Pendekar Binal bagian 6

Keruan Hek Bian Kun mengerang kesakitan dan darah pun mengucur. Itulah darah yang jahat, darah berbau busuk, tapi darah yang berbau anyir itu membuat si perempuan merasa puas, puas karena berhasil membalas sakit hatinya.

Saking sakitnya Hek Bian Kun terus menonjok dengan kepalan dan kontan tubuh perempuan itu mencelat, menumbuk kereta dan jatuh terkapar tak sanggup bangun lagi. Walaupun begitu bagaimana rasa darah musuhnya sudah berhasil dicicipinya.

Kakak Feng,” dengan suara lemah ia berseru dengan terputus-putus, “Lekas larilah ... lekas, jangan ... jangan menghiraukan kami. Asalkan aku sudah mati, kedua kakak beradik Putri dari Istana Yi Hua tentu takkan ... takkan membuat susah padamu ….

Tidak, engkau takkan mati, adindaku!” teriak Jian Feng.

Ia berusaha menerjang maju lagi, ia tidak ambil pusing akan beraneka macam senjata musuh yang menghujani tubuhnya itu. Tubuhnya sudah terkoyak-koyak, darah daging berhamburan. Tapi dia masih terus berusaha menerjang maju. Namun sebelum tiba di depan sang istri ia sudah jatuh terguling.

Perempuan muda itu menjerit dan merangkak ke sini, Jian Feng juga berusaha merangkak ke sana. Tiada sesuatu yang mereka harapkan lagi kecuali mati bersama menjadi satu. Akhirnya tangan mereka saling bergenggam, keduanya tersenyum bahagia.

Akan tetapi mendadak sebelah kaki Hek Bian Kun lantas menginjak dengan kuat sehingga dua buah tangan terinjak hancur.

Kau ... kau sungguh keji!” teriak perempuan itu dengan histeris.

Hehehe, baru sekarang kau tahu kekejianku!” Hek Bian Kun menyeringai.

Akan kuberikan se … segalanya padamu,” ucap Jian Feng dengan kalap, “yang kuharap hanya biarkanlah kami mati bersama.

Huh, sudah terlambat baru sekarang kau berkata demikian,” ujar Hek Bian Kun dengan tertawa. “Hehe, kalian tentunya sangat gembira ketika tadi kalian menipu dan menempelengku. Sekarang akan kusaksikan kalian mati dengan perlahan, takkan kubiarkan kalian mati bersama.

Kenapa ... sebab apa?” tanya si perempuan. “Kami tiada ... tiada permusuhan apa pun dengan kalian.

Baiklah kukatakan padamu,” tutur Hek Bian Kun. “Soalnya aku sudah menyanggupi permintaan seseorang, dia minta aku bertindak jangan sampai membiarkan kalian mati bersama.

Siapa ... siapakah dia?” tanya Jian Feng.

Hehehe, kau pikir sendiri saja,” ujar Hek Bian Kun. dengan tertawa.

Pada saat itulah si baju kuning, dan si dada ayam, mendadak melompat maju dengan wajah yang kaku tanpa emosi itu. “Babat rumput harus sampai akar-akarnya, anak haram mereka juga tidak boleh dibiarkan hidup.”

Ya, benar!” tukas Hek Bian Kun.

Tanpa bicara lagi si baju kuning lantas angkat golok terus membacok jabang bayi yang tertinggal di dalam kereta. Jian Feng meraung kalap, tapi istrinya hanya melenggong, bersuara pun tidak sanggup. Keduanya sama-sama tak bisa berkutik.

Syukurlah pada detik yang menentukan itu, sewaktu golok itu menyambar ke bawah, tiba-tiba terdengar suara “krek” sekali, tahu-tahu golok itu patah menjadi dua.

Tidak kepalang kaget si baju kuning, cepat ia melompat mundur dan membentak, “Sia ... siapa?

Padahal selain begundalnya serta kedua orang yang sedang sekarat di tanah itu tiada terlihat bayangan seorang pun. Tapi mengapa goloknya yang tergembleng dari baja murni itu bisa patah tanpa sebab?

1 comment: