Pendekar Binal bagian 3

Sementara itu Hek Bian Kun telah melangkah ke sana dengan gedebak-gedebuk dan segera hendak menarik pintu kereta. Pada saat itulah mendadak jendela kereta terbuka sedikit dan terjulurlah sebuah tangan yang putih halus, di antara jari jemari yang putih mulus tanpa cacat itu terjepit setangkai bunga Bwe (sakura). Bukan bunga Bwe sembarang bunga Bwe tapi bunga Bwe hitam.

Sungguh aneh bin ajaib ada bunga Bwe mekar di musim panas, apalagi bunga Bwe warna hitam. Tangan yang putih, bunga Bwe yang hitam, sungguh perbedaan yang mencolok dan keindahan yang gaib dan sukar dilukiskan.

Berbareng dengan terulurnya tangan dengan bunga Bwe hitam itu, terdengar pula ucapan dengan nada yang manis, “Coba kalian lihat, apakah ini?

Serentak muka Hek Bian Kun berkerut-kerut mengejang, tangannya yang hendak menarik daun pintu kereta itu pun mendadak tak bergerak lagi. Senjata paruh ayam dan taji ayam juga berhenti di tengah udara. Keenam bandit yang terkenal ganas itu mendadak seperti kena sihir, semuanya melongo kaku tak berani bergerak.

Siu Giok Kok, Ih Hoa Kiong!” hanya kedua kalimat ini tercetus dari mulut Hek Bian Kun dengan tergegap-gegap.

Eh, tajam juga pandanganmu,” ujar orang di dalam kereta.

Cayhe ... hamba ....” gigi Hek Bian Kun gemertuk sehingga tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Kalian ingin mampus atau tidak?” tanya orang di dalam kereta dengan suara halus.

Dengan gemetar Hek Bian Kun menjawab, “Hamba ... hamba tidak ....”

Kalau tidak ingin mampus, kenapa tidak lekas pergi!

Baru habis ucapan ini, tanpa pamit lagi si merah, si kuning, si belorok dan si hitam, semuanya kabur secepat terbang. Langkah Hek Bian Kun sekarang tidak lamban lagi, napasnya juga tidak kempas-kempis, meski gemuk luar biasa tubuhnya, tapi kecepatan langkahnya kini melebihi siapa pun. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tiada yang percaya orang segemuk itu mempunyai gerak langkah sedemikian cepat dan gesit.

Kang Hong lantas mendekati jendela kereta dan bertanya dengan nada khawatir, “Engkau tidak ... tidak apa-apa bukan?

Ah tidak, aku hanya memberi salam saja kepada mereka,” ujar perempuan di dalam kereta dengan tertawa.

Kang Hong menghela napas lega, katanya pula, “Sungguh tak terduga engkau telah membawa setangkai Hek Giok Bwe Hoa (bunga Bwe kemala hitam) dari istana sana, tidak nyana bandit yang jahat seperti Cap Ji She Shio juga begitu takut pada mereka.

Ya, dari itu dapatlah kau bayangkan betapa lihainya mereka,” kata orang dalam kereta

Maka lekas kita berangkat saja, kalau ….

Tiba-tiba terdengar angin berkesiur, orang-orang yang kabur tadi kini sudah datang kembali, bahkan datangnya terlebih cepat daripada perginya tadi.

Hehehe, hampir saja kami tertipu,” demikianlah Hek Bian Kun terkekeh-kekeh.

Apakah kalian tidak takut mati?” gertak Kang Hong, tapi dalam hati, sebenarnya sangat khawatir.

Hehehe, jika yang berada di dalam kereta benar-benar orang dari Istana Yi Hua, mustahil tadi kami dapat kabur dengan hidup!” kata Hek Bian Kun,
 “Memangnya pernah kau dengar bahwa Putri dari Istana Yi Hua suka mengampuni jiwa orang?

Tiba-tiba orang di dalam kereta menukas, “Sudah kuampuni kalian, mengapa kalian malah ….

Barang tiruan, ayolah keluar sini!” bentak Hek Bian Kun, mendadak ia melompat maju, sekali hantam, pintu kereta ditonjoknya hingga ambrol.

Yang duduk dalam kereta memang seorang perempuan, perempuan muda dengan rambut kusut dan wajah pucat seperti orang sakit, walaupun demikian sama sekali tidak mengurangi cantiknya yang mempesona.

Sebenarnya sepasang mata perempuan ini juga tidak begitu jeli, hidungnya juga tidak terlalu mancung, mulutnya juga tidak sangat mungil, namun gabungan dari mata hidung mulut dengan raut mukanya itu sedemikian serasinya sehingga setiap orang yang memandangnya pasti ingin memandang untuk seterusnya, terutama sorot matanya yang penuh mengandung perasaan, pengertian dan kecerdasan yang sukar diukur. Di luar dari semua itu, ternyata perut perempuan itu membuncit besar, kiranya sedang hamil tua.

Melihat itu, melengak juga Hek-bian-kun, tapi segera ia tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hahaha! Kiranya seorang perempuan bunting, berani lagi mengaku orang Istana Yi Hua ....

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong perempuan bunting itu melayang keluar, belum lagi Hek Bian Kun menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu ia sudah kena ditempeleng beberapa kali.

Setelah melayang kembali ke tempat duduknya, perempuan muda itu bertanya dengan tersenyum, “Memangnya kenapa kalau perempuan bunting?

Hm, main sergap, terhitung apa?” teriak Hek Bian Kun dengan geram dan penasaran, segera ia menghantam pula. Meski tubuhnya gemuk seperti gajah bengkak, tapi pukulannya ini sungguh cepat, keras lagi ganas.

Namun perempuan muda itu tetap mengulum senyum, tangannya yang halus itu menyampuk perlahan, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pukulan Hek Bian Kun itu tertolak kembali dan “blang”, dengan tepat menghantam pada pundak sendiri.

Dengan jelas Hek Bian Kun melihat kepalan sendiri menghantam pundak sendiri, tapi ia justru tidak mampu mengerem dan juga tidak dapat menghindar. Betapa hebat tenaga Hek Bian Kun dapat dibayangkan ketika sekali tonjok menghancurkan pintu kereta tadi, maka pukulan yang mengenai pundak sendiri ini membuatnya mengerang kesakitan dan jatuh terkapar.

Kawan-kawannya, yaitu si jengger dan si ekor ayam sebenarnya juga sudah bersiap-siap ingin menerjang maju, tapi mereka jadi melongo menyaksikan kawan gemuk mereka itu terjungkal dan karena itu mereka pun tidak berani bergerak lagi.

4 comments:

  1. nyimak ceritta pendekar binalnya..seru euy

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat datang wahai Pendekar Wong Crew Child...Silakan menyimak cerita yang sungguh seru ini....Salam Hormat hamba

      Delete
  2. seru juga ceritanya.....seperti nyata aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih wahai Pendekar Daniel Nagata, silakan menunggu lanjutan cerita selanjutnya.... Salam hormat

      Delete