang Qin?” Du Sha mengulang nama itu.

 “Siapa dia? Pernahkah kalian mendengar nama itu?” 

“Haha, di Lembah Iblis tiada terdapat Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco) begitu!” kata Ha Ha Er.

 “Meski bangsat itu tak terkenal, tapi busuknya berpuluh kali lipat daripada kalian,” ujar Yan Nan Tian dengan geregetan. 

“Asalkan kalian mau menyerahkan keparat itu padaku, maka aku berjanji takkan membikin susah kalian.” 

“Haha bagus, bagus! Kalian dengar tidak apa yang dikatakan Pendekar Yan, beliau takkan membikin susah kita. Ayolah kita lekas mengucapkan terima kasih banyak-banyak.” 

Belum habis ucapannya, bergemuruhlah “hahahihi-kikik-kekek”, berbagai macam suara tertawa bergelak serentak. 

“Memangnya kalian merasa geli?” tawa Yan Nan Tian dengan geram.

 Du Qiao Qiao terkikik-kikik, katanya, “Saat ini kamu terikat oleh tiga belas utas tali, empat titik Hiat-tomu ditotok pula oleh Du Sha, mestinya kamu harus minta ampun pada kami, tapi kamu malah bilang takkan membikin susah kami, masakah di dunia ini ada kejadian yang lebih menggelikan daripada ini?” 

“Hm, “ Yan Nan Tian hanya mendengus. 

“Baiklah, biar kukatakan juga padamu bahwa di Lembah Iblis ini benar-benar tiada terdapat orang bernama Jiang Qin,” kata Du Qiao Qiao.

 “Pasti kamu telah dikibuli orang, agaknya orang itu sengaja mendorongmu untuk mengantarkan nyawa ke sini.” 

“Hahaha! Dan ternyata kau percaya begitu saja pada perkataan orang itu,” seru Ha Ha Er dengan tertawa. 

“Haha, sungguh lucu, sudah tua bangka Yan Nan Tian ternyata dapat ditipu seperti anak kecil saja.”

 “Bangsat!” sekonyong-konyong Yan Nan Tian membentak, suaranya keras laksana guntur menggelegar dan memekak telinga.

 “Celaka!” seru Du Qiao Qiao kaget. “Tenaga orang ini tampak kuat, jangan-jangan ilmu kunci totokan Du Sha telah dibobolnya secara diam-diam tadi.” 

“Hehe, terkaanmu memang tidak salah!” bentak Yan Nan Tian sambil tertawa.

 Mendadak ia melompat bangun, sekali kedua tangannya terpentang, serentak tiga belas tali kulit yang meringkus badannya itu putus semua. 

“Wah, celaka, mayat hidup lagi!” seru Yin Jiu You. 

Belum lenyap ucapannya, tahu-tahu orangnya sudah berada belasan meter jauhnya. Orang bermarga Yin ini suka membanggakan Ginkangnya nomor satu, ternyata cara larinya memang cepat luar biasa, tentu saja yang konyol adalah kawan-kawannya.

 Terdengarlah suara “brak”, sebuah meja ditumbuk roboh oleh Ha Ha Er, orangnya berguling-guling beberapa kali dan mendadak menghilang. Kiranya telah menyusup ke dalam liang di bawah tanah.

 “Ai, perempuan baik-baik takkan berkelahi dengan lelaki,” seru Du Qiao Qiao.

 “Awas, aku akan buka baju!” 

Benar saja, mendadak ia menanggalkan pakaiannya terus dilemparkan ke arah Yan Nan Tian. Ketika Yan Nan Tian menyampuk jatuh baju itu, ternyata si banci juga sudah menghilang.

Pendekar Binal bagian 37

“Namun sebelum ajal, Pendekar Yan masih sanggup tertawa, hal ini hampir  mirip dengan aku si Ha Ha Er ini,” seru Ha Ha Er dengan mengakak. 

“Dan kawan yang ini adalah ‘Put-sip-jinthau’ Li Da Zui, apakah Pendekar Yan pernah kenal atau mendengar namanya?” 

Suara seorang yang lantang segera menanggapi lebih dulu, “Sudah lama kudengar Pendekar Yan memiliki otot kawat tulang besi, kukira dagingnya pasti sama enak dengan dendeng sapi, nanti harus kukunyah dan kutelan dengan pelan-pelan agar dapat menikmati rasanya yang sejati.” 

“Haha, dasar, setiap membuka mulut Li Da Zui tidak pernah lupa pada kegemarannya,” kata Ha Ha Er. 

“Kuperkenalkan Pendekar Yan padamu, sepantasnya kau bicara secara ramah-tamah, mengapa sekali pentang mulut lantas menyatakan ingin makan dagingnya?”

 “Kukatakan daging Pendekar Yan pasti lezat, ini kan juga ucapan sanjung pujiku. Kalian yang hanya suka makan daging babi mana tahu artinya?” ujar Li Da Zui dengan tertawa. 

“Bicara makanan, babi adalah binatang kotor dan busuk, memang tidak sebersih daging manusia,” kata Ha Ha Er dengan tertawa. 

“Aku menjadi tertarik pada ajakanmu dan ingin mencicipi daging Pendekar Yan ini bagaimana rasanya. Haha, tapi kukuatir daging Pendekar Yan ini terlalu kasar, jangan-jangan nanti ... Hahaha ....”

 “Kamu bukan ahli makan, maka tidak paham,” sela Li Da Zui. “Daging yang seratnya kasar ada rasa kasar tersendiri, daging halus juga ada rasa halus tersendiri pula. Daging Hwesio (biksu) ada rasa daging Hwesio, daging Nikoh (biksuni) juga ada rasa daging Nikoh, satu dan lain tidak sama, masing-masing mempunyai citra rasa sendiri-sendiri.” 

“Apakah daging biksu juga pernah kau makan?” tiba-tiba sebuah suara genit bertanya.

 “Hah, tidak cuma pernah, bahkan sering,” sahut Li Da Zui. “Yang paling terkenal adalah Tiejan Hwesio dari Wutai Shan, hampir tiga hari suntuk kumakan dia .... Daging orang terkenal rasanya memang lebih lezat dan sedap.” 

“Sudah berapa orang yang kau makan seluruhnya?” tanya suara merdu tadi dengan tertawa genit. 

“Wah, sukar dihitung,” jawab Li Da Zui.

 “Daging siapa yang paling lezat?” tanya pula suara genit itu. 

“Kalau bicara halusnya dan lezatnya harus diakui daging istrku dahulu itu,” tutur Li Da Zui. 

“Dagingnya yang putih halus itu, wah, kalau terkenang sekarang sungguh air liurku bisa menetes.” 

“Haha, sudahlah, sudahlah, jangan bicara tentang daging manusia lagi,” seru Ha Ha Er. 

“Coba lihat, betapa gusarnya Pendekar Yan ....” 

“Benar, kita jangan membuat marah Pendekar Yan lagi, orang marah dagingnya akan kecut, ini adalah hasil penelitianku selama ini, kalian perlu tahu,” ujar Li Da Zui.

 Lalu Ha Ha Er menuding lagi kawannya yang lain dan memperkenalkannya pada Pendekar Yan, “Dan yang ini adalah ‘Bukan lelaki bukan perempuan’ Do Xiao Xiao ....” 

“Kan tadi aku yang membawakan arak dan santapan bagi Pendekar Yan,” sela suara genit tadi.

 “Jadi Pendekar Yan sudah kenal diriku, tidak perlu lagi kau perkenalkan.” 

Terkesiap juga hati Yan nan Tian, pikirnya, “Jadi gadis baju hijau tadi adalah samaran ‘si bukan lelaki bukan perempuan’ (alias banci) Do Xiao Xiao. 

Padahal iblis ini sudah terkenal lebih dua puluh tahun yang lalu, namun menyamar gadis berusia enam belas-tujuh belas tahun ternyata juga begitu persis.” Tangan berdarah Du Sha, kegemaran Li Da Zui memakan daging manusia, semua ini belum membuat terkejut pendekar besar ini, tapi kepandaian menyamar Do Xiao Xiao yang dapat mengelabui siapa pun juga ini sungguh membuatnya terkesiap.

Tiba-tiba terdengar seorang berseru, “Ha Ha Er, kenapa cerewet saja sejak tadi, memangnya kamu ingin memperkenalkan segenap penghuni lembah ini padanya? Ada lebih baik lekas kau tanya dia, habis mendapatkan keterangan selekasnya mengirim dia untuk menemani aku di akhirat.” 

Suara orang itu seperti mengambang di udara dan terputus-putus, kalimat pertama kedengaran berada di sebelah kiri, kalimat berikutnya terasa di sisi kanan. Cara bicara orang biasa betapa pun anehnya tentu juga bertenaga, cara bicara orang ini ternyata tiada tenaga sama sekali, mirip orang yang sekarat dan seperti orang bersuara dari dalam peti mati. 

Pendekar Binal bagian 36

Beberapa macam santapan itu memang punya cita rasa yang lezat dan sukar dicari bandingannya. Dalam waktu singkat makanan itu sudah disikat habis oleh Yan Nan Tian. Apalagi kalau mengingat sebentar lagi harus banyak mengeluarkan tenaga, jika perut kenyang tentu akan lebih kuat, maka dia makan dengan lebih cepat. 

“Nah, bagaimana kepandaian masak Thian-sip-sing itu?” tanya si gemuk dengan bergelak tertawa. 

“Lezat!” sahut Yan Nan Tian sambil mengusap mulutnya dengan lengan baju.

“Sebentar lagi tajin untuk kawan kecil itu tentu juga akan dibawa kemari,” ujar si gemuk pula.

 “Ya, makin cepat makin baik,” kata Yan Nan Tian. 

“Haha, setelah kawan kecil ini minum tajin, maka Pendekar Yan juga boleh mulai turun tangan,” demikian ucap si gemuk tiba-tiba.

 Keruan air muka Yan Nan Tian berubah seketika, katanya, “Apa ... apa yang kau katakan?” 

Kembali si gemuk tertawa terbahak-bahak, katanya, “Nama Pendekar Yan termasyhur di seluruh jagat, tampangmu juga lain daripada yang lain, sekali pun aku Ha Ha Er bermata buta juga dapat mengenal Pendekar Yan. Haha, tadi aku pura-pura salah sangka engkau sebagai Sima Yan, tujuanku adalah untuk mengelabui Pendekar Yan, kalau tidak mana mungkin engkau mau makan makanan yang dibuat oleh Tian Chi Xing dengan campuran obat tidurnya yang khas itu. Hahaha ….” 

“Bangsat keparat!” bentak Yan Nan Tian murka, sebelah kakinya terus mendepak, kontan meja dengan mangkuk piring di atasnya mencelat dan berantakan. 

Si pendek itu memang betul “Si Budha Tertawa” Ha Ha Er alias “Siau-li-cong-to” atau di balik tertawanya tersembunyi pisau. Julukannya ini melukiskan hatinya yang berbisa, tapi lahirnya suka tertawa, setiap ucapan pasti disertai tertawa ngakak, makanya dia bernama Ha Ha Er atau si tukang tertawa. 

Ketika meja didepak Yan Nan Tian, dengan gesit ia sudah melompat ke samping, lalu berolok-olok dengan tertawa, “Sebaiknya Pendekar Yan jangan banyak mengeluarkan tenaga, kalau tidak, racun di dalam tubuhmu tentu akan bekerja terlebih cepat dan ... Haha ... Haha ....” 

Yan Nan Tian merasa badannya tiada sesuatu tanda yang mencurigakan, ia pikir mungkin orang sengaja menggertak dan menakut-nakuti. Tapi ketika diam-diam ia coba mengerahkan tenaga dalamnya, benar saja, terasa sukar dikeluarkan. Keruan ia cemas dan gusar pula, segera ia menubruk maju terus menghantam. Tapi Ha Ha Er tetap berdiri tegak di tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak dan tidak menyerang.

 Ternyata sebelum pukulan Yan Nan Tian itu dilontarkan, lebih dulu tubuhnya sudah jatuh terjungkal. Anggota badannya terasa lemas lunglai, tenaga saktinya yang beribu-ribu kati itu entah hilang ke mana? Lamat-lamat didengarnya suara tertawa senang Ha Ha Er serta suara tangis anak bayi ... suara tertawa dan menangis itu terasa semakin menjauh dan akhirnya ... segalanya tak terdengar lagi .... 

Entah berselang berapa lama, Yan Nan Tian merasa ada lampu sedang memancarkan sinarnya di depan wajahnya. Perlahan ia membuka mata, terasa lampu itu seperti berputar-putar di depan matanya, ia ingin mendekap matanya tapi kaki dan tangan sedikit pun tak dapat bergerak. Kepalanya terasa sakit seakan-akan pecah, tenggorokan juga panas seperti terbakar. Sekuatnya ia mengertak gigi dan mendelik untuk memandang lentera itu. Mana ada lampu yang berputar? Segera ia dapat melihat jelas wajah tertawa di belakang lentera itu.

 “Bagus, Pendekar Yan sudah siuman,” terdengar Ha Ha Er berseru dengan tertawanya yang khas. 

“Di sini ada beberapa kawan yang sedang menunggu dan ingin menyaksikan betapa gagahnya si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia.” 

Segera Yan Nan Tian juga dapat melihat beberapa bayangan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, tapi sinar lentera menusuk pandangannya sehingga bagaimana macam orang-orang itu tidak jelas terlihat. 

Terdengar Ha Ha Er berkata pula dengan tertawa, “Apakah Pendekar Yan kenal beberapa kawan ini? Haha, biarlah kuperkenalkan mereka padamu, Nah, inilah ‘Si Tangan Berdarah’ Du Sha.” 

Lalu terdengar seorang membuka suara dengan nada dingin, “Dua puluh tahun yang lalu pernah kuberjumpa satu kali dengan Pendekar Yan, cuma sayang waktu itu Hamba ada urusan penting sehingga tidak sempat belajar kenal dengan kungfu sakti Pendekar Yan.” 

Yang bicara ini berperawakan tinggi kurus, memakai jubah panjang putih mulus, kedua tangan tersembunyi di dalam lengan bajunya yang panjang dan longgar. Wajahnya tampak pucat pasi, begitu pucat sehingga mirip es batu yang tembus cahaya. 

Dengan menahan rasa sakit kepalanya, Yan Nan Tian bergelak tertawa keras dan menjawab, “Ya, dua puluh tahun yang lalu, jika tidak mengingat kamu habis dilukai oleh Pendekar Langit Selatan Lu Zhong Da dan aku merasa tidak sudi menyerang orang yang sudah terluka, kalau tidak, mana mungkin kamu mampu hidup sampai sekarang?”

Air muka Du Sha sama sekali tidak berubah, dengan dingin ia menjawab, “Nyatanya hamba masih hidup sampai sekarang, bahkan akan terus hidup, sebaliknya Pendekar Yan sendiri yang segera mati.”

Pendekar Binal bagian 35

“Ehm,” Yan Nan Tian hanya mendengus perlahan.

 Si gemuk berkata pula dengan tertawa, “Tiga tahun yang lalu sudah tersiar berita bahwa Tuan bermusuhan dengan Joan-tiong-pat-gi, sejak itu kami sudah berharap-harap akan kedatanganmu ke sini. ternyata Tuan tidak segera muncul sehingga kami lama menunggu sampai sekarang.” 

“O,” Yan Nan Tian bersuara singkat pula. 

Diam-diam baru ia tahu bahwa orang-orang ini telah salah menyangkanya sebagai “Pendekar Pedang Pemburai Usus” Suma Yan. sebagaimana para Tetua dari Kunlun  serta Joan-tiong-sam-gi itu menyangkanya. Namun sedapatnya ia tetap tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu.

 Ketika si gemuk bermuka bulat itu menggapai, segera datang seorang dengan langkah gemulai, seorang gadis berbaju hijau, cantik dan genit. Matanya jeli dan giginya putih bak biji mentimun. Dengan lirikan yang genit gadis cantik itu mengucapkan salam hormat juga kepada Yan Nan Tian dan dijawab dengan dengusan singkat pula. 

Melihat sikap Yan Nan Tian yang kaku dan acuh itu, si gemuk berkata dengan tertawa, “Rupanya baru tiba dari tempat jauh, Tuan Sima Yan tiada hasrat bercengkerama denganmu. Lekas mengambilkan arak yang hangat untuk Tuan Sima Yan, lalu buatkan tajin kental bagi kawan kecil kita ini.” 

“Sungguh anak yang mungil dan manis,” kata gadis itu dengan tertawa genit sambil melirik sekejap kepada Yan Nan Tian, lalu melangkah pergi dengan gaya yang menggiurkan. 

Sorot mata Yan Nan Tian menatap si gemuk berwajah bulat itu, diam-diam ia pikir, “Mungkin orang inilah ‘Si Budha Tertawa", Ha Ha Er.

 Kalau melihat wajahnya yang selalu tertawa, terhadap anak kecil juga begini simpatik, lalu siapa yang menyangka bahwa di dalam semalam saja dia telah membunuh seluruh anggota keluarga gurunya. Soalnya cuma lantaran adik seperguruannyanya memaki dia dengan istilah ‘babi’ saja.” 

Tengah termenung, si gadis genit tadi sudah kembali dengan langkahnya yang meliuk-liuk dan membawa satu nampan makanan dan arak. Tercium bau arak yang harum, warna masakannya juga sangat menarik dan membuat orang meneteskan air liur. 

“Kawan Sima Yan datang dari jauh, tentu sudah lapar,” kata si gemuk dengan tertawa. “Silakan santap saja, setelah itu baru kita bicara lagi.” 

Kembali Yan Nan Tian cuma mendengus saja, tapi tidak menyentuh daharan yang disuguhkan itu.

 “Umumnya menyangka kami yang berada di sini pasti hidup susah dan menderita,” kata pula si pendek gemuk dengan tertawa, “mereka tidak tahu bahwa dengan berkumpulnya kaum cerdik pandai sebanyak ini di sini mana bisa kami menderita. Seumpama arak dan masakan ini, sekali pun raja juga sukar menikmatinya, supaya terbukti, silakan Saudara Suma Yan mencicipinya.”

 “O,” lagi-lagi Yan Nan Tian bersuara singkat saja.

 “Siapakah gerangan koki yang memasak makanan ini, kuyakin sama sekali takkan pernah terpikir oleh Saudara Sima yan,” ujar si buntak dengan tertawa. 

“Siapa?” tanya Yan Lam ;thian. 

“Pernahkah Saudara dengar di dalam Kaypang (partai pengemis) dahulu ada seorang tokohnya yang berjuluk ‘Tian Chi Xing’ (si tukang gegares)? Hanya di dalam setengah jam saja dia telah meracun mati tujuh tertua dari partai mereka ....” sampai di sini, 

mendadak “brak”, si babi menggebrak meja, lalu menyambung dengan bergelak, “Sungguh seorang ksatria sejati, seorang tokoh besar. Nah, yang membuat makanan ini adalah dia.”

 Diam-diam Yan Nan Tian terkejut, tapi tetap berlagak acuh-tak-acuh dan menanggapi dengan suara, “O!” begitu saja.

 Mendadak si gemuk  itu tertawa pula dan berseru, “Kawan Sima Yan benar-benar adalah tokoh pilihan kaum kita, sebelum persoalan menjadi jelas, sama sekali engkau tidak sudi makan. Padahal sebelum kedatangan Saudara Sima ini sebenarnya kami sudah pandang dirimu sebagai saudara sekaum ...” sampai di sini, segera ia angkat sumpit, setiap macam makanann dicicipinya dulu satu kali. 

Lalu menambahkan dengan tertawa, “Nah, apakah sekarang Kawan Sima Yan masih sangsi?” 

“Jika mereka telah salah sangka diriku sebagai Sima Yan, inilah kesempatan baik bagiku untuk menyelidiki jejak bangsat Jiang Qin itu,” demikian pikir Yan Nan Tian. 

“Kalau sekarang aku berkeras tidak mau makan, tentu akan menimbulkan curiga mereka. Apalagi mereka sudah mengira aku ini Sima Yan, rasanya mereka takkan mencelakai aku dengan racun.” 

Maklumlah sekali pun Yan Nan Tian adalah lelaki berdarah panas, tapi kecerdikannya tidak di bawah orang lain, kalau tidak masakah kawanan Piausu itu dapat diakali hingga kelabakan.

 Kini setelah dia pikir dan timbang lagi, ia merasa lebih baik makan daripada tidak, maka ia lantas angkat sumpit dan berkata, “Baiklah, mari makan!” Tanpa sungkan-sungkan lagi ia terus makan dan minum.

Pendekar Binal bagian 34

Sekonyong-konyong pandangan Yan Nan Tian terbeliak, di tengah-tengah lembah yang dikelilingi gunung-gunung itu mendadak timbul lapangan pelita secara aneh dan menakjubkan, begitu banyak titik-titik lampu hingga seperti bintang-bintang bertaburan di langit. 

Yan Nan Tian tahu di mana letak sinar lampu yang tak terhitung jumlahnya itu adalah “Lembah Iblis”, sarang berkumpulnya penjahat pelarian dari seluruh jagat ini. Biarpun hatinya sekeras baja, nyalinya sekuat besi, tapi menghadapi Lembah Iblis, tempat yang paling misterius dan paling berbahaya di dunia ini, mau-tak-mau timbul juga semacam perasaan aneh, serasa darahnya jadi mendidih dan mata berapi. 

Tanpa ragu kakinya tetap tegap melangkah ke depan sana. Dalam bayangan Yan Nan Tian tadinya, Lembah Iblis itu tentunya gelap gulita, seram dan menakutkan, tapi kini, sarang penjahat itu ternyata terang benderang oleh cahaya lampu. Namun cahaya lampu itu sama sekali tidak mengurangi keadaan misterius Lembah iblis itu, sebaliknya malah menambah kegaibannya yang sukar dilukiskan. Lantas, bagaimanakah sesungguhnya keadaan di Lembah iblis? 

Yan Nan Tian merasa denyut jantung sendiri pun bertambah keras, teka-teki akan segera terbongkar jawabannya. Di bawah cahaya lampu terlihat sebuah tugu batu berdiri tegak di tepi jalan dengan tulisan yang bersemboyan: “Masuk dan masuklah lembah ini, selamanya engkau takkan jadi budak”. 

Selewatnya tugu itu, jalanan mendadak menjadi datar, halus, di bawah cahaya lampu tampaknya licin laksana cermin. Namun Yan Nan Tian juga menyadari bahwa jalan yang halus licin ini juga jalan yang paling berbahaya di dunia ini. Setiap melangkah satu tindak terasa semakin dekat dengan bahaya dan kematian. 

Bukan hutan bukan gunung, Lembah iblis itu tampaknya lebih mirip sebuah kota kecil pegunungan. Deretan rumah berdiri di kedua sisi jalan, semua rumah dibangun secara indah, di balik pintu dan jendela tampak cahaya lampu sehingga suasana terasa aman tenteram. Tapi di tengah kota pegunungan yang aman tenteram itu sebenarnya tersembunyi betapa banyak perangkap yang telah mencelakai orang, betapa banyak tangan yang berlumuran darah manusia? Semua ini sukar diterka.

 Tangan Yan Nan Tian yang menarik kereta sudah berkeringat, kini ia sudah memasuki Lembah Iblis, setiap saat mungkin diserang secara keji dan mendatangkan maut baginya. 

Tiba-tiba dari depan sana ada orang datang. Seketika Yan Nan Tian waswas, ia tahu dalam sekejap ini mungkin akan terjadi pertarungan maut. Siapa duga kedua orang yang berpapasan dengan dia itu sama sekali tidak memandangnya, pakaian kedua orang itu sangat perlente, namun mereka lewat begitu saja di sebelah Yan Nan Tian. 

Dilihatnya orang di jalanan semakin banyak, akan tetapi tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Keruan Yan Nan Tian menjadi ragu, heran dan sangsi. Sebab ia tahu pasti orang yang berlalu-lalang itu semuanya adalah penjahat yang tangannya berlumuran darah. Kalau orang-orang itu serentak melancarkan serangan padanya takkan membuatnya heran, tapi kini gerak-gerik orang-orang itu tiada sesuatu pun yang mencurigakan, inilah yang membuatnya ragu dan tak dapat meraba apa sebenarnya yang akan terjadi.

 Lembah Iblis yang dipandang sebagai lembah maut bagi setiap insan persilatan, kini baginya ternyata seperti memasuki sebuah kota yang makmur, aman dan tenteram. Pikiran Yan Nan Tian menjadi bingung malah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama hidupnya entah betapa banyak persoalan pelik dan berbahaya yang telah dihadapinya, tapi belum ada sesuatu yang membuatnya bimbang seperti sekarang. 

Dalam kereta yang diseretnya itu terdengar suara tangisan bayi. Yan Nan Tian menghela napas, ia coba tenangkan diri. Dilihatnya di depan sana ada sebuah pintu yang terbuka. Dari dalam rumah itu terasa ada bau sedap makanan. Tanpa pikir panjang Yan Nan Tian menarik keretanya ke sana. Dengan langkah lebar ia masuk ke rumah itu. Ruangan yang indah dengan beberapa meja yang indah pula, dua meja di antaranya terdapat beberapa orang sedang minum arak sambil bersenda-gurau. Rumah ini seperti sebuah rumah makan, tapi jelas jauh lebih indah dan mewah daripada rumah makan umumnya. 

Dengan membopong bayi, Yan Nan Tian memilih salah sebuah meja dan duduk, dilihatnya rumah makan itu tiada sesuatu yang aneh, beberapa orang yang sedang minum arak itu berpakaian perlente dan bicara sewajarnya, sedikit pun tiada tanda-tanda bahwa mereka adalah penjahat yang pernah menghadapi jalan buntu dan terpaksa minggat ke lembah terpencil ini, sungguh aneh dan mengherankan Yan Nan Tian. 

Ia lupa bahwa manusia yang paling jahat, orang yang paling culas, pada lahirnya justru sukar ditemukan tanda-tanda khas itu. Kalau wajah mereka kelihatan bengis menakutkan sehingga orang yang melihatnya segera was-was akan segala kemungkinan, lalu kejahatan apa yang akan dapat mereka lakukan? Tentu akan gagal bukan? Hal ini sebenarnya sangat sederhana, namun jarang direnungkan oleh manusia dan tidak banyak yang paham. 

Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang. Orang ini pendek gemuk, mukanya berseri-seri, senyum selalu dikulum, itulah tipe seorang pemilik rumah makan yang selalu harus ramah tamah terhadap tamunya. Sedapatnya Yan Nan Tian bersabar dan duduk di tempatnya. 

Tapi si gemuk berwajah bulat itu lantas mendekatinya serta menegur dengan memberi salam, “Selamat datang Tuan!”

Pendekar Binal bagian 33

“Kaum penjahat itu rada-rata adalah orang yang sukar dilayani,” tutur Yang Ping, “lebih-lebih Do Qiao Qiao, si bukan lelaki bukan perempuan itu, bukan saja banyak tipu akalnya, bahkan kepandaiannya menyamar boleh dikatakan tiada bandingannya. Sekalipun orang yang paling akrab dengan engkau, bisa jadi mendadak berubah menjadi iblis itu yang menyamarnya. Konon sebabnya orang ini kabur ke Lembah Iblis bukan karena menghindari pencarian musuh, tapi ada sebab lain.”

 “Benar, dengan kepandaiannya menyamar, pada hakikatnya dia tidak perlu kabur ke Lembah Iblis, sebab orang lain toh tidak tahu persis bentuknya yang asli,” ujar Hai Chang Po. 

“Tak peduli kaburnya ke Lembah Iblis itu disebabkan apa, tak peduli betapa pintarnya dia mengubah wajahnya, yang pasti kumasuk ke sana sendirian, biarpun dia menyamar menjadi siapa pun juga takkan mengelabui aku,” kata Yan Nan Tian.

 “Haha, memangnya dia mampu menyamar menjadi bayi yang baru setengah bulan dilahirkan?” 

“Benar juga,” kata Yang Ping dengan tertawa, “sekali ini Pendekar Yan masuk ke sana dengan sendirian, biarpun dia memiliki kepandaian setinggi langit mungkin juga tiada gunanya lagi. Cuma ... cuma ....”

 Tanpa menunggu selesai ucapan orang, segera Yan Nan Tian memberi salam perpisahan terus melangkah pergi.

 “Pendekar Yan, engkau ....” serentak semua orang berseru.

 Namun Yan Nan Tian tidak menoleh lagi, sambil menyeret keretanya ia terus melangkah ke depan. Dia menarik keretanya dengan sebelah tangan saja, tapi ternyata jauh lebih kuat dan cepat daripada kereta itu dihela kuda. 

Semua orang saling pandang dengan melongo dan terdiam sekian lamanya, akhirnya Cang Yi Zi menghela napas dan berkata, “Sering kudengar orang mengatakan ilmu silat Pendekar Yan  sangat tinggi dan tiada bandingannya, setelah menyaksikan tadi ... Ai ....” 

“Tinggi ilmu silatnya memang sangat membuat kagum orang, yang lebih kukagumi adalah jiwa ksatrianya, budi luhurnya, semua ini membuat kaum kita harus malu diri,” ujar Yang Ping.

 Sambil memandangi bayangan Yan Nan Tian yang semakin menjauh dan akhirnya lenyap, Hai Chang Po bergumam, “Semoga kepergiannya ke Lembah Iblisini masih dapat keluar lagi untuk bertemu dengan kita ....” 

Jalan pegunungan semakin berliku dan terjal, tapi Yan Nan Tian tetap melangkah dengan biasa sambil menarik kereta, tampaknya sama sekali tidak makan tenaga. 

Di tengah remang senja diliputi kabut itu, tiba-tiba timbul setitik sinar pelita di depan sana. Itulah lampu minyak sejenis sentir yang disebut “Khong-beng-teng”, lampu yang asalnya diciptakan Khong Beng, itu ahli siasat di jaman Sam-kok. 

Secara tepat dan mengagumkan diselipkan di celah-celah batu cadas yang teraling dari tiupan angin, sinar lampu yang kelap kelip di lembah pegunungan yang menyeramkan ini tampaknya mirip “api setan” saja di waktu malam. 

Di bawah cahaya lampu itu, terlihat dua baris huruf yang terukir pada batu gunung itu berbunyi “Laksana naik ke langit untuk masuk ke lembah ini. Pendatang disilakan jalan di sebelah sini”. Bagian bawah kedua baris huruf itu ada ukiran ujung panah yang menunjukkan arah yang harus diturut. Sepanjang mata memandang ke sana terlihat lembah yang dikelilingi oleh pegunungan. 

“Kurang ajar! Sungguh kaum penjahat yang terlalu berani, secara terang-terangan ternyata berani memberi petunjuk jalan bagi orang yang hendak masuk ke sarang mereka,” demikian omel Yan Nan Tian dengan geram. 

“Ya, mungkin kalian mengira di dunia ini tidak ada orang baik yang berani masuk ke lembah maksiat kalian ini.” 

Padahal, orang baik-baik yang masuk ke Lembah Iblis memang Yan Nan Tian sendirilah terhitung orang pertama. 

Meski lereng pegunungan Kunlun sangat curam, tapi jalan yang menuju ke Lembah Iblis itu ternyata teratur dengan baik menembus ke balik gunung sana dan Lembah Iblis itu justru terletak di dasar lembah yang diapit gunung-gunung itu. Sebab itulah jalan yang masuk Lembah Iblis bukan menanjak ke atas, tapi justru semakin menurun, sampai akhirnya Yan Lamthian tidak perlu lagi menghela keretanya, sebaliknya dia malah seperti didorong oleh keretanya. Hanya jalan pegunungan itu semakin melingkar, cuaca juga tambah gelap sehingga pandangan sukar mencapai jauh.

Pendekar Binal bagian 32

Empat Pendeta Kunlun dan tiga Pendekar dari Sichuan  sama terkejut, tanya mereka berbareng, “Jadi Pendekar Yan sengaja hendak pergi ke Lembah Iblis?” 

“Ya,” jawab Yan Nan Tian dengan tertawa. “Tapi kepergianku ke sana bukanlah untuk menghindari pencarian musuh atau mengasingkan diri melainkan justru hendak mencari musuh yang sembunyi di sana.” 

“Namun ... namun Lembah Iblis adalah ....” 

Belum habis Cang Yi Zi bicara, dengan suara bengis Yan Nan Tian memotong, “Biarpun Lembah Iblis itu adalah sarang naga juga akan kumasuki!” 

“Keperwiraan dan keluhuran budi Pendekar Yan sudah cukup kami kenal,” ujar Cang Yi Zi. “Cuma ... cuma Lembah Iblis adalah tempat berkumpulnya kaum penjahat, mungkin dalam sejarah belum pernah ada tempat yang dihuni oleh penjahat sebanyak itu, bahkan juga belum pernah terjadi seorang berani menjejakkan kakinya disana. Maka sebaiknya Pendekar Yan  mempertimbangkan  kembali.”

Sinar mata Yan Nan Tian menyala bagai obor dan memandang jauh ke lembah yang diselimuti kabut tebal itu, katanya dengan suara mantap, “Seorang lelaki sejati, asalkan dapat berbuat beberapa hal yang tak berani dilakukan orang lain, meski mati juga takkan menyesal.” 

Keempat Pendeta Kunlun saling pandang sekejap dengan rasa malu diri. 

Yang Ping berkata pula, “Tapi setahu hamba, selama dua puluh tahun ini, di antara kesepuluh gembong iblis yang paling jahat di dunia Kangouw, sedikitnya ada empat orang yang telah memasuki Lembah Iblis itu.” 

“Mungkin lebih daripada empat orang,” ujar Hai Chang Po. “Yang jelas sudah berada di sana adalah Si Tangan Berdarah Du Sha, lalu Si Di Balik Tertawa Tersembunyi Sembilu Ha Ha’er, ‘Si Bukan Lelaki Bukan Perempuan  Do Qiao Qiao serta Si Tidak Makan Kepala Manusia Li Da Zui....”

 “Li Da Zui?” Yan Nan Tian menegas. “Apakah si iblis yang terkenal gemar makan manusia itu?”

“Ya,” jawab Hai Chang Po. “Orang menjulukinya "tidak memakan kepala manusia" untuk menggambarkan bahwa yang dimakan kecuali kepala manusia, malah semuanya dimakan olehnya. Dia malah bergelak tertawa mendengar nama julukan itu, dia bilang sebenarnya kepala manusia juga dimakan olehnya.” 

“Makhluk sejahat itu, mana boleh dibiarkan hidup terus,” kata Yan Nan Tian dengan gusar.

 “Konon Li Da Zui ini rada memiliki sifat ksatria, baik ilmu silatnya maupun ilmu sastranya boleh dikatakan cukup lumayan, selain gemar makan manusia, urusan lain-lain terhitung baik.”

 “Hm, masakah makan manusia saja belum cukup jahat?” teriak Yan Nan Tian dengan gusar. 

“Sungguh pun begitu, tapi Ketua Perserikatan San Xiang Wu Lin di daerah tiga propinsi utara, yaitu Thi Wushuang, Pendekar Thi, entah sebab apa ternyata menaruh simpati padanya,” tutur Hai Cang Po, “dengan tulus hati Pendekar Thi ingin menarik Li Da Zui ke jalan yang baik, untuk itu beliau rela menjodohkan putri tunggal kesayangannya kepada orang bermarga Li itu, maksudnya agar putrinya dapat mengawasi tindak-tanduk Li Da Zuidemi memperbaiki perbuatannya yang jahat itu.”

“Tapi dasar jahat ya tetap jahat, betapa pun anjing tetap makan bangkai,” tutur Hai Chang Po. 

“Belum ada tiga tahun dinikahkan, kegemaran Li Da Zui sudah timbul kembali, pengantin perempuan telah disembelihnya dan dimakan mentah-mentah olehnya.” 

“Sungguh bangsat keparat!” teriak Yan Nan Tian saking murka. 

“Karena itu juga Pendekar Thi menjadi gusar, bersama belasan anak muridnya ia bersumpah akan mencabut nyawa Li Da Zui. Namun orang bermarga Li itu cukup cerdik, sebelumnya dia sudah kabur masuk ke Lembah Iblis.” 

Dengan menyesal Yang Ping lantas menyambung, “Sudah tentu Pendekar Thi sangat menyesalkan keputusannya yang salah memungut menantu Li Da Zui, tapi ia pun tidak tega menyiarkan kematian putrinya yang mengerikan itu, dia hanya memberi keterangan bahwa putrinya meninggal karena sakit keras. Kalau saja hubungan kami dengan Pendekar Thi tidak cukup erat, mungkin urusan ini takkan diketahui sejelas ini oleh orang lain.” 

“Pantas orang Kangouw tidak banyak yang mengetahui kejadian ini,” kata Yan Nan Tian dengan geregetan.” Tapi ... Thi Wushiang terhitung juga ksatria yang tak gentar terhadap siapa pun juga, kenapa dia tinggal diam saja menyaksikan bangsat itu hidup bebas tenteram di Lembah Iblis?” 

“Pendekar Thi memang bermaksud memburunya ke Lembah Iblis, namun muridnya mencegahnya, Nyonya Thi juga berlutut dan mohon sang suami agar jangan pergi ke sarang penjahat itu, mau-tak-mau Pendekar Thi menjadi ragu untuk bertindak.” 

“Baru kehilangan putri kesayangan, pantas kalau Nyonya Thi tidak mau membiarkan sang suami menyerempet bahaya pula,” kata Yan Nan Tian sambil menghela napas. “Ai, seorang lelaki sejati tidak perlu harus beristri, rasanya tindakan demikian juga bukan sesuatu yang bodoh.”

 “Kecuali keempat iblis tadi,” sambung Hai Chang Po, “kabarnya Yin Jiu Yaou, itu iblis yang membanggakan Ginkangnya (ilmu peringan tubuh) tiada bandingannya di dunia ini serta suka meracun orang secara diam-diam, katanya juga kabur ke Lembah Iblis.” 

“O, jadi ‘Si Setengah Manusia Setengah Setan, Yin Jiu Yaou juga berada di sana?” Yan Nan Tian menegas dengan waswas. 

“Konon dia berhasil membunuh murid Shaolin, yaitu Li Da Yuan, tapi kabarnya dia juga sudah dibunuh pula oleh para tertua Shaolin.” 

“Ya, di dunia Kangouw memang tersiar berita demikian,” ujar Hai Chang Po, “tapi menurut sumber yang mengetahui kejadian di balik layar, katanya para tertua partai Shaolin memang sudah berhasil membekuk dan mengurung iblis ‘setengah manusia setengah setan’ itu, namun akhirnya dia berhasil lolos pula. Karena kejadian ini menyangkut kehormatan Shaolin, maka murid-murid Shaolin sama sekali tidak ada yang mau bercerita.” 

“Itulah kelemahan manusia umumnya yang suka menjaga muka,” ujar Yan Nan Tian dengan menyesal. “Sebabnya Shaolin yang terkenal itu makin hari makin merosot, soalnya karena setiap murid Shaolin terlalu suka menjaga muka.” 

“Ya, memang bukanlah pekerjaan mudah untuk tetap mempertahankan wibawa dan nama baik sesuatu aliran agar tidak merosot,” kata Cang Yi Zi. Sudah tentu ucapannya ini timbul karena ada sebabnya. Bukankah Perguruan Kunlun  pun kian hari kian lemah? 

Pendekar Binal bagian 31

Orang itu bermaksud menangkis dengan pedang, tapi tiba-tiba pikirannya tergerak, air mukanya berubah pucat, cepat ia mendoyong ke belakang dan tak berani menangkis, sebisanya ia melompat mundur. Namun sinar pedang Yan Nan Tian seakan-akan tidak terputus-putus dan terus membayangi lawannya. Keruan nyali orang itu serasa rontok, terpaksa ia menangkis sekuatnya dengan pedang. “Trang”, kedua pedang beradu. 

Kedua batang pedang itu sebenarnya berasal dari gemblengan pande besi yang sama ahli, tapi entah mengapa pedang orang itu ternyata kena ditebas menjadi dua. 

Untuk menghindari renggutan maut, cepat orang itu menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana. 

Tiba-tiba Yan Nan Tian bersuit panjang, laksana sinar kilat pedangnya menyambar pula. Betapa lihai serangan ini sungguh menggetar bumi dan mengguncang langit. 

Di tengah bertebarnya sinar pedang, sekonyong-konyong terdengar suara, “creng” yang nyaring memekak telinga. Nampaklah tiga Taojin jubah biru dengan sebelah kaki bertekuk-lutut di tanah, pedang mereka bersilang menangkis ke atas untuk menahan serangan pedang Yan Nan Tian yang mahalihai itu. Sedangkan orang tadi hampir saja kelengar saking kagetnya.

Dengan berdiri tegak berwibawa menekan pedangnya ke bawah, Yan Nan Tian bertanya dengan kereng, “Yang menangkis pedangku ini Si Empat Rajawali ataukah Si Tiga Elang ?”

Tujuh Pendekar Pedang Kunlun adalah tujuh pendekar pedang dari gunung Kun Lun yang terdiri dari para pendekar berjuluk Empat Rajawali dan Tiga Elang.

“Empat Rajawali!” sahut salah seorang Taojin itu. 

“Dari mana kau tahu ....” Taojin keheranan

“Di jaman ini, kecuali Tujuh Pendekar Pedang Kunlun, siapalagi yang mampu menangkis tebasan pedangku ini?” ujar Yan Nan Tian. “

Di dunia ini, selain Pendekar Yan, mungkin tiada orang lain lagi mampu membuat kami bertiga terpaksa harus menangkis suatu serangan bersama!” kata Taojin itu.

“Tapi mengapa Tujuh Pendekar Pedang Kunlun melakukan sergapan keji ini kepadaku, sungguh aku tidak mengerti?” bentak Yan Nan Tian.

 “Kami sengaja menunggu di sini, sebenarnya yang ingin kami cegat adalah seorang pelarian yang hendak memasuki ‘Lembah Iblis’,” tutur Taojin itu dengan tersenyum getir.

 “Sungguh kami tak pernah menduga bahwa Pendekar Yan juga bisa mendatangi Lembah Iblis ini.” 

“O, apakah kalian menyangka diriku ini orang yang kalian incar itu?” tanya Yan Nan Tian.

 “Ya, jika bukan begitu, masakah kami sampai mencari perkara kepada Pendekar Yan?” kata si Taojin dengan menyesal. 

Yan Nan Tian menarik kembali pedangnya, dan baru saja pedangnya diangkat, “trang”, serentak pedang ketiga Taojin itu jatuh ke tanah, tangan mereka serasa tak sanggup diangkat lagi. 

“Siapakah orang yang hendak kalian sergap itu?” tanya Yan Nan Tian. 

“Sima Yan,” jawab Kunlun Taojin. 

“Apakah Sima Yan yang berjuluk ‘Pedang Pemburai Usus) itu?” tertarik juga Yan Nan Tian oleh nama itu. 

“Benar, memang bangsat keparat itulah,” kata Kunlun Taojin dengan gemas.

 “Dari mana kalian mengetahui bangsat itu akan datang kemari?”

 “Delapan Pendekar dari Sichuan  mengejarnya sepanjang jalan hingga di sini,” tutur Kunlun Taojin.

 “Ketiga saudara inilah Yang Ping, tertua dari Delapan Pendekar dari Sichuan, Hai Cang  Po, pendekar ketiga dan Hai Jin Po, pendekar ketujuh ....” 

Nama Delapan Pendekar dari Sichuan cukup tenar juga di dunia Kangouw, ketiga orang yang diperkenalkan itu memang gagah dan berwibawa. 

Yang Ping, tertua Delapan Pendekar dari Sichuan itu lantas memberi hormat dan berkata, “Sudah cukup jauh kami memburu bangsat Suma itu, sampai di lembah sungai Hwang barulah kehilangan jejaknya. Kalau dia sempat memasuki Lembah Iblis, sungguh hamba merasa penasaran, sebab itulah kami mengundang keempat Pendeta Tao ini untuk membantu berjaga di sini.”

 “Pantas cara turun tangan kalian sangat keji,” ujar Yan Nan Tian. “Ya, terhadap kaum penjahat begitu memang perlu tindakan tegas, semakin keji semakin baik, tidak perlu kenal ampun.” 

Cang Yi Ji, Taojin yang mengepalai Empat Rajawali itu, bertanya, “Lalu... mengapa Pendekar Yan juga datang ke sini?” 

“Tempat tujuanku memang Lembah Iblis!” jawab Yan Nan Tian.

Pendekar Binal bagian 30

Kun Lun Shan, barisan pegunungan terpanjang dan terbesar di Tiongkok, terbagi tiga cabang: utara, tengah dan selatan. Tiga cabang bukit barisan ini berpangkal dari dataran tinggi Pamir di pegunungan Himalaya dan membentang ke timur hingga hampir meratai seluruh negeri Tiongkok. 

Kun Lun Shan atau pegunungan Kun Lun yang dimaksudkan di sini adalah pegunungan sumber aliran ilmu silat yang termasyhur yang terletak di hulu sungai He, di propinsi Cinghay. Di antara puncak gunung yang berderet-deret itu berdiri tegak Puncak Naga Giok. Meski sekarang masih musim panas, namun di kaki Puncak Naga Giok sudah terasa seperti di musim dingin, angin meniup keras dan kabut tebal membungkus pegunungan yang lembab itu. 

Akhirnya Yan Nan Tian tiba juga di kaki Puncak Naga Giok itu, orangnya kelihatan pucat kurus, kudanya juga kelelahan, bahkan roda keretanya seakan-akan juga sukar menggelinding lagi. Bayangan raksasa pegunungan dengan berat menindihi kereta kuda itu. Tangan kiri Yan Nan Tian memegang tali kendali dan tangan kanan memondong bayi, bau harum menusuk hidung yang tersiar dari dalam kereta membuatnya hampir muntah. Tapi bayi itu sedang tidur dengan lelapnya, anak sekecil itu rupanya sudah terbiasa oleh siksa derita dalam pengembaraan.

 Dengan penuh kasih sayang tak terbatas Yan Nan Tian memandangi wajah kecil itu, tiba-tiba ia mengulum senyum dan bergumam, “Nak, sepanjang jalan ini tidak sedikit kau minum susu orang. sampai di sini kau disusui orang secara berganti-ganti, di dunia ini selain dirimu rasanya tiada anak lain yang ....” sampai di sini mendadak ucapannya terhenti, tubuhnya juga mendadak mengapung ke atas. 

Saat tubuhnya mengapung ke udara itulah segera terdengar pula suara “tek-tak-tok” belasan kali, belasan jenis senjata rahasia dari berbagai ukuran sama menancap di tempat yang didudukinya tadi. Sungguh berbahaya. Apabila dia terlambat mengapung sedetik saja, tentu tubuhnya sudah bertambah belasan lubang. Setelah berjumpalitan di udara, tangan kirinya, meraih pelana kuda, segera orangnya menyusup ke bawah perut kuda, ia tidak takut dirinya sendiri terluka, tapi menguatirkan keselamatan bayi dalam pelukannya itu.

Gerakannya itu sungguh cepat dan gesit luar biasa, mau tak mau membuat si penyergap berseru memuji, “Kepandaian hebat!” 

“Main sergap, bangsat?” bentak Yan Nan Tian. 

Belum lenyap suaranya, kembali kuda tadi meringkik kaget dan berdiri menegak, badan kuda segera menyemburkan belasan pancuran darah segar. Tanpa pikir lagi telapak tangan Yan Nan Tian lantas menghantam, “blang-blang”, kayu kereta yang mengapit kuda patah dan kuda yang terluka itu meloncat ke depan. Menyusul Yan Nan Tian menghantam pula sekerasnya, “blang”, dinding kereta berlubang besar, selagi kuda tadi meringkik panjang, bayi di tangan kirinya itu telah dimasukkan ke dalam kereta melalui lubang yang dibobolnya tadi. 

Sementara itu berpuluh bintik-bintik perak telah menghujani pula. Secepat kilat Yan Nan Tian menjulang tinggi lagi ke atas, terdengar suara mendenging menyambar lewat di bawah kakinya. Dalam keadaan gawat begitu, kalau sedikit lena saja, sekalipun Yan Nan Tian sendiri selamat, bayi dalam pondongannya pasti akan menjadi korban. Andaikan bayinya tidak tewas, tentu kereta itu juga akan ditarik kuda yang terluka itu dan menggilasnya.

Begitulah selagi tubuh Yan Nan Tian masih terapung di udara, tiba-tiba ia sudah dikerubut oleh beberapa jalur sinar pedang. Begitu ketat jaringan pedang itu mengurungnya, tampaknya sukar baginya untuk mengelakkan diri, andaikan dapat menghindarkan serangan pedang ini tentu juga tak terluput oleh tebasan pedang yang lain. Siapa duga, selagi badan terapung di udara itulah, sekuatnya ia pentang kedua tangan, mendadak tubuhnya mengapung lebih tinggi lagi beberapa meter sehingga semua serangan pedang menyambar lewat di bawah kakinya. 

Terdengar suara “trang-tring” yang ramai, serangan beberapa pedang itu tak sempat menahan diri sehingga saling bentur sendiri. Tapi sekali saling gebrak, lalu berhenti, tujuh atau delapan orang sama melompat mundur. 

Di bawah cuaca remang-remang tertampak si antara mereka itu ada empat orang berdandan sebagai Taojin (pendeta agama Tao). Sementara itu Yan Nan Tian sempat menancapkan kakinya di atas kereta, habis itu secepat kilat ia meluncur ke depan, kedua telapak tangan terus menghantam batok kepala seorang Taojin berjubah biru paling depan. Karena merasa dirinya diserang secara keji, maka serangan balasannya sekarang juga tanpa kenal ampun. Betapa hebat pukulan Yan Nan Tian ini sungguh luar biasa. Tentu saja si jubah biru terkejut oleh sambaran angin pukulan yang mahadahsyat itu, ia tergetar mundur dan sebisanya pedang terus menebas. 

Taojin ini bukan sembarangan Taojin, jurus pedangnya ini hasil latihan berpuluh tahun lamanya, ia yakin seumpama pedangnya tidak dapat melukai musuh, sedikitnya cukup untuk membela diri. Tak terduga, belum habis sama sekali pedangnya ditebaskan, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kencang, pedang sudah berpindah ke tangan lawan. Sungguh Taojin yang hebat, menghadapi bahaya ia tidak menjadi bingung dan sempat menyelinap lewat di bawah angin pukulan Yan Nan Tian. 

Melihat ketangkasan lawan, tanpa terasa Yan Nan Tian juga berseru memuji, “Bagus!” Berbareng dengan seruannya itu, pedang rampasannya lantas menyabet lawan yang berada di sampingnya. 

Yan Nan Tian berjuluk “Si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia”, maka dapat dibayangkan betapa lihai serangannya. Di tengah guncangan angin senjata, sayup-sayup membawa serta suara gemuruh. 

Pendekar Binal bagian 29

“Jian Li Hiang”, itulah tiga huruf emas yang tertatah pada sebuah papan merek di jalan raya kota Taiyuan di propinsi Shanxi, cahaya sang surya pada waktu senja masih mencorong dengan gemilangnya sehingga tiga huruf emas merek dagang itu pun memantulkan sinar yang gemerlapan.

“Jian Li Hiang” atau harum seribu li, ini adalah benar-benar merek dagang emas, setiap penduduk propinsi Soasay kenal nama perusahaan dagang ini, bahwa bahan wewangian produksi Jian Li Hiang adalah barang tulen, murni, tiada kadar campuran sedikit pun.

Menjelang maghrib, belasan pegawai toko Jian Li Hiang sedang makan malam, orang berlalu lalang di jalan raya, itulah saatnya paling ramai bagi orang berbelanja, berjalan-jalan atau melihat-lihat.

Sekonyong-konyong sebuah kereta besar dilarikan dengan kencang melalui jalan raya paling ramai itu, sekali pengendara kereta itu membentak laksana bunyi guntur menggelegar, langsung kereta itu menerobos masuk ke dalam toko Jian Li Hiang.

Tentu saja pegawai toko wewangian itu kaget dan gusar pula, serentak mereka mengerubut maju. Tapi sekali pengendara kereta itu melompat turun, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu belasan pegawai toko itu merasa badan kaku kesemutan, lalu tak mampu bergerak lagi. Dengan melongo mereka menyaksikan lelaki kekar pengendara kereta itu mengambil rempah-rempah wewangian seguci demi seguci dan dijejalkan ke dalam kedua peti mati yang berada di atas kereta.

Sejenak kemudian lelaki kekar itu menghalau keretanya keluar dari toko dengan cepat sambil berteriak, “Setengah jam lagi kalian akan pulih seperti biasa, tentang harga wewangian yang kuambil ini, kelak pasti kubayar dengan harga lipat!”

Banyak juga orang ramai menyaksikan kejadian itu, tapi setiap orang sama terpengaruh oleh sikap garang dan kereng lelaki itu sehingga tiada seorang pun berani merintanginya ....

Sore hari, ladang semangka di tepi jalan mengeluarkan bau sedap semangka yang sudah waktunya dipanen. Seorang wanita petani muda tampak duduk kemalas-malasan berteduh di bawah pohon di tepi ladang semangka.

Baju wanita petani muda itu setengah tersingkap sehingga jelas kelihatan buah dadanya yang lebih besar daripada semangka di ladang. Wanita muda itu sedang menyusui bayi dalam pangkuannya dengan air ASI yang terlebih manis daripada air semangka.

Angin meniup silir-silir membuat wanita muda itu mengantuk. Dalam keadaan setengah tertidur itu ia seperti merasakan ada sepasang mata yang sedang mengincar dadanya yang montok itu.

Di kampung petani itu juga tidak sedikit pemuda bajul buntung, sehari-harinya dia sudah biasa dipandangi orang. Maklum biarpun wanita petani, dia masih muda, montok, wajahnya juga tidak terlalu jelek. Tapi dia sudah punya anak, dia merasa tiada artinya soal pandang memandang itu. Akan tetapi kini ia merasakan sepasang mata itu lain daripada yang lain.

Tanpa terasa ia buka matanya, terlihatlah di samping pohon sana benar-benar ada seorang lelaki yang sedang melotot ke arah dadanya.

Lelaki itu tidak tampan, pakaiannya juga tidak perlente, wajahnya bahkan kekurus-kurusan, tapi entah mengapa, tampaknya kereng dan berwibawa. Yang aneh adalah lelaki kekar itu justru memondong seorang bayi.

Walaupun merasa heran, tapi wanita petani itu tidak ambil pusing, ia menunduk kembali memandang bayinya sendiri. Mendadak terdengar bayi dalam pondongan lelaki itu menangis, suara tangisnya juga nyaring.

Perempuan muda itu belum lama menjadi ibu, hatinya sedang penuh diliputi kasih sayang seorang ibu, mendengar tangisan bayi itu, tanpa terasa ia angkat kepalanya lagi. Sekali ini dia dapat membedakan bahwa sepasang mata lelaki kekar yang mengincar dadanya itu lain daripada mata lelaki buaya umumnya, tapi penuh mengandung perasaan memohon kasihan.

Tanpa terasa perempuan petani itu tersenyum dan bertanya, “Apakah ibu anak itu tidak berada di sini?”

“Ya, tidak ada,” lelaki itu menggeleng.

Wanita petani itu berpikir sejenak, lalu berkata pula, “Tampaknya dia lapar.”

“Ya, lapar,” sahut lelaki itu sambil mengangguk.

Setelah memandang sekejap bayi dalam pangkuannya sendiri, mendadak wanita petani itu berkata dengan tertawa, “Coba berikan anakmu itu, biar kususui dia. Mendingan kemarin aku baru lalap dua ekor ayam tim, ASI-ku lagi kelebihan, kukira takkan habis diminum anakku ini.”

Seketika wajah lelaki yang kereng itu mengunjuk rasa girang, cepat ia mengucapkan terima kasih dan menyodorkan bayinya. Terlihat bulu halus bayi itu belum lagi rontok, kulitnya masih kemerah-merahan, jelas baru beberapa hari saja dilahirkan. Tapi mukanya yang berkulit lembut itu ternyata sudah ada segaris bekas luka.

Wanita petani itu berkerut kening, katanya, “Ai, kalau membawa anak perlu hati-hati sedikit.

Ibu si bocah ini juga terlalu, masakah diserahkan padamu tanpa khawatir apa-apa.”

“Ibu anak ini sudah meninggal,” kata lelaki itu dengan sedih.

Wanita petani itu terkejut, perlahan ia membelai wajah bayi yang halus itu, katanya dengan terharu, “Ai, sungguh kasihan, baru lahir sudah kehilangan ibu.”

Lelaki itu menengadah dan menghela napas panjang, dengan pandangan sayu dia menatap anak bayi itu dengan perasaan pedih dan duka yang tak terlukiskan serta kasih sayang yang tak terkatakan.

Anak itu seakan-akan memang dilahirkan dengan nasib malang. Baru dilahirkan sudah mengalami bunuh membunuh dan kematian, agaknya nasib kehidupannya nanti seakan-akan ditakdirkan penuh malapetaka. Sungguh kasihan, anak sekecil itu sudah tentu tidak tahu apaapa, kini wajahnya yang kecil mungil itu malahan sedang tersenyum penuh bahagia.

Pendekar Binal bagian 28

Malam sudah larut, pelita di rumah-rumah kota kecil itu pun banyak yang sudah dipadamkan. Di kedai minum “Tai Bai” yang tinggal beberapa tukang mabuk itu pun berturut-turut pergi dengan langkahnya yang sempoyongan. Ketika pelayan kedai itu mengucek matanya yang sepat mengantuk dan hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara gemertaknya roda kereta, sebuah kereta besar tampak muncul dari ujung jalan sana. Anehnya yang menarik kereta itu bukanlah kuda melainkan manusia, yaitu lelaki kekar yang siangnya baru menipu seribu tael perak Lei Xiao Hu dan kawan-kawannya itu. 

Setelah dekat, tampaklah sekujur badan lelaki tegap itu berlumuran darah, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, kelihatan menyeramkan. Setiba di depan pintu kedai, si pelayan gemetaran melihat keadaan lelaki yang menakutkan itu. Yang aneh adalah kereta besar yang biasanya harus ditarik dua ekor kuda itu bagi lelaki itu kini hanya seperti benda enteng tanpa arti apa-apa. 

Sesudah menyandarkan kereta itu, lelaki tegap itu, Yan Nan Tian, melangkah masuk kedai dengan menggendong bayi yang tertidur nyenyak itu. 

“Apakah ... apakah Tuan ingin minum arak apa?” dengan tabahkan hati si pelayan bertanya dengan mengiring senyum. 

Mendadak Yan Nan Tian membentak tertahan, “Siapa bilang aku ingin minum arak?” 

Si pelayan terkejut, tanyanya pula dengan gugup, “Bukan arak? Lalu ... Tuan ingin minum apa?” 

“Tajin!” sahut Yan Nan Tian singkat.

Kembali si pelayan cemberut, sungguh aneh, lelaki tegap begini bukannya minum arak, sebaliknya ingin minum tajin (kanji, air nasi). Tapi ketika ia melihat bayi di dalam pelukan lelaki itu, segera ia paham untuk apa lelaki itu menginginkan tajin. 

Dengan tergegap-gegap ia pun menjawab, “Tapi ... tapi kami tidak ... tidak menjual ....” 

“Persetan!” omel Yan Nan Tian sambil melotot. 

“Masakkan dulu dua mangkuk tajin yang kental, setelah itu baru sediakan arak bagiku.” 

Dalam keadaan ketakutan, mana si pelayan berani membantah lagi dan cepat berlari pergi mengerjakan apa yang dipesan. Sehabis kenyang minum tajin, tidur bayi itu semakin nyenyak. Yan Nan Tian sendiri pun mulai minum arak, sinar matanya yang tajam sungguh menakutkan, sekejap saja si pelayan tak berani menatapnya. Walau tak berani memandangnya, tapi diam-diam pelayan itu menghitung ... satu, dua, tiga, empat ... hanya sejenak saja Yan Nan Tian sudah menenggak habis tujuh belas mangkuk besar arak keras. Keruan si pelayan melelet lidah dan hampir saja tak dapat mengkeret kembali.

Mendadak dilihatnya Yan Nan Tian mengeluarkan dua potong perak dan dilemparkan ke atas meja sambil berseru, “Pergi! belikan barang untukku.” 

“Tuan ingin ... ingin membeli apa?” tanya si pelayan.

 “Peti mati! Dua buah peti dari bahan yang paling bagus!”

 Pelayan itu berjingkat saking kagetnya hingga hampir jatuh terjungkal, mulutnya ternganga hingga sekian lama tidak sanggup bersuara, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri. 
Tiba-tiba Yan Nan Tian menggebrak meja perlahan sehingga kedua potong perak tadi mencelat, tapi dengan tepat justru mencelat ke dalam saku si pelayan. 

Lalu bentaknya pula, “Peti mati, kau dengar tidak? Dua buah peti mati dari bahan yang paling bagus”
 “Ya ... ya, dengar ....” sahut si pelayan tergopoh-gopoh.

 “Kalau sudah dengar, kenapa tidak lekas pergi?!” kata Yan Nan Tian. 

Seperti melihat setan saja segera pelayan itu berlari pergi. Setelah Yan Nan Tian menghabiskan araknya yang ketiga puluh dua mangkuk, si pelayan tampak kembali dengan mengangkut dua buah peti mati yang dipesan tadi. Cekatan dan pintar juga cara kerja si pelayan, ia pun tahu bilakah harus menurut perintah orang dan ke mana harus mengerjakan tugasnya dengan baik, dalam waktu sesingkat itu dia sudah mendatangi perusahaan peti mati yang terbagus. 

Dengan mata merah Yan Nan Tian mengeluarkan jenazah Jian Feng dan Hua Yuenu dari keretanya yang diseret datang tadi, kedua sosok mayat itu dimasukkannya ke dalam peti mati. Semuanya itu dikerjakannya dengan tangan sendiri. Maklumlah, ia tidak ingin orang lain menyentuh lagi seujung rambut saudara angkat bersama kekasihnya itu. Habis itu, dengan tangan telanjang Yan Nan Tian mulai memantek tutup peti mati. Pada umumnya paku pemantek peti mati cukup besar, tapi sebuah demi sebuah Yan Nan Tian memantekkan paku itu ke dalam papan peti mati yang tebal itu dengan jari tangannya tanpa susah payah, mirip lidi yang dicobloskan ke dalam tahu saja. 

Keruan si pelayan tambah melongo, ia menjadi bingung apakah yang dilihatnya sekarang ini manusia, malaikat atau setan? Menghadapi peti mati yang sudah selesai dipantek itu, kembali Yan Nan Tian menghabiskan tujuh-delapan mangkuk arak. Dia tidak meneteskan air mata, tapi wajahnya tampak jauh lebih sedih daripada seorang yang menangis. Sambil memegangi arak mangkuk terakhir, Yan Nan Tian berdiri termangu-mangu hingga lama sekali, terpaksa si pelayan mengiringnya berdiri tanpa berani bersuara.

Akhirnya Yan Nan Tian berkata dengan perlahan, “Adik Jian, kuingin engkau mendampingi aku agar engkau dapat menyaksikan sendiri kubinasakan musuhmu seorang demi seorang!