Pendekar Binal bagian 2

Air muka Jian Feng berubah pula, katanya, “Tampaknya mereka sudah datang!

Hahahaha! Memang benar, kami sudah datang!” mendadak terdengar orang bergelak tertawa di balik kereta sana.

Suara tertawa itu pun seperti ayam berkotek, tajam, bising, menusuk telinga. Selama hidup Jian Feng belum pernah mendengar suara tertawa yang begitu aneh.

Dengan terkejut ia berpaling dan membentak tertahan, “Siapa itu?

Begitu lenyap suara tertawa bagai ayam berkotek itu, dari belakang kereta lantas muncul enam-tujuh orang. Orang pertama bertubuh kurus kering, tingginya lebih lima kaki, bajunya berwarna merah membara sehingga tampak sangat mencolok, tidak serasi dan agak aneh.

Orang kedua bertubuh jangkung, tingginya lebih dua meter, baju kuning dan kopiah kuning, muka penuh benjolan daging lebih dan tanpa emosi. Menyusul adalah empat orang dengan dandanan yang lebih aneh, pakaian mereka terbuat dari potongan-potongan kain yang berwarna-warni sehingga mirip baju pengemis seperti di panggung sandiwara. Wajah dan perawakan keempat orang ini tidak sama, tapi tampak bengis dan tangkas, gerak-gerik pun seragam mirip orang berbaris.

Agak jauh di belakang sana, mengikut pula seorang gemuk, begitu gemuk sehingga kulit daging bagian pipi dan perut seakan-akan kedodoran bergelantungan, berat badan keenam orang di depannya digabung seluruhnya mungkin juga tidak lebih berat daripada bobot si gemuk. Saking gemuknya sehingga jalannya kepayahan, kakinya seperti tidak sanggup menahan tubuh sendiri yang gede dan tambun itu, setiap langkah membuatnya terengah-engah.

Wah, panasnya, bisa mampus aku!” demikian tiada hentinya si gemuk mengeluh dengan megap-megap dan bermandi keringat.

Kang Hong melompat turun dari keretanya, sebisanya ia bersikap tenang dan menegur, “Apakah yang datang ini Su-sin-khek (si tamu penjaga subuh) dan Hek-bian-kun (tuan muka hitam) dari Cap-ji-she-shio adanya?

Si baju merah tadi terkekeh-kekeh, jawabnya, “Tajam juga pandangan Tuan muda Jian Feng. Cuma kami ini sesungguhnya hanya seekor ayam dan seekor babi saja, sebutan Su-sin-khek dan Hek-bian-kun yang sedap ini adalah hadiah teman-teman Kangouw, kami sendiri mana berani menerimanya.

Dengan sorot mata tajam Jian Feng berkata, “O, tentunya saudara ini ialah ….

Yang merah adalah jengger, yang kuning adalah dada dan yang belorok adalah ekor,” potong si baju merah dengan tertawa. “Mengenai kawan paling belakang itu, silakan kau menilai sendiri. Bentuknya mirip apa, maka itulah dia.

Entah ada petunjuk apakah dari kalian?” tanya Jian Feng.

Konon Jian-kongcu (Tuan muda Jian) mendapatkan pacar baru, kami bersaudara jadi ingin tahu macam apakah si dara cantik yang dapat memikat hati pangeran kita mahacakap ini,” jawab si baju merah alias jengger jago. 

Selain itu kami bersaudara juga ingin memohon sesuatu benda padamu.”

Benda apakah yang kalian kehendaki?” tanya Jian Feng.

Si jengger ayam bergelak tertawa, jawabnya, “Benda yang dapat menarik perhatian saudara gemuk kami sehingga dia memburu ke sini tanpa menghiraukan panas terik matahari, kukira pastilah bukan benda sembarang benda.

Tepat pada saat itu si gemuk tadi alias Hek Bian Kun sudah mendekat dengan napas terengah-hengah dan menyambung dengan cengar-cengir, “Benar, kalau bukan benda bagus, kan lebih enak kucari angin dan tidur di rumah saja.

Diam-diam hati Jian Feng tergetar, tapi sikapnya tetap tenang, katanya dengan suara berat, “Cuma sayang perjalananku ini tergesa-gesa sehingga tidak membawa suatu benda berharga apa pun yang dapat menarik minat para ahli seperti kalian ini.

Hehehe!” si jengger terkekeh-kekeh.

Kabarnya mendadak Jian-kongcu telah menjual seluruh harta benda dan meringkaskannya menjadi sekantong mutiara mestika dan batu manikam ... hehe, rasanya Jian-kongcu juga tahu kami Cap-ji-she-shio biasanya tidak pernah pulang dengan tangan hampa, maka demi persahabatan, sudilah Jian-kongcu menghadiahkan kami sekantong ratna mutu manikam itu.

Haha, bagus, bagus!” Jian Feng juga tertawa. “Ternyata kalian tahu sejelas itu. Ya, aku pun tahu Cap-ji-she-shio biasanya tidak suka sembarangan turun tangan, dan sekali turun tangan tidak pernah pulang dengan tangan hampa, akan tetapi ....

Akan tetapi apa?” tukas si jengger merah. “Kau menolak?

Hehe, aku sih tidak menolak, hanya ….” belum habis Jian Feng menjengek, tahu-tahu bayangan berkelebat, ia sudah menubruk maju.

Jengger ayam itu pun tidak kalah gesitnya, dalam sekejap itu tangannya sudah memegang semacam senjata berbentuk aneh, mirip paruh ayam dan serupa ganco. Secepat kilat ia menyerang, hanya sekejap saja ia melancarkan tujuh-delapan kali serangan dengan gaya yang aneh seperti ayam jantan mematuk dan menyerang dengan jalu atau taji, semuanya mengincar Hiat-to (titik urat darah) mematikan di tubuh Jian Feng.

Agak repot juga Jian Feng, mendadak ia loncat ke atas sehingga serangan maut itu dapat dielakkan. Tapi pada saat itu empat pasang “taji” ayam sudah menanti pula di bawah. 

Nyata, sekali jengger ayam bergerak, serentak keempat orang berbaju warna-warni yang merupakan ekor ayam juga menubruk maju, empat pasang taji ayam juga merupakan senjata yang jarang terlihat di dunia Kangouw, sekali paruh ayam mematuk, serentak taji ayam juga menyerang, kerja sama mereka sangat rapat sehingga mirip seorang dengan bertangan banyak.

Memangnya Jian Feng sudah kewalahan, apalagi menghadapi serangan yang aneh ini, belum lagi si baju kuning yang merupakan dada mentok ayam itu masih mengawasi disamping dan sedang menunggu peluang untuk ikut menyerang.

Hehehe!” Hek Bian Kun, si babi hitam, terkekeh-kekeh.

 “Ayolah saudara-saudara, tambah gas sedikit, supaya lebih kencang. Kita bukan perempuan, tidak perlu mendambakan kasih sayang anak cakap ini, Eh, permisi sebentar saudara-saudara, biar kutengok dulu si cantik di dalam kereta itu.

Berhenti!” bentak Jian Feng dengan murka. Maksudnya ingin mencegah, akan tetapi tak berdaya sebab ia direpotkan oleh berbagai macam senjata aneh lawan-lawannya.

No comments:

Post a Comment