Pendekar Binal bagian 7

Padahal selain begundalnya serta kedua orang yang sedang sekarat di tanah itu tiada terlihat bayangan seorang pun. Tapi mengapa goloknya yang terbuat dari baja murni itu bisa patah tanpa sebab?

Apa-apaan ini?” tanya si jengger dengan penasaran.

Sialan! Mungkin ada setan!” ujar si baju kuning. 

Cepat ia melompat maju, golok buntungnya segera membacok si bayi. Tak terduga kembali terdengar “krek”, golok yang sudah buntung itu patah menjadi dua pula. Padahal disaksikan oleh beberapa pasang mata, namun tiada seorang pun mengetahui cara bagaimana golok itu dipatahkan.

Pucat air muka si baju kuning, katanya dengan suara gemetar, “Setan, benar-benar ada setan!

Hek Bian Kun berpikir sejenak, tiba-tiba berkata, “Biar kucoba!

Ia memungut golok yang ditinggalkan Kang Hong tadi dan mendekati kereta, dengan
menyeringai terus membacok, bacokan yang keras dan lebih cepat. Tapi baru saja goloknya bergerak tahu-tahu pergelangan tangannya tergetar, meski goloknya tidak patah, tapi tergumpil dan jatuh.

Memang benar ada serangan gelap orang!” ujar si jengger dengan waswas.

Kini Hek Bian Kun tidak sanggup tertawa lagi, katanya dengan keder, “Kita tidak dapat melihat senjata rahasianya, bentuknya tentu sangat lembut, orang ini mampu mematahkan golok dengan sambitan senjata rahasia lembut ... wah, betapa hebat gerak tangannya dan betapa lihai Lwekangnya.”

Di dunia ini mana ada orang selihai ini?” ujar si baju kuning “Wah, jangan jangan … jangan-jangan dia ....” tanpa terasa ia bergidik dan tidak sanggup melanjutkan.

Jian Feng yang sedang sekarat pun melongo kaget, gumamnya, “Ah, dia (perempuan) sudah datang ... pasti dia yang datang ....

Dia? Dia siapa?” tanya Hek-biang-kun. “Apakah ... apakah Yan Nan Thian?”

Yan Nan Thian?” tiba-tiba tukas suara seorang. “Hm, Yan Nan Thian terhitung kutu busuk macam apa?

Nada suara itu sedemikian merdu, lincah dan kekanak-kanakan pula. Sungguh mengejutkan di tempat sunyi dan jauh dari penduduk ini mendadak terdengar suara demikian. Tanpa menengadah juga Kang Hong dan istrinya tahu siapa yang datang itu. Seketika air muka mereka berubah pucat. Bahkan Hek Bian Kun dan begundalnya juga kaget dan cepat menoleh. Ternyata di tengah remang-remang senja sunyi itu entah sejak kapan sudah berdiri di situ sesosok bayangan tubuh wanita yang ramping, padahal mereka tergolong jagoan kelas tinggi, namun sama sekali tidak mengetahui bilakah datangnya wanita itu.

Kalau didengar dari suaranya orang tentu menyangka pembicara ini adalah anak dara yang cantik lagi kekanak-kanakan. Tapi yang berhadapan sekarang ternyata adalah seorang wanita yang sedikitnya berusia dua puluhan, mengenakan gaun bersulam model putri istana, gaun panjang menyentuh tanah, rambutnya terurai hingga bahu, senyumnya yang manis dengan kerlingan matanya yang hidup itu penuh mengandung kecerdasan yang sukar dilukiskan dan juga sifat kekanak-kanakannya yang sepantasnya tidak dimiliki wanita seusia dia.

Siapa pun juga, asal memandang sekejap saja padanya akan segera memaklumi dia pasti seorang berwatak yang sangat ruwet sehingga jangan harap akan dapat menyelami jalan pikirannya. Tapi barang siapa yang telah memandangnya sekejap, tentu pula akan terpesona pada kecantikannya yang jarang ada bandingannya serta melahirkan rasa kasihan yang mengibakan.

Ternyata wanita yang mahacantik itu justru dilahirkan dalam keadaan cacat badaniah, cacat jasmani, lengan baju dan gaunnya yang panjang itu tidak dapat menyelubungi cacat pada tangan dan kaki kirinya itu.

Setelah tahu jelas siapa wanita ini, meski tetap mengunjuk rasa jeri dan hormat, tapi rasa kaget dan gelisah Hek Bian Kun tadi sudah banyak berkurang, segera ia memberi hormat dan menyapa, “Apakah Ji-kiongcu (putri kedua) dari Istana Yi Hua?

O, kau kenal aku?” jawab si cantik berpakaian istana itu.

Siapa di dunia ini yang tidak kenal akan kebesaran nama Putri Lian Xing,” ujar Hek-biankun dengan menyengir.

Manis juga mulutmu, pintar mengumpak,” kata si cantik alias Putri Lian Xing.
Tampaknya kau toh tidak takut padaku.

Lekas-lekas Hek Bian Kun munduk-munduk dan menjawab, “Ah, hamba ... hamba ....

Dengan tertawa Lian Xing berkata, “Sudah sebanyak ini kau berbuat kejahatan dan ternyata tidak takut padaku, sungguh ini suatu hal aneh. Apakah kau tidak tahu bahwa segera akan kucabut nyawa kalian?

Air muka Hek Bian Kun berubah pucat, tapi sedapatnya ia bersikap tenang dan menanggapi, “Ah, putri suka bergurau.

Bergurau?” Lian Xing terkikik. “Kau telah menganiaya dayangku, kalau kubiarkan kau mati begitu saja sudah murah bagimu, masak kau sangka aku bergurau denganmu?

Tanpa pikir Hek Bian Kun menjawab, “Tapi, tapi ini atas ... atas perintah Putri Yao Yue….

Belum habis ucapannya, “plak-plok”, berturut-turut ia kena ditempeleng beberapa kali, mirip benar seperti dia menempeleng Jian Feng tadi, tapi tempelengan sekarang jauh lebih keras, kontan mulutnya penuh darah dan gigi pun rontok sebagian.


No comments:

Post a Comment