Pendekar Binal bagian 8

“Hm, masakah nama Ciciku boleh sembarangan kau sebut?” jengek Lian Xing dengan kereng, dia tetap berdiri di tempatnya tadi seperti tak pernah bergeser sedikit pun.

Si jengger ayam dan kawan-kawannya pucat dan ketakutan setengah mati. Dengan suara gemetar si jengger bermaksud memperkuat keterangan kawannya, ia berkata, “Me ... memang betul Putri ….

Belum lengkap ia menyebut nama Putri Yao Yue, tahu-tahu ia pun kena ditempeleng belasan kali sehingga tubuhnya yang kecil itu sampai mencelat.

Aneh,” kata Putri Lian Xing dengan tertawa, “tampaknya kalian tidak percaya jika kuhendak mencabut nyawa kalian? ... ah ....” 

Di tengah keluhan menyesal itu sekonyong-konyong ia mengitari si baju kuning yang bertubuh jangkung itu satu kali, orang hanya melihat bayangan berkelebat dan entah cara bagaimana turun tangannya, tahu-tahu si baju kuning sudah roboh terkapar tanpa bersuara.

Salah seorang ekor ayam berbaju warna-warni belorok coba menjenguk kawannya itu, mendadak ia menjerit kaget, “Dia ... dia sudah mati!

Nah, sekarang kalian mau percaya tidak?” ujar Lian Xing tertawa.

Si belorok tadi menjerit parau, “Engk ... engkau kejam benar!”

Hm, mati seorang saja kenapa mesti kaget dan heran?” ujar Lian Xing tertawa.

Memangnya orang yang pernah kalian bunuh belum cukup banyak? Kalau kalian mati sekarang kukira cukup setimpal!

Rupanya mereka pikir daripada mati konyol akan lebih baik melawan sebisanya saja. Mendadak sorot mata si jengger ayam menjadi beringas, ia memberi tanda, bersama tiga pasang cakar ayam serentak menerjang ke arah Putri Lian Xing.

Terdengarlah suara “trang-tring” diselingi jerit mengerikan berturut-turut, di tengah-tengah berkelebatnya bayangan sang putri yang lemah gemulai, tiga orang berbaju belorok sudah roboh dua, sisa seorang lagi cepat melompat mundur dan tangannya sudah kosong, ia berdiri melongo mematung. Cara bagaimana lawan membinasakan kawan-kawannya dan cara bagaimana menghindarkan serangan mereka serta cara bagaimana merampas senjata mereka, semuanya tak diketahuinya sama sekali, dalam sekejap tadi ia seperti baru bermimpi buruk saja tanpa menyadari apa yang terjadi.

Ketika Putri Lian Xing mengebaskan lengan bajunya, terdengarlah suara gemerinting, beberapa celurit bentuk taji tajam ayam itu jatuh berserakan di tanah, hanya sebilah celurit masih dipegangnya. 

Setelah dipandangnya sekejap ia tertawa dan berkata, “Eh, kiranya inilah  cakar ayamnya. Entah bagaimana rasanya?

“Kletak”, mendadak mulutnya yang mungil itu mengertak celurit itu dan senjata buatan dari baja itu seketika tergigit patah mentah-mentah.

Melihat perempuan yang berusia baru likuran ini memiliki kesaktian sedemikian tinggi, bahkan setiap anggota tubuhnya seakan-akan memiliki kungfu yang sukar dibayangkan, keruan Hek Bian Kun dan Su Sin Khek, si babi dan si ayam jantan dari kawanan bandit 12 shio itu tidak berani berkutik lagi.

Ai, cakar ayam ini tidak enak!” kata Putri Lian Xing sambil menggeleng, 

“Brrr”, mendadak ia menyemprot perlahan celurit baja patah yang tergigit oleh mulutnya itu, ke mana sinar perak berkelebat, tahu-tahu si baju belorok yang masih tersisa itu pun menjerit ngeri sambil mendekap mukanya dan terguling-guling di tanah dengan darah merembes keluar dari sela-sela jarinya, habis berkelejetan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi. Tangan yang mendekap mukanya juga terbuka, remang-remang kelihatan mukanya beringas dan berlumuran darah, kiranya setengah potong celurit tadi telah menghancurkan tulang kepalanya.

Serentak Hek Bian Kun berlutut dan menjura, mohonnya dengan suara gemetar, “Ampun Putri! Ampun ....

Tapi Putri Lian Xing tidak menggubrisnya, sebaliknya ia malah tanya si baju merah alias jengger ayam, “Nah, bagaimana aku punya kungfu?

Ter ... terlalu hebat, selama ... selama hidup hamba tidak pernah me ... menyaksikan kungfu selihai ini, bahkan ... bahkan mimpi pun hamba tak pernah membayangkan kungfu setinggi ini,” demikian jawab si jengger dengan tergegap-gegap.

Dan kau takut atau tidak?” tanya sang Putri.

No comments:

Post a Comment