Pendekar Binal bagian 24

Dengan berlumuran darah Shen Qing Hong berteriak kegirangan, “Pendekar Yan datang!”

 “Apakah Yan Nan Tian?!” tanya Kim Go Xing ketakutan. 

“Bandit 12 Shio, saat kematian kalian sudah tiba kini!” bentak Yan Nan Tian.

“Selamanya Bandit 12 Shio tiada permusuhan apa pun denganmu, mengapa engkau ....” belum habis Kim Go Xing bicara serentak Yan Nan Tian sudah menerjang tiba. 

Salah seorang dari mereka,  “anjing hitam”, yaitu yang berseragam hitam ketat tadi yang pertama diterjangnya, sebisanya anjing hitam menjemput dengan hantaman kedua tangannya. “Blangblang” dua kali, dengan tepat hantamannya mengenai dada Yan Nan Tian, tapi sedikit pun Yan Nan Tian bergeming, sebaliknya tulang pergelangan tangan orang itu patah, belum lagi dia sempat menjerit atau dadanya sudah kena cengkeraman Yan Lam thian. 

Dalam keadaan kepepet sebisanya He Xiao Xing itu berusaha melawan, sebelah kakinya hendak menendang. Tendangan ini sungguh lihai, sasarannya bagian selangkangan. Namun sekali hentak, Yan Nan Tian membuat He Xiao Xing kehilangan imbangan badan, menyusul kakinya yang terangkat itu terpegang pula terus dibetot. Kontan darah berhamburan, tubuh He Xiao Xing itu terbelah menjadi dua. Kawanan “anjing hitam” yang lain menjadi murka dan kaget, berbarengan mereka menerjang maju dengan meraung kalap. 

Sebenarnya ilmu silat beberapa orang itu masing-masing tidak tinggi, tapi enam orang menyerbu sekaligus menjadi repot juga untuk melayaninya. Namun Yan Nan Tian laksana harimau menerjang di tengah gerombolan domba saja, kedua potong mayat yang dibesetnya tadi digunakan sebagai senjata sehingga terjadilah hujan darah. 

“Krek, bluk”, kembali tiga orang seragam hitam dirobohkan pula. Seorang lagi menjadi nekat dan menerjang mati-matian. Tapi sekali sabet, kembali Yan Nan Tian membuat lawannya tergeletak dengan tulang iga remuk seluruhnya. Seorang lain lagi menjadi ketakutan dan berusaha kabur. 

Namun di tengah gelak tertawanya Yan Nan Tian, setengah mayat yang dipegangnya itu terus disambitkan, “bluk”, dengan tepat punggung orang yang sedang kabur itu tertumbuk, orang itu masih sempat lari beberapa langkah lagi ke depan, habis itu setengah badan atas lantas roboh ke belakang dan kakinya masih melangkah ke depan, kiranya tulang punggung orang itu tertumbuk patah, akhirnya roboh binasa. 

Sisa lagi seorang terakhir melihat Yan Nan Tian terlena, mendadak ia menubruk ke belakangnya, sasarannya adalah bayi yang digendong Yan Nan Tian, kalau bayi dapat direbut tentu dapat pula digunakan sebagai sandera. 

Tak tersangka punggung Yan Nan Tian seperti bermata juga, mendadak ia membentak, “Berdiri!” 

Seketika orang itu berdiri mematung karena gertakan itu, sedangkan sisa setengah potong mayat yang dipegang Yan Nan Tian lantas mengepruk kepalanya. Di tengah berhamburnya darah dan daging, orang itu sudah telanjur ketakutan sehingga lupa untuk menghindar, ia terpaku di tempat berdirinya sehingga tubuhnya seakan-akan mengecil separo. 

Shen Qing Hong sampai merinding menyaksikan semua kejadian itu. Kim Go Xing yang biasanya membunuh orang tak terhitung lagi banyaknya kini juga terpukau oleh kelihaian Yan Nan Tian. 

“Apakah masih perlu kuturun tangan padamu?!” bentak Yan Nan Tian. 

“Mengapa ... mengapa engkau memusuhi ka ....” Kim Go Xing ingin penjelasan. 

“Mengapa? Hm, apakah kalian tidak tahu hubunganku dengan Jian Feng?” bentak Yan Nan Tian dengan murka. 

Pendekar Binal bagian 23

“Kedatanganku ini bukan untuk mengadu lidah denganmu,” bentak Shen Qing Hong ketus. 

“Memangnya kau ingin berkelahi?” tanya Kim Go Xing, si kera emas.

“Benar,” jawab Shen Qing Hong. “Kalau orang bermarga Shen ini menang, kuharap kalian membatalkan niat mengincar barang kawalanku ....” 

“Kalau kalah?” sela Kim Go Xing. “Akan kau serahkan barang kawalanmu?” 

“Hahaha!” Shen Qing Hong tertawa. “Partai barang yang kalian incar itu sudah diantar ke tempat tujuan oleh wakilku Song Deng Yang, kedatanganku ini hanya sekadar memenuhi janji saja.”

 “O, begitukah?” Kim Go Xing menegas. 

Tiba-tiba ia memanggil Hei Xiao Xing, si anjing hitam, yang segera menyerahkan sebuah kotak kecil. 

Waktu kotak itu dibuka, dengan suara dingin Kim Goan Xing berkata, “Silakan Ketua Shen memeriksa apa isi peti ini!” 

Waktu Shen Qing Hong melongok sekejap ke dalam peti yang disodorkan itu, seketika ia kaget, mukanya menjadi pucat. Ternyata isi peti itu adalah kepala Song Deng Yang yang disebut sebagai wakilnya tadi. 

“Kalian … kalian telah ....” Shen Qing Hong tidak sanggup lagi menyambung ucapannya. 

“Hehehe!” Kim Go Xing terkekek-kekek. 

“Jika Gerombolan bandit 12 Shio mudah ditipu orang, tentu orang Kangouw juga takkan kepala pusing bila bertemu kami. Bicara terus terang, harta benda kawalan kalian itu sudah jatuh di tangan kami. Kedatangan kami ini hanya ingin mencabut nyawamu!”

Habis ini ia memberi tanda kepada begundalnya dan berseru, “Maju semua!”

Sekali ia bersuit, mendadak kera bulu emas itu melompat ke udara terus menerjang ke arah Shen Qing Hong, jarinya secepat kilat mencolok kedua mata musuh. Sedangkan anjing gembala yang besar tadi terus mengaum dan menubruk Lei Xiao Hu. Tidak kepalang kaget Lei Xiao Hu, cepat ia mengelak. Tak terduga gerakan anjing besar itu sangat gesit, sekali tubruk luput, segera memutar balik dan menerjang lagi. 

Sekali ini Lei Xiao Hu tidak mampu menghindar, ia tertubruk jatuh, dilihatnya sebaris gigi putih tajam menerkam ke tenggorokannya. Dengan mati-matian Lei Xiao Hu menahan dagu anjing, terjadilah pergulatan maut antara manusia dan anjing itu, anjingnya mengaum buas, Lei Xiao Hu juga mengerang murka seperti binatang. Di sebelah lain Shen Qing Hong juga sudah balas menyerang beberapa kali, tapi si kera bulu emas ternyata sangat gesit, jarinya senantiasa mengincar kedua biji mata lawannya.

 “Hehehe! Tak kusangka para jago kawal Biro Pengawalan 3 Besar juga kewalahan menghadapi dua ekor binatang saja,” ejek Kim Go Xing. 

Belum lenyap suaranya, mendadak terlihat Shen Qing Hong meraba pinggangnya, seutas cambuk panjang terbuat dari untiran perak lantas menyabet, kontan kera bulu emas tadi dipaksa melompat mundur. 

“Lari ke mana?!” bentak Shen Qing Hong. 

Berpuluh-puluh bintik perak seketika berhamburan, sebagian menuju kera bulu emas itu, tapi sebagian besar menyerang anjing gembala tadi untuk menolong Lei. Betapa pun cerdik dan gesitnya, kera tetap binatang, mana mampu menghindari sambitan senjata rahasia maut dari pimpinan besar gabungan tiga Biro Pengawalan termasyhur itu. Kontan kera bulu emas itu menguik dan roboh binasa. 

Tapi pada saat lain Kim Go Xing dan Hei Xiao Xing, si binatang lambang kera dan lambang anjing hitam beserta anak buahnya juga lantas menubruk tiba. Dalam keadaan demikian biarpun Shen Qing Hong memiliki tiga kepala dan enam tangan juga sukar menahan serbuan tujuh-delapan musuh sekaligus.

Cepat Shen Qing Hong menjatuhkan diri sambil menggelinding ke samping, cambuknya berputar untuk membela diri, namun pihak musuh sudah di atas angin, mana dia mampu lolos lagi. Di sebelah sana anjing raksasa tadi juga berhasil menggigit tenggorokan Lei Xiao Hu yang berdekatan dengan pundak, tapi Lei Xiao Hu tetap bertahan mati-matian, ia pun balas menggigit tenggorokan anjing herder yang ganas itu, seketika darah berceceran, satu orang dan seekor anjing sama bergelimang dalam genangan darah.

Pada saat yang gawat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar seseorang, begitu keras suara itu laksana bunyi geledek di tengah hari cerah, seorang mendadak melayang tiba laksana malaikat yang turun dari langit. Serasa rontok nyali semua orang oleh suara gertakan keras itu, seketika Kim Go Xing dan Hei Xiao Xing tertegun. 

Tampaklah seorang laki-laki tinggi besar dengan rambut semrawut, sorot matanya tajam beringas dengan penuh rasa sedih dan murka cukup membuat orang merasa ngeri, apalagi sikapnya yang kereng itu. Yang aneh adalah di punggung lelaki kekar itu ternyata menggendong seorang bayi.

Pendekar Binal bagian 22

“Gerombolan Bandit 12 Shio itu memang suka berbuat aneh-aneh dan menggoda untuk membikin takut korbannya lalu baru menyerangnya,” kata Shen Qing Hong.

 “Kalau kita juga kena digertak berarti kita sudah patah semangat lebih dulu.” 

“Tidak, aku tidak takut, Ketua,” seru Lei Xiao Hu sambil membusungkan dada. 

Meski di mulut menyatakan tidak takut, namun sesungguhnya jantungnya berdebar, suaranya juga rada keder.

Di malam sunyi, di tengah ladang belukar, auman anjing yang mirip orang menangis dan seperti serigala menyalak memang menggetar sukma. 

Segera Shen Qing Hong mengangkat tangan memberi hormat dan berseru lantang, “Silakan Bandit 12 Shio perlihatkan diri. Shen Qing Hong sudah datang berkunjung!”

Biarpun tubuhnya kurus kecil, tapi suaranya lantang keras menembus suara gonggongan anjing yang sahut menyahut dengan riuhnya itu. Di tengah cuaca remang-remang sekonyong-konyong meloncat keluar segulung bayangan hitam yang menyerupai seorang penunggang kuda. Waktu Shen Qing Hong mengamati lebih teliti, kiranya seekor kera besar berbulu kuning menunggang seekor anjing dengan siungnya yang menyeringai seram. Anjing itu sangat besar, yaitu anjing serigala. Kera berbulu kuning emas itu pun aneh, matanya merah memancarkan sinar yang menyeramkan. Anjing dan kera itu seakan-akan bukan makhluk di dunia ini, tapi seperti siluman yang datang dari akhirat. Dengan tegak tak gentar Shen Qing Hong mengikuti datangnya si kera menunggang anjing itu. Sesudah dekat, mendadak kera itu bersuara mencuit sambil menyodorkan sebutir buah persik. 

Shen Qing Hong mengejek, “Sungguh bagus anjing sakti menyambut tamu dan kera ajaib menyuguh buah. Tapi yang ingin kutemui adalah manusianya dari Bandit 12 Shio dan bukan kawanan binatang ini.” 

Kera bulu emas itu seperti paham ucapan manusia, “ciit”, sambil bersuara mendadak ia berjumpalitan di atas punggung anjing tunggangannya itu, tiba-tiba tangannya sudah membentang sehelai kain putih dengan tulisan, “Jika kau berani makan ini, kami  akan menemuimu” 

“Hm, kalau Bandit 12 Shio hanya kawanan tikus yang cuma pintar menakut-nakuti orang, tentu orang bermarga Shen ini takkan datang ke sini,” ejek Shen Qing Hong pula, “Apa pun juga Shen Qing Hong percaya penuh pada kalian, biarpun racun juga akan kumakan.” 

Baru saja ia hendak menerima buah persik yang disodorkan si kera tadi, tak terduga mendadak Lei Xiao Hu menyerobot maju, buah persik itu disambarnya terus dilalap habis ke dalam perut, katanya, “Makan persik gratis, kalau tidak mau kan bodoh!” 

Serentak terdengarlah seorang tertawa seram dan menanggapi, “Bagus! Pantas Biro Pengawalan Tiga Besar Yuan dapat berjalan lancar di utara dan selatan Sungai (Yangtse), buktinya di dalam perusahaannya memang tidak sedikit laki-laki berani mati ....” berbareng beberapa bayangan orang lantas muncul. 

Kalau perawakan Shen Qing Hong sudah terhitung kurus kecil, maka kini orang yang muncul paling depan ternyata jauh lebih kurus kecil daripada Ketua gabungan tiga perusahaan pengawalan itu. Jubah yang dipakai orang kerdil ini berwarna emas mengkilat, mukanya tirus, yakni tulang pipi menonjol dan janggutnya runcing, tapi kedua matanya merah membara, mulutnya lebar, waktu tertawa ujung mulutnya hampir melebar sampai di pangkal telinga. Kalau tiga bagian masih mirip manusia, maka orang ini tujuh bagian lebih menyerupai monyet. Enam-tujuh pengikutnya lagi berseragam hitam pula, hanya kelihatan mata mereka yang berkedip mirip mata setan. 

“Yang datang ini apakah ....” 

Belum sempat Shen Qing Hong menegur, si kerdil berjubah emas itu sudah memotong, “Dari bentuk kami, sekali pandang saja tentu kau tahu melambangkan apa kami ini, jadi tidak perlu kujelaskan lagi bukan?” 

“Ya, cuma aku yang rendah heran mengapa di antara kalian tiada terdapat Hek Bian Kun dan Su Sin Khek?” ujar Shen Qing Hong.

“O, kedua kawan kami itu sedang melakukan jual-beli yang lain, memangnya kau anggap tidak cukup kehadiran kami ini?” 

“Soalnya aku Shen Qing Hong sudah sengaja datang dan tidak berpikir untuk pulang dengan hidup, maka kuharap bisa melihat wajah asli dari keduabelas lambang binatang yang termasyhur ini. Kalau sekarang jumlah yang hadir ternyata kurang lengkap, betapa pun aku agak menyesal.” 

“Hehe, kutahu nyalimu tidak kecil, tak tahunya mulutmu juga cukup tajam,” ujar si kera dengan menyeringai.

“Yang harus disayangkan adalah kedudukanmu sebagai Ketua yang kau capai dengan susah payah ini, jika kau harus mati begitu saja apakah kau tidak penasaran?”

Pendekar Binal bagian 21

Seperginya Yan Nan Tian yang disusul oleh Jian Qin, Shen Qing Hong ternyata, masih berdiri mematung di tempatnya. 

Dengan rasa khawatir Qian coba bertanya kepada pemimpinnya itu, “kapan kita akan menemui 12 Shio?” 

“Senja hari ini,” jawab Shen Qing Hong. 

“Jadi petang nanti?” Qian menegas dengan gentar. “Di ... di mana?”

“Di jalan depan sana!”

“Berapa ... berapa orang di antara mereka yang akan datang?”

“Yang menerima undangan adalah Hek-bian, Xu Xin, Hian-ko dan Ging-khek.”

“Jadi ... jadi si ayam, babi, kera dan anjing akan tampil sekaligus?” “Wah, Ketua, kukira ... kukira lebih baik kita pergi saja, kita hanya beberapa orang. ini, mungkin ... mungkin ....” 

“Hm, kalian boleh pergi,” dengus Shen Qing Hong.

“Tapi engkau, Ketua ....” 

“Pemilik barang telah mempercayakan harta bendanya padaku, mana boleh aku mengelakkan kewajiban, kalian ....” Shen Qing Hong tidak melanjutkan, tanpa menoleh ia terus melangkah ke depan sana. 

“Ketua ....” seru Qian sambil memburu, tapi baru dua tiga langkah sudah lantas berhenti. 

“Bagaimana? Kau tidak ikut?” tanya Lei. 

“Kakak Lei,” jawab Qian dengan suara tertahan. 


“Biarkan dia berjuang sendiri sesuai tugasnya, buat apa kita ikut mengantarkan nyawa?”

Lei menjadi gusar, dampratnya, “Keparat, binatang kau ... dasar pengecut, tidak nanti aku Lei Xiao Hu juga penakut seperti dirimu!” 

“Baik, baik aku memang pengecut, silakan kau menjadi pahlawan,” ujar Qian sambil menyeringai. 

“Keparat, baru sekarang benar-benar kukenal kalian ....” damprat Kakak Lei atau Lei Xiao Hu, sambil memaki ia pun menyusul ke arah sang Ketua, Shen Qing Hong. 

Shen Qing Hong sedang melangkah ke depan dengan perlahan, menuju ke ladang belukar yang sunyi di tengah remang. Langkahnya yang gesit enteng kini berubah menjadi berat seakan-akan kakinya diganduli benda beratus-ratus kati. 

Ketika mendengar suara tindakan orang dari belakang, tanpa menoleh ia lantas bertanya, “Apakah kau Lei Xiao Hu?” 

“Benar, Ketua,” jawab Kakak Lei. 

“Memang sudah kuduga hanya kau  saja yang akan menyusul kemari.” 

“Dengarlah Ketua ucapanku ini, biarpun mati aku pun rela. Meski Lei Xiao Hu adalah orang bodoh, tapi sekali-kali bukan manusia pengecut dan binatang yang tidak tahu budi. Tetapi Ketua, engkau ... kali ini ....” 

“Apakah kau heran karena aku tidak mengajak sahabat-sahabatku yang lain?” 

“Ya, begitulah,” jawab Kakak Lei.

 “Kawanan Bandit 12 Shio itu masing-masing memiliki ilmu saktinya sendiri-sendiri, jarang di antara kawan-kawan kita yang mampu mengalahkan mereka. Jika kuajak teman, sudah tentu mereka akan hadir mengingat jiwa setia kawan mereka, tapi apakah aku tega membuat susah kawan sendiri dan mengorbankan jiwa mereka secara sia-sia.”

“Ketua tetap Ketua, jiwamu yang luhur sungguh membuatku tunduk,” ujar Lei, 

“Sekalipun aku Lei Xiao Hu memiliki kepandaian setinggi Ketua, juga tidak mungkin mampu menjabat pemimpin umum dari gabungan tiga buah Biro Pengawalan besar, aku ....” 

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong. Ada anjing menggonggong atau lebih tepat mengaum bulan di waktu malam di tengah ladang belukar sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, yang aneh adalah suara auman anjing ini lain daripada yang lain, suara gonggongan anjing ini mengandung rasa yang aneh dan menyeramkan.

Seketika air muka Kakak Lei berubah, katanya tergegap, “Jangan-jangan ... jangan-jangan ....” 

Belum habis ucapannya, serentak suara anjing menggonggong berjangkit di kota kecil tadi, sahut menyahut akibat auman anjing pertama tadi. Betapa pun besar nyali Lei tidak urung juga rada gemetar, tapi ketika dilihatnya sikap sang Ketua tidak gentar sedikit pun, mau tak mau ia pun menjadi tabah, katanya dengan menyeringai, “Tampaknya kawanan Bandit 12 Shio ini memang rada-rada aneh ....”

Pendekar Binal bagian 20

Cuaca remang-remang. Di tengah cuaca senja sunyi itu, berkelebatnya bayangan Yan Nan Tian, hampir sukar diikuti oleh pandangan orang awam. Di jalanan lama yang penuh semak rumput belaka itu sunyi senyap, bulan sabit sudah menongol di ufuk timur, cahaya remang-remang ini semakin menambah suramnya suasana yang lelap ini. 

Bayangan Yan Nan Tian masih terus meluncur ke depan dan tiada sesuatu yang dilihatnya, ia bergumam sendiri, “Aneh, Adik Jian sudah dalam perjalanan, mengapa tak terdengar ....” 

Pada saat itulah mendadak dua titik hitam berkelebat melayang ke sana, remang-remang kelihatan seekor burung walet sedang dikejar seekor alap-alap. Tampaknya burung walet itu sudah kepayahan, terbangnya rendah dan jelas sukar lolos dari cengkeraman alap-alap itu. 

Yan Nan Tian merasa penasaran, bentaknya, “Kurang ajar, kau pun tiada ubahnya seperti manusia jahat yang suka menindas yang kecil ....”.

Serentak tubuhnya terus meleset ke depan laksana anak panah cepatnya dan menampar alap-alap ganas itu. Tapi sekali berkelebat, tahu-tahu Yan Nan Tian menubruk tempat kosong, sebaliknya lantas terdengar suara mencuit si burung walet, nyata walet itu telah tercengkeram oleh cakar alap-alap. 

“Kurang ajar! Masakah kau mampu lolos dari tanganku lagi!” bentak Yan Nan Tian dengan gusar sambil menubruk maju pula, sekali hantam dari jauh, kontan burung alap-alap yang sudah mulai melayang ke udara itu terjungkal ke bawah oleh angin pukulan yang dahsyat. 

Sekali meraup Yan Nan Tian menangkap tubuh alap-alap yang terjungkal ke bawah itu, ia berhasil menyelamatkan burung walet yang kecil itu dari cengkeraman elang alap-alap. Namun walet itu kecil lagi lemah dan sudah terluka parah sehingga tidak sanggup terbang lagi. 

“Walet sayang, kau takkan mati, jangan khawatir,” gumam Yan Nan Tian sambil duduk di tanah rumput, ia memberi obat luka pada burung walet itu.

 Obat luka dari pendekar besar itu sudah tentu sangat mujarab. Dengan perlahan Yan Nan Tian mengelus-elus walet itu, sejenak kemudian barulah ia lepaskan burung itu dan terbanglah pergi dengan bebas. Sementara itu burung alap-alap tadi sudah diremas mati oleh Yan Nan Tian.

 “Hahaha!” Yan Nan Tian tertawa puas. “Beribu tael emas murni tak dapat menunda waktuku, tapi untuk menolong jiwa seekor walet kecil ternyata dapat menahan perjalananku.” 

Setelah tertawa puas, kembali ia melayang ke depan dengan Ginkang (peringan tubuh) yang tinggi. Tidak lama kemudian, sekonyong-konyong terdengar berkumandangnya suara tangisan bayi dari kejauhan.

 “He, jangan-jangan Adik Jian sudah mempunyai anak?” gumam Yan Nan Tian dengan girang. 

Dia melesat terlebih kencang menuju ke arah suara tangisan bayi itu. Maka tidak lama kemudian dapatlah dia melihat keadaan yang mengerikan, mayat yang bergelimpangan serta jenazah Jian Feng yang berlumuran darah. Yan Nan Tian menjerit terus menubruk ke sana, ia mendekap mayat Jian Feng dengan perasaan remuk redam.

Pendekar Binal bagian 19

“Haha, sedemikian tinggi kau memuji diriku, tentu kau ingin minta tolong sesuatu padaku,” ucap Yan Nan Tian dengan tertawa.

 “Harap Pendekar Yan maklum,” jawab Shen Qin Hong dengan hormat, “apa pun juga Pendekar Yan pasti tahu. Soalnya hamba baru menerima tawaran suatu partai barang yang sukar dinilai harganya, sebenarnya transaksi ini sangat dirahasiakan dan akan kami kawal secara diam-diam. Tapi entah mengapa, tahu-tahu berita ini dapat didengar oleh kawanan Bandit 12 Shio. Secara blak-blakan mereka mengirim kartu nama dan menyatakan akan merampas barang kawalan kami itu. Tentu saja kami menjadi khawatir, sebab kami cukup tahu diri dan merasa bukan tandingan kawanan bandit Bandit 12 Shio itu dan dengan sendirinya pula kami tidak berani melanjutkan pengawalan tersebut ....”

“Jadi maksudmu hendak minta kubantu Biro pengawalan kalian, begitu?” tanya Yan Nan Tian.

“Ah, mana kuberani,” jawab Shen Qin Hong takut-takut “Hanya saja hamba mendapat informasi bahwa Pendekar Yan bakal berada di sini, maka sengaja hamba janji bertemu dengan kawanan Bandit 12 Shio di sekitar sini, asalkan Pendekar sudi tampil sejenak dan memberi pesan beberapa patah kata, maka hamba yakin biarpun Bandit 12 Shio mempunyai nyali sebesar gajah juga takkan berani mengusik barang kawalan kami itu.”

 “Jika kau tidak mampu mengawal barang orang, mengapa kau terima saja tawaran orang?” tanya Yan Nan Tian.

 “Ya, hamba memang pantas mampus,” jawab Shen Qin Hongdengan menunduk, “Hamba mohon Pendekar Yan berkenan ....” 

“Kawanan Bandit 12 Shio sudah lama terkenal jahat, jika jejak mereka tidak tersembunyi tentu sudah lama kutumpas mereka, sebenarnya urusan ini aku tidak ingin ikut campur ….“ 

“Terima kasih tuan,” tukas Shen Qin Hong.

“Jangan terburu berterima kasih dulu,” ujar Yan Nan Tian. “walaupun aku ingin membantumu, namun saat ini aku sendiri ada urusan penting yang perlu kuselesaikan dan waktu sudah mendesak.” Habis berkata segera ia hendak melangkah pergi. 

“Mohon Pendekar Yan tunggu sejenak,” cepat Shen Qin Hong berseru sambil memberi tanda, segera Qian mengaturkan sebuah peti, ketika peti itu dibuka, isinya ternyata emas murni yang berkemilauan.

 Dengan hormat Shen Qin Hong lantas menambahkan pula, “Sudah lama Pendekar Yan terkenal bertangan terbuka, sebab itu kami mengaturkan ....” 

“Hahahaha!” Yan Nan Tian terbahak-bahak. Mendadak ia berkata dengan ketus, “Shen Qin Hong, biarpun sekarang kau menumpuk emas murni setinggi gunung di depanku juga takkan menghalangi waktu pertemuanku dengan saudaraku Jian Feng.” 

Habis ini ia menepuk bahu Jian Qin dan membentak, “Nah, aku berangkat lebih dulu, kau harus segera menyusul ke sana.” 

Lenyap suara ucapannya itu, tahu-tahu orangnya juga sudah melayang jauh ke sana. Seketika wajah Shen Qin Hong menjadi pucat karena usahanya gagal.

Qian  mengomel sendirian, “Orang ini sungguh aneh, beberapa tael perak dia sengaja menipu, tapi ketika disodorkan emas murni satu peti penuh dia justru menolak ...

Pendekar Binal bagian 18

Setelah meninggalkan kedai arak tadi dengan diikuti si pemuda muka pucat, lelaki kumal tadi terus menyusuri jalan batu satu-satunya itu. 

Setiba di ujung jalan sana, si pemuda cepat menyusulnya dan menyapa dengan suara tertahan, “Tuan Yan, bukan?” 

Lelaki itu memang betul Yan Nan Tian adanya. Tanpa menoleh ia menjawab, “Apakah kau ini suruhan Jian Feng?”

“Benar,” jawab pemuda pucat itu, “hamba Jian Qin, pembantu pribadi Tuan Jian Feng.” 

“Mengapa baru sekarang kau tiba di sini?” mendadak Yan Nan Tian menoleh dan menegur dengan bengis. 

Sorot matanya yang tajam bagai berkelebatnya kilat di malam gelap itu membuat pemuda yang bernama Jian Qin itu bergidik. 

“Hamba ... hamba khawatir dikuntit musuh, terpaksa ... terpaksa menempuh perjalanan waktu malam,” tutur Jian Qin dengan munduk-munduk. “Apalagi ... apalagi kemampuan hamba teramat rendah sehingga tidak mampu berjalan cepat.”

Sikap Yan Nan Tian berubah rada tenang, sorot matanya berubah guram pula, katanya, “Tuanmu mengirim berita padaku dan minta kutunggu dia di sini tanpa menjelaskan sebab musababnya. Tapi kuyakin pasti menyangkut satu urusan sangat penting dan gawat, sebenarnya apa persoalannya?” 

“Entah sebab apa mendadak Tuan Jian (Jian Feng) memulangkan semua kawan hamba, hanya hamba seorang yang disuruh tinggal, kemudian hamba diperintahkan ke sini menemui Tuan Yan untuk memohon Tuan Yan menjemput majikan kami di jalan lama itu, konon ada urusan penting akan dibicarakan berhadapan nanti. Melihat gelagatnya, agaknya majikan kami ingin ... ingin menghindari pencarian musuh dan sebagainya.”

 “O, benar begitu?” Yan Nan Tian tampak tergerak perasaannya. “Mengapa dia tidak mengatakan padaku sebelumnya? Ai, tindak-tanduk Jian Feng selalu ceroboh, padahal biarpun musuh tangguh, bagaimana pun juga masakah kami bersaudara harus takut?!” 

“Ucapan Tuan Yan memang tepat,” ujar Jian Qin. 

“Sudah berapa lama majikanmu berangkat dari rumah?” tanya Yan Nan Tian. 

“Jika tiada halangan apa-apa, saat ini seharusnya sudah berada di tengah perjalanan kemari.” 

“Mengapa  kau tidak segera datang ke sini” ujar Yan Nan Tian dengan membanting kaki. “Apabila terjadi ....” 

Pada saat itulah tiba-tiba ada seorang berseru, “Pendekar Yan ... Pendekar Yan ....” tertampaklah beberapa orang berlari datang, seorang paling depan tampak gesit dan tangkas, itulah dia Ketua Shen yang kecil-kecil cabai rawit itu. 

Yan Nan Tian berkerut kening, katanya dengan tak acuh, “Apakah kau ini Ketua umum gabungan biro expedisi Zhen Yuan, Wei Yuan dan Ling Yuan?” Shen Qin Hong? Yang berjuluk Bunga Melayang di Langit, Turun Tanpa Suara?

“Benar, itulah hamba adanya,” jawab Shen Qin Hong sambil memberi hormat.

 “Maaf, Pendekar Yan, tadi anak buah hamba ternyata buta semua dan tidak mengenali anda....” 

“Hahaha!” Yan Nan Tian tertawa, “Tadi kudengar mereka bicara tentang penyair Liu Tai Bai dan ilmu pedang segala, aku menjadi geli dan dongkol pula. Karena itu aku sengaja mengakali beberapa peser duit mereka agar mereka kapok dan kelak tidak sembarangan membual.” 

“Ya, ya, mereka itu memang pantas mampus,” berulang-ulang Shen Qin Hong mengiakan.

 Mendadak Yan Nan Tian berhenti tertawa dan bertanya dengan sikap kereng, “Apakah kedatanganmu ingin menemui aku?”

 “Benar, kedatangan hamba khusus ingin menemui Pendekar Yan,” jawab Shen Qin Hong.

“Dari mana kau tahu aku berada di sini?” tanya Yan Nan Tian bengis.

 “Sebenarnya hamba sedang menghadapi jalan buntu, syukur mendapat petunjuk seorang tetua, katanya dalam dua hari ini Pendekar Yan pasti akan menunggu seseorang di sini, makanya hamba cepat menyusul ke sini.”

 “O, rupanya gara-gara si setan pemabukan itu,” ujar Yan Nan Tian dengan tersenyum. 

Waktu ia berpaling, ia menjadi geli ketika dilihatnya Lei berdiri di sana dengan lesu sambil menjinjing sepotong pedang buntung karatan tadi, dengan tertawa ia lantas menegurnya, “Kukira kau pasti penasaran atas kejadian tadi, bukan?”

 “Sesungguhnya hamba … pedang itu  hamba beli ....”

Belum habis Lei menyatakan rasa penyesalannya, segera Shen Qin Hong membentaknya, “Lebih baik tutup mulutmu dan jangan bikin malu. Masakah kau tidak tahu bahwa tanpa memegang pedang juga Pendekar Yan lebih lihai daripada menggunakan pedang karatan itu. Biarpun besi tua atau benda apa pun, asalkan dipegang Pendekar Yan pasti juga berubah menjadi senjata yang ampuh dan sangat tajam.”

Pendekar Binal bagian 17

“Ketua ….” demikian beramai-ramai Qian dan lainnya memberi hormat kepada orang pendek kecil itu, lalu mereka pun menceritakan apa yang baru saja terjadi tentang jual beli pedang pusaka itu.

 “Hah! Betulkah terjadi begitu?” ujar ketua itu dengan tertawa, “Wah, jika begitu Saudara Lei harus diberi selamat!” 

Dengan tertawa bangga Lei menjawab, “O, terima kasih Ketua Shen, ini hanya kejadian secara kebetulan saja,” 

Dasar manusia rendah, baru sedikit mendapat “angin” lantas kepala besar, sebutan “ketua” kepada pemimpinnya mendadak berganti jadi sebutan “Shen keke” (Kakak Shen) saja. Namun Ketua Shen itu agaknya tidak menaruh perhatian atas perubahan sikap Lei itu, dengan tertawa dia berkata pula, “Terus terang senjata pusaka setajam itu aku pun belum pernah melihatnya. Kalau tidak keberatan, apakah boleh Saudara Lei mendemonstrasikannya untuk menambah pengalamanku.”

 “Haha, boleh saja,” Lei bergelak tertawa. “Boleh saja Kakak Shen mencobanya dan segera akan terbukti.” 

“Coba pinjam pedangmu, Adik Qian,” kata Ketua Shen kepada Qian dan setelah menyingsing lengan baju, dengan tersenyum ia berkata, “Awas Adik Lei!” Habis itu pedang pinjamannya terus menebas.

 Agaknya Lei sengaja berlagak menirukan lelaki kumal tadi, dengan tangan kiri memegang cawan arak dan tangan kanan memegang “pedang pusaka” untuk menangkis secara acuh. Maka terdengarlah suara “trang, krek, trang, bluk”, benar juga kutungan pedang telah jatuh ke lantai, tapi bukan pedang Ketua Shen yang patah melainkan “pedang pusaka” Lei. 

Suara-suara “trang-krek-trang-bluk” yang terjadi dimulai dengan beradunya kedua pedang, lalu jatuhnya kutungan pedang, suara ketiga karena pecah berantakannya cawan arak Lei dan suara gedebukan terakhir itu adalah karena Lei jatuh terduduk saking kagetnya. Keruan muka Lei pucat pasi seperti mayat, bahkan kawan-kawannya juga melongo terkesima seperti patung

“Hm, masakah begini macamnya pedang pusaka?” dengus Ketua Shen sambil melemparkan pedangnya kepada Qian. 

“Tapi ... tapi tadi jelas ... jelas ....” demikian dengan menyengir Lei berusaha menerangkan. 

“Yang jelas kau telah tertipu,” ejek Ketua Shen. 

Mendadak Lei sadar, serentak ia melompat bangun dan mengumpat, “Mana orang tadi? Kurang ajar ....” 

“Hus! Jangan sembrono!” cepat Ketua Shen membentaknya.

 Karena itu Lei tidak jadi mengumpat lebih lanjut, jawabnya dengan sikap kikuk, “Ada ... ada pesan apa, Ketua.”

Kini dia telah menyebut “Ketua” lagi kepada pimpinannya, namun Ketua Shen tetap anggap tidak tahu saja, ia bertanya dengan dingin, “Bagaimana macamnya orang tadi?” 

“Seorang lelaki kumal, mungkin orang gelandangan, cuma perawakannya tinggi besar,” tutur Lei.

Ketua Shen termenung sejenak, mendadak air mukanya berubah dan bertanya pula, “Apakah kedua alis orang itu sangat tebal dan tulang pipinya menonjol, matanya setengah terpejam seperti orang selalu mengantuk saja.”

 “Ha, betul. Ketua kenal dia?”

 Ketua Shen memandang sekejap kepada Lei, lalu memandang Qian pula, tiba-tiba ia menengadah dan menghela napas panjang, lalu berkata, “Sungguh sayang, kalian sudah sekian lama ikut padaku, kalian ternyata bermata tapi tidak bisa melihat alias buta melek.” 

Lei hanya munduk-munduk saja, sekarang dia tidak berani membantah sepatah kata pun

. “Memangnya apakah kalian tahu siapa gerangan lelaki tadi?” tanya Ketua Shen lagi. 

Semua terdiam dan saling pandang dengan bingung. Akhirnya mereka tanya berbareng, “Siapa dia?”

Dengan sekata demi sekata Ketua Shen menjawab, “Dia tak lain tak bukan ialah si pedang sakti Yan Nan Tian, Pendekar Yan! Yaitu orang yang khusus ingin kutemui di sini sekarang.” 

Belum habis sang ketua menjelaskan, “bluk”, kembali Lei jatuh terduduk dengan mulut ternganga.

Pendekar Binal bagian 16

Lelaki kumal yang duduk di pojok sana juga sedang menggosok-gosok pedangnya yang karatan itu, lalu menenggak araknya, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, “Hahaha! Di dunia ini mana ada orang macam begitu! Mana ada lagi pedang begitu?” 

Kembali si saudara Lei naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak, “Siapa itu yang bicara? Lekas kemari jika ingin kutonjok kepalamu?” 

Lelaki kumal itu seperti tidak memperhatikan ancaman Lei, ia masih menggosok pedangnya yang karatan dan menenggak araknya seakan-akan ucapan tadi bukan keluar dari mulutnya. 

Lei tidak tahan lagi, segera ia hendak memburu ke sana, tapi lagi-lagi ia dicegah Qian. 

Qian mengedipi Lei agar duduk kembali, lalu ia sendiri mendekati lelaki kumal itu dan menyapa, “He, kawan, tampaknya kau pun berlatih pedang, makanya merasa penasaran ketika mendengar kelihaian ilmu pedang orang lain. Tapi apakah engkau tahu siapakah gerangan tokoh yang kami bicarakan itu?”

Dengan kemalas-malasan lelaki kumal itu menengadah, tanyanya sambil menyeringai, “Siapa?”

“Yan Nan Tian, Pendekar Yan! Si Pedang Sakti,” jawab Qian.

 “Haha, jika kawan benar-benar berlatih pedang, tentu kau akan tunduk mendengar nama ini.” Tak terduga lelaki kumal itu hanya berkedip-kedip saja seperti orang tidak tahu apa-apa, tanyanya dengan menyengir, “Yan Nan thian?”

 “Hahahaha!” Qian tertawa terpingkal-pingkal. “Nama Pendekar Yan saja tak pernah kau dengar, masa engkau mengaku mahir ilmu pedang?” 

“Jika demikian, agaknya kau kenal orang bernama Yan itu?” tanya si lelaki kumal dengan tertawa. 

Qian berbalik melengak, tertawanya pun berhenti, jawabnya, “Ini, hehe, ini ... hahaha ....” 
\
“Bagaimana macamnya orang bernama Yan itu?” tanya pula lelaki itu dengan tertawa, “dan bagaimana dengan pedangnya itu ....” 

Agaknya Lei tidak tahan lagi, ia memburu maju dan menggebrak meja sambil berteriak, “Biarpun kami tidak kenal dia, tapi kami yakin dia pasti lebih gagah dan tampan daripada macammu ini. Apalagi pedangnya, tentu beribu kali lebih bagus daripada pedang rongsokan milikmu ini.” 

“Hahaha!” lelaki itu tertawa, “tampaknya kau ini orang cerdik pandai, mengapa pandanganmu begini picik. Biarpun diriku tidak cakap, namun pedangku ini justru ....”

 “Hah, memangnya pedangmu ini juga pedang sakti?” sela Lei sambil mengakak geli.

 “Pedangku ini justru senjata mahatajam, sanggup memotong besi seperti merajang sayur.” 

Belum habis lelaki itu bicara, serentak orang banyak sudah tertawa gemuruh, malahan Lei sampai terpingkal-pingkal memegangi perutnya yang mules, katanya, “Jika pedangmu ini betul dapat memotong besi seperti merajang sayur, maka kami akan traktir kau makan minum sepuasmu, bahkan ....” “

Baik,” tiba-tiba lelaki kumal itu berdiri, “Coba keluarkan pedangmu!” 

Selagi duduk tidaklah menarik perhatian, begitu lelaki itu berdiri, perawakannya yang tinggi besar sungguh mengejutkan. Tubuh Lei  sudah terhitung tegap, badan Qian juga terhitung gemuk, tapi kalau dibandingkan perawakan orang yang kekar itu rasanya menjadi tak berarti sama sekali. Seketika itu, diam-diam kedai arak itu kedatangan seorang pemuda berwajah pucat berbaju hijau dan berpeci, sambil bersandar di depan meja kasir, ia mengikuti apa yang terjadi dengan tertawa. 

Sementara itu Lei telah mengeluarkan pedangnya, katanya sambil membusungkan dada, “Baik, ayo boleh kita coba!” 

“Nah, silakan kau bacok sekuatnya,” kata lelaki kumal itu.

“Baik, awas ya, kalau terluka jangan salahkan aku!” ujar Lei sambil menyeringai. 

Sekali angkat, kontan pedangnya yang terbuat dari baja itu terus menebas dari atas ke bawah. Tapi lelaki kumal itu tenang-tenang saja, tangan kiri memegang cawan arak dan tangan kanan angkat pedang karatannya menangkis ke atas.

Terdengar “trang” sekali, Lei tergetar mundur dan pedang sendiri tahu-tahu patah menjadi dua. Seketika semua orang kaget dan hampir-hampir tidak percaya pada matanya sendiri.

 “Hahahaha! Apa abamu sekarang?” Lelaki kumal itu terbahak-bahak sambil mengelus, pedangnya yang karatan itu.

 Tentu saja Lei  ternganga, katanya dengan tergegap, “Hebat, sungguh ... sungguh pedang hebat!” 

“Tapi sayang pedang sehebat ini berada di tangan orang gelandangan macam diriku ini,” ujar lelaki kumal itu dengan penuh sesal. 

Mendadak sorot mata Lei menjadi terang, katanya, “He, apakah kawan mau menjual pedangmu ini?”

 “Sebenarnya juga ada maksudku untuk menjualnya, namun belum mendapatkan pembelinya.”

 “Eh, bagaimana kalau ... kalau dijual padaku saja?” tanya Lei dengan bersemangat. 

Lelaki itu mengamat-amati sejenak orang bermarga Lei itu, lalu menjawab, “Tampaknya kalian ini juga orang gagah dan cocok memiliki pedangku ini. Cuma ... cuma pandanganmu kurang tajam, belum lagi tentang harganya, kira-kira kau berani bayar berapa?” 

“Ah, ini mudah ... mudah dirundingkan ....” Lei kegirangan dan segera mengumpulkan kawan-kawannya untuk berunding, mereka berempat tampak merogoh saku dan coba menghitung-hitung bekal masing-masing.

Lelaki kumal tadi tetap duduk di tempatnya dan minum arak tanpa ambil pusing akan tingkah laku Lei dan kawan-kawannya itu. 

Selang sejenak barulah Lei mendekati lelaki itu dan berkata dengan ragu-ragu, “Sobat, bagai ... bagaimana kalau lima ratus tael ….” 

“Berapa?!” orang itu menegas dengan setengah mendelik. 

Lekas-lekas Lei berganti haluan, jawabnya, “O, bagaimana kalau ... kalau seribu tael perak. Bicara terus terang, kami berempat sudah ... sudah menguras seluruh isi saku kami dan cuma dapat terkumpul sekian.” 

Lelaki itu tampak termenung sejenak, katanya kemudian, “Sebenarnya pedangku ini adalah pusaka yang sukar dinilai. Cuma kata peribahasa, bedak halus dihadiahkan kepada si cantik dan pedang kudu diberikan kepada ksatria .... Baiklah, jadi, seribu tael perak kujual padamu.”

Khawatir orang menarik kembali keputusannya, cepat Lei mengumpulkan seluruh isi saku teman-temannya, lalu disodorkan ke depan lelaki kumal itu sambil berkata, “Ini, seribu tael kontan, silakan hitung.” 

Tanpa hitung-hitung lelaki itu terus mengemasi seribu tael perak itu dengan sebuah kantong butut, katanya dengan tertawa, “Sudahlah, tak perlu dihitung, kupercaya penuh padamu. Nah, inilah pedangnya, silakan diterima. Senjata mestika hanya cocok bagi pemiliknya yang bijaksana, selanjutnya kau harus hati-hati menggunakannya, kalau tidak senjata mestika juga akan berubah menjadi besi tua yang tak berguna ....” 

Berulang-ulang Lei mengiakan sambil menerima penyerahan pedang tadi, girangnya tidak kepalang seperti orang dapat undian.

“Trang”, lelaki itu menjatuhkan sepotong perak di atas meja dan berseru kepada pelayan, “Ini rekening para sahabat ini semuanya diperhitungkan padaku, sisanya buat kau!” 

Lalu tanpa menoleh lagi ia terus meninggalkan kedai arak itu. Hanya si pemuda berwajah pucat tadi senantiasa mengikuti gerak-gerik lelaki kumal itu, ia tertawa memandangi Lei dan kawan-kawannya, lalu ikut meninggalkan kedai itu. 

Tampaknya Lui-lotoa kegirangan hingga lupa daratan karena menganggap berhasil membeli benda pusaka dengan harga murah. 

Kawannya, yaitu Qian, dengan tertawa mengumpaknya. “Wah, dengan pedang pusaka, selanjutnya Kakak Lei benar-benar seperti harimau tumbuh sayap dan dapat malang melintang di dunia persilatan.” 

“Haha, Adik kedua Qian memang suka memuji,” ujar Lei sambil mengakak senang. “Kukira ini pun berkat doa restu saudara-saudara .... Haha, mungkin ini sudah saatnya bintangku mulai terang, kalau tidak masakah secara kebetulan begini aku mendapatkan benda pusaka ini.” 

“Dengan pedang pusaka ini, mungkin Yan Nan Tian juga akan keder menghadapi Kakak Lei, bahkan ketua kita juga pasti akan memberi penghargaan lain,” ujar Qian. 

Muka Lei yang berseri-seri membuat lubang buriknya seakan-akan tambah mekar. Sambil memegang “pedang pusaka” yang baru dibelinya itu dia mondar-mandir kian kemari, duduk tidak tenang, berdiri pun tidak tenteram. 

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang menegur, “He!, urusan apa yang membuat kalian bergembira begini?”

Tertampak seorang pendek kecil dengan jubah bersulam melangkah masuk kedai arak itu. Meski tubuhnya kecil, tapi sorot matanya tajam, gerak-geriknya tangkas dan berwibawa sehingga sekali pandang orang akan segera merasakan bahwa orang itu sehari-harinya pasti biasa memimpin dan memberi perintah. 


Pendekar Binal bagian 15

Sebuah jalan batu yang tersapu bersih dengan beberapa rumah yang resik dan sederhana, wajah penghuni rumah-rumah itu pada umumnya tampak ramah dan baik-baik. Inilah sebuah kota kecil, sangat kecil. Sinar sang surya memancari jalan satu-satunya di kota kecil ini, sebuah panji kain hijau lusuh tampak terpancang pada satu-satunya kedai arak dengan tulisan “Tai Bai” atau kedai Lai Tai Bai (penyair termasyhur pada jaman Tang dan terkenal gemar minum arak). 

Sudah biasa kedai kecil ini sepi melulu, si pelayan malahan sedang mengantuk dengan mendekap di atas meja. Memang ada juga tamunya, di meja sebelah sana duduk sendirian seorang tamu. Tapi si pelayan malas melayani tamu demikian ini. Sudah beberapa hari tamu ini selalu datang minum arak, tapi selain minta satu poci arak murahan, nyamikan atau makanan kecil  saja tidak mau keluarkan sepeser lebih, apalagi makanan yang lezat-lezat. 

Maklumlah, tamu ini sesungguhnya terlalu miskin, begitu miskin sehingga sepatu rumput butut yang dipakainya itu sudah hampir bolong seluruhnya. Namun dia sama sekali tidak merasa rendah harga diri, dia duduk bersandar dinding sambil berlipat kaki dan menikmati araknya, tubuhnya yang kekar itu laksana harimau kumbang yang kemalas-malasan. 

Poci arak di depannya sementara itu sudah kosong, tampaknya orang itu pun sudah mabuk, cahaya matahari yang menyorot dari luar jendela itu menyinari wajahnya yang kelihatan kepucat-pucatan dengan jenggot yang pendek, kedua alisnya yang tebal dengan tulang pipinya yang menonjol itu tampak menambah angkernya. Dengan sebelah telapak tangannya yang kurus tapi lebar itu dia menutupi mukanya, tangan yang lain memegang sebatang pedang karatan, akhirnya dia mendengkur, tertidur. 

Waktu itu baru lewat tengah hari, kota kecil yang sunyi itu tiba-tiba menjadi riuh oleh berdetaknya kaki kuda lari, beberapa penunggang kuda tampak datang dan berhenti di depan kedai arak itu. Beberapa lelaki kekar dengan baju sutera serentak melompat turun dan masuk kedai arak itu sehingga kedai sekecil itu seketika seakan-akan menjadi penuh sesak. Pinggang laki-laki paling depan bergantung pedang, sikapnya berseri-seri seperti orang baru mendapat rezeki sehingga lubang-lubang pada mukanya yang burik pun seakan-akan bercahaya. 

Begitu dia melangkah masuk kedai, serentak dia bergelak tertawa dan berolokolok, “Hahaha, kedai butut begini juga pakai nama Tai Bai.”

Lelaki di belakangnya bermuka bulat dengan perut buncit, juga membawa pedang, potongannya lebih mirip saudagar dari pada jago kungfu. Dengan tertawa ia menanggapi ucapan kawannya tadi, “Saudara Lei, engkau salah. Meski syair Li Tai Bai bernilai tinggi, tapi dia tetap miskin dan cocok bertempat tinggal di kedai buruk begini.”

Lalu ia berteriak-teriak memanggil pelayan, “Hai, pelayan, bawakan arak dan makanan paling lezat, cepat!”

Setelah menenggak arak, senda-gurau beberapa orang itu semakin riuh seakan-akan anggap dunia ini mereka punya dan menyepelekan orang lain.

Keruan lelaki kekar yang mengantuk di pojok sana berkerut kening, mendadak ia duduk menegak sambil mengulet kemalas-malasan dan bergumam, “Wah, bau busuk, dari mana datangnya bau busuk ini ....” sekonyong-konyong ia pun menggebrak meja dan berteriak, “Pelayan, tambahkan araknya!”

Suaranya yang menggelegar itu membikin beberapa orang yang baru datang itu berjingkat kaget. Orang yang dipanggil “Lei” tadi tampak marah dan berdiri hendak mencari perkara, tapi seorang kawannya yang kurus kecil cepat mencegahnya dan membisikkannya, “Sabar dulu, Ketua sudah hampir tiba, buat apa kita mencari gara-gara.” 

Lei  mendengus dan duduk kembali, setelah menenggak araknya, lalu berkata pula, “Hei, Adik Sun, apakah betul tempat ini yang dimaksud oleh ketua, kau tidak salah dengar?”

 “Tanggung tidak salah, “jawab Saudara Sun, si kurus kecil tadi. “Kakak Kedua Qian sendiri juga dengar.”

Si lelaki muka bulat menukas, “Ya, benar, memang tempat ini yang dimaksudkan. Konon beliau ingin menemui seorang ksatria besar, maka kita disuruh membawa kadonya menunggu
di sini.”

 “Apakah kau tahu siapa yang hendak ditemui ketua kita?” tanya Kakak Lei. 

 “Sudah tentu kutahu, “ujar orang yang disebut Kakak Kedua tadi, lalu dengan suara tertahan ia menyebut nama seseorang. 

 “Hah! Jadi dia yang dimaksudkan? Masakah beliau sudi datang ke tempat kecil ini?” “Jika beliau tidak sudi datang, buat apa ketua datang ke sini.” 

Sikap beberapa orang itu lantas prihatin demi mengetahui siapa yang hendak ditemui pemimpin mereka, walaupun masih tetap berkelakar, tapi suaranya tidak berani lagi keras. Lalu mereka pun bicara mengenai ksatria besar yang dimaksudkan itu, konon pedang sakti ksatria besar itu dapat memotong besi seperti merajang sayur, di malam hari bercahaya seperti sinar lampu.

  “Memang, kalau saja tiada pedang sehebat itu mana mungkin hanya sekejap saja kepala kawanan Iblis dari Yinshan (Gunung Yin)  itu terpenggal seluruhnya?” 

“Ya, bukan saja ilmu pedangnya maha sakti, bahkan ilmu peringan tubuhnya juga hebat. Nah, bayangkan, betapa tingginya tembok benteng kota Beijing, dengan sekali loncat beliau sanggup melintasinya.” 

“Benarkah itu?” si Kakak Lei melelet-lelet lidah. 

“Mengapa tidak benar?” ujar Kakak Kedua Qian. 

“Konon, petangnya, dia habis minum di kota Beijing, tapi sebelum fajar dia sudah berada di Yinshan, kawanan Iblis Yinshan baru melihat berkelebatnya sinar pedang dan kepala mereka pun terpenggal satu per satu .... Hei..., konon sinar pedangnya terlihat hingga ratusan li jauhnya, sungguh luar biasa!”

Pendekar Binal bagian 14

Tidak, aku tidak berubah, benciku kepada mereka pun merasuk tulang, bahkan ... bahkan jauh lebih mendalam daripada dirimu kak.

 “Baik, coba jelaskan cara bagaimana membuat kedua anak ini sengsara dan menderita selama hidup?

 “Sesudah kawanan ayam dan babi dari Bandit 12 Shio tadi mampus semua, kini di dunia ini tiada seorang lagi yang mengetahui bahwa Jian Feng dan si budak hina itu mempunyai anak kembar, bukan?

Seketika Yao Yue belum dapat meraba jalan pikiran adiknya itu, ia hanya mengangguk dan membenarkan. 

Nah, dengan sendirinya kedua bayi ini juga tidak tahu apa-apa, bukan?

Hm, tidak perlu bicara bertele-tele,” jengek Yao Yue. \

Tapi masih ada seorang Yan Nan Thian yang mengaku sebagai Pendekar pedang nomor satu di jagat ini, dia adalah sahabat karib Jian Feng, ia sudah berjanji akan menjemput Jian Feng di jalan ini, kalau tidak, tentu Jian Feng takkan mengambil jalan sepi ini ....

 “Tampaknya luas juga sumber beritamu!” 

Tapi yang penting kedatangan Yan Nan Thian ke sini ternyata terlambat.

 “Memangnya bagaimana kalau dia terlambat?” jengek Yao Yue. 

Jika begitu, akhirnya dia kan pasti akan datang ke sini, bukan?

Yao Yue menjadi gusar, teriaknya, “Mengapa bicaramu selalu putar kayun dan bertele-tele, kau kenal watakku tidak?

 “Sabar sejenak, kak,” ujar Lian Xing dengan tersenyum. “Sekarang kalau kita membawa pergi salah satu anak kembar ini dan tinggalkan satu di sini, bila Yan Nan Thian datang, tentu dia akan membawa pergi anak yang kita tinggalkan ini dan merawat serta membesarkannya, malahan bukan mustahil akan mengajarkan anak itu dengan segenap ilmu kungfunya demi untuk menuntut balas sakit hati atas kematian ayah-bunda anak itu, betul tidak?

 “Ehm, anggap saja betul,” dengus Yao Yue. 

Nah, kalau kita meninggalkan suatu bekas pukulan di tubuh Jian Feng, tentu mereka akan kenal bahwa apa yang terjadi ini adalah perbuatan dua putri dari Yi Hua dan kelak setelah anak itu dewasa, pasti juga kita yang akan menjadi sasarannya untuk menuntut balas, bukan?

 “Ya, betul juga,” jawab Yao Yue. Sorot matanya gemerlap, tampaknya hatinya mulai goyang. 

Sementara itu anak yang kita bawa tentu juga sudah besar, dan sebagai ahli waris Yi Hua Gong, tentunya ia pun menguasai segenap ilmu kungfu ajaran kita. Sebagai lelaki satu-satunya di Yi Hua Gong, apabila kita kedatangan musuh, dengan sendirinya dia akan tampil ke muka untuk menghadapi segala tantangan. Sudah tentu dia takkan mengetahui bahwa musuh yang datang adalah saudara sekandungnya, bahkan saudara kembarnya, di dunia ini juga tiada orang lain yang tahu hubungan sedarah sedaging mereka dan dengan demikian ....

 “Mereka akan berubah menjadi musuh dan akan bertarung satu sama yang lain, begitu bukan maksudmu?” sela Yao Yue.

 “Tepat,” seru Lian Xing dengan tertawa. “Tatkala mana si adik bertekad membunuh kakak dan sang kakak juga berkeras ingin membinasakan si adik. Mereka adalah saudara kembar, kepintaran dan kecerdasan mereka tentu seimbang, dengan begitu cara mereka mengadu akal dan tenaga tentu akan berlangsung dengan sangat dahsyat dan entah akan berlangsung berapa lama baru dapat membinasakan pihak lawan.” 

Ehm, rasanya menarik juga peristiwa demikian,” ujar Yao Yue dengan tersenyum.

 “Tentu saja sangat menarik, bukankah jauh lebih menyenangkan daripada kita membunuh mereka sekarang?

 “Benar, kita tidak perlu urus siapa di antara mereka yang akan terbunuh, cukup bagi kita untuk memberitahukan rahasia pribadi mereka ini kepada yang hidup itu, tatkala mana, hehe, air mukanya tentu sangat lucu dan menarik sekali, akan tetapi, kalau ... kalau ada orang memberitahukan lebih dulu rahasia ini kepada mereka, maka apa yang bakal terjadi tentunya takkan menarik lagi.

 “Di dunia ini pada hakikatnya tiada orang lain lagi yang tahu persoalan ini selain engkau Kak ....

 “Dan kau !” sambung Yao Yue dengan dingin.

Aku? Ya, hanya kakak dan aku. Tapi usul ini datangnya dariku, masakah akan kukatakan kepada orang lain? Apalagi kakak kan kenal watakku, kejadian yang bakal sangat menarik masakah takkan kuikuti dengan seksama?” 

Yao Yue termenung sejenak, katanya kemudian sambil mengangguk, “Ya, benar juga. Di dunia ini mungkin hanya kau yang mempunyai jalan pikiran seaneh ini. Dengan gagasanmu ini, kukira kau pun takkan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.” 

Gagasan ini selain aneh juga pasti sangat berguna,” ujar Lian Xing dengan tertawa. “Yang paling lucu adalah mereka sebenarnya saudara kembar, tapi kini satu sudah terluka mukanya, kalau sudah besar kelak bentuk wajahnya pasti akan berbeda. Tatkala mana di dunia ini siapa yang menyangka bahwa kedua musuh yang tak terleraikan ini sebenarnya adalah sekandung, bahkan saudara kembar.” 

Sementara itu anak yang terluka tadi sudah berhenti menangis, agaknya bayi itu pun ketakutan dan ngeri oleh muslihat keji yang timbul dari dendam kesumat dua orang perempuan cantik ini. Kedua matanya yang kecil itu terbelalak cemas seakan-akan sudah dapat membayangkan macam-macam siksa derita yang akan dialaminya pada masa mendatang nanti.

Pendekar Binal bagian 13

Putri Lian Xing menjerit perlahan dan memburu maju, dilihatnya golok yang tadi telah menancap ke dalam hulu hati Jian Feng, tamatlah riwayat sang lelaki mahacakap itu. Bulan sabit sudah menongol di cakrawala dengan cahayanya yang setengah remang. 

Putri Lian Xing berlutut mematung, hanya angin meniup mengembus rambutnya yang halus itu, lama dan lama sekali barulah ia bergumam, “Dia ... dia sudah mati ... akhirnya keinginannya terkabul juga, tapi … tapi bagaimana dengan engkau? ....” 

Mendadak ia bangkit dan menghadapi sang kakak, yaitu Putri Yao Yue dan berteriak, “Ya, bagaimana dengan kita?

 “Tutup mulutmu!” jawab Putri Yao Yue tak acuh.

 “Aku justru ingin bicara!” seru Putri Lian Xing “Apa yang telah kau peroleh dengan tindakanmu ini? … engkau hanya membuat mereka semakin  saling mencintai, membuat mereka semakin benci padamu!” 

“Plak”, belum habis ucapannya pipinya telah ditampar sekali oleh sang kakak. 

Putri Lian Xing tergetar mundur dua langkah.

Kau ... kau ....” Ia tergegap sambil meraba pipinya. 

Kau hanya tahu mereka benci padaku, tapi apakah kau pun tahu betapa benciku padanya? Kubenci dia hingga darah menetes dari tubuhku ....” Mendadak ia menyingsing lengan bajunya dan berteriak pula, “Lihatlah ini!

Di bawah sinar bulan yang remang, lengannya yang putih mulus itu ternyata penuh bintik-bintik merah. 

Putri Lian Xing melengak, tanyanya, “Ini ... ini ... sebab apa ini?” 

inilah bekas tusukan jarum yang kulakukan sendiri,” teriak Putri Yao Yue dengan penuh emosi. 

Sejak mereka kabur, aku menjadi benci, aku dendam dan menyakiti diriku sendiri dengan tusukan jarum, setiap hari aku menyiksa diriku sendiri untuk mengurangi rasa derita batin. Semuanya ini apakah kau tidak tahu ... apakah kau tidak tahu? ....

Sampai akhirnya suaranya menjadi gemetar dan setengah terisak.

Melihat lengan kakaknya yang penuh bintik merah berdarah itu, semula Putri Lian Xing melenggong, tapi mendadak ia menubruk ke dalam pelukan Putri Yao Yue dengan air mata bercucuran, katanya dengan suara tersedu, “O, tak kuduga bahwa … bahwa Kakak juga menahan penderitaan batin sehebat ini.” 

Sambil merangkul pundak adiknya, Yao Yue menengadah dan berucap dengan rasa hampa, “Ya, betapa pun aku juga manusia, juga perempuan, aku pun berperasaan seperti perempuan lain, aku pun mendambakan cinta, tapi aku pun bisa iri, cemburu, dendam dan benci ....” 

Cahaya sang dewi malam yang lembut menyinari rangkulan dua bayangan tubuh menggiurkan. Kini mereka bukan lagi kedua putri agung dari Yi Hua Gong yang disegani dan dihormati melainkan dua gadis biasa yang bernasib malang seperti orang kebanyakan yang harus dikasihani. 

O, Kakak, baru sekarang … baru sekarang kutahu, engkau ....” Putri Lian Xing bergumam pula. 

Tapi Yao Yue lantas mendorongnya dan membentak, “Diam!

Setelah tenangkan diri, Putri Lian Xing berkata pula dengan rasa pedih, “Kakak, sudah lebih dua puluh tahun baru sekarang engkau merangkul diriku, biarpun Kakak tetap benci padaku, namun ... namun hatiku sudah puas.” 

Yao Yue tidak memandangnya lagi barang sekejap, dengusnya, “Lekas turun tangan!

 “Turun ... turun tangan? Terhadap … terhadap siapa?” “Siapa lagi? Kedua orok itu!” kata Yao Yue dengan nada kaku dingin. 

Kedua anak itu?” Lian Xing menegas dengan tergegap. “Tapi mereka baru ... baru saja dilahirkan, masakah Kakak ....

 “Pokoknya anak mereka tak boleh ditinggalkan!” ujar Yao Yue.

 “Jika anak mereka tidak mati, asal teringat olehku mereka ini adalah anak Jian Feng dan budak hina itu, tentu aku akan menderita, aku akan menderita selama hidup. Nah, lekas turun tangan!

Aku ... aku tidak tega, Kakak, tidak tega turun tangan!” 

Baiklah, biar aku sendiri yang melakukannya!” dengan gesit Yao Yue memungut golok di tanah, sekali sinar golok berkelebat, secepat kilat lantas menyambar ke arah kedua jabang bayi yang tidur nyenyak di dalam kereta.

Mendadak Putri Lian Xing merangkul tangan sang kakak sekuatnya sehingga ujung golok cuma sempat menggores sejalur luka pada wajah salah satu anak itu. Seketika orok itu terjaga bangun dan menangis. 

Kau berani merintangi aku?” bentak Yao Yue gusar.

Kakak, kupikir ... kupikir ....” suara Lian Xing setengah meratap.

Lepaskan tanganmu! Kau berani merintangi aku? Memangnya kau sendiri ingin mampus?” 

Maksudku bukan merintangi tindakanmu, kak,” tiba-tiba nada Lian Xing berubah. “Justru mendadak aku mendapatkan suatu gagasan bagus yang jauh lebih bagus daripada kita membunuh kedua anak ini.” 

Yao Yue merandek ragu, akhirnya ia bertanya, “Apa gagasanmu?” 

Bukankah merasuk tulang, benci Kakak terhadap budak hina itu? Juga benci Kakak pada anak Jian Feng itu kukira tidaklah berkurang. Nah, apa faedahnya jika kita membunuh kedua anak yang tidak tahu apa-apa ini? Pada hakikatnya sekarang pun mereka tidak kenal apa artinya menderita.” 

Habis, bagaimana jika kita tidak membunuh mereka?” 

Agar benar-benar dapat melampiaskan dendam kita, kedua anak ini harus dibuat menderita dan sengsara selama hidup, dengan demikian, walaupun anak Jian Feng dan budak hina itu sudah mampus juga, takkan tenteram di akhirat.” 

Sorot mata Yao Yue menatap dingin kepada adiknya, “Mengapa sikapmu berubah terhadap mereka?

Pendekar Binal bagian 12

Kepala Putri Lian Xing juga tertunduk, sambil menggigit bibir ia menyapa, “Kakak, engkau ... engkau juga datang.” 

Ya, aku pun datang, kau tidak menyangka bukan?” jawab sang kakak, Putri Yao Yue, putri agung utama dari Yi Hua Gong (Istana Yi Hua) yang termasyhur dan disegani itu. 

Kapan Kakak datang kemari?” jawab Putri Lian Xing pula, kepalanya semakin menunduk. 

Kedatanganku tidak terlalu dini, hanya, hanya sempat mengikuti percakapan orang banyak yang agaknya tidak suka didengar olehku,” ujar Putri Yao Yue. 

Terkilas pikiran dalam benak Jian Feng, dengan suara gemas ia berteriak, “Jadi ... jadi sejak tadi kau sudah datang. Kalau begitu si babi dan si ayam dari Bandit 12 Shio yang tadi sudah kabur lalu datang kembali lagi itu jangan-jangan adalah perintahmu? Jadi semua rahasia itu telah kau katakan kepada mereka?

 “Baru sekarang hal ini terpikir olehmu, bukankah sudah terlambat?” ujar Putri Yao Yue.

Mata Jian Feng mendelik, dengan beringas ia berteriak, “Mengapa ... mengapa kau berbuat demikian? Bertindak sekeji ini?

 “Terhadap orang yang berhati keji, hatiku pasti sepuluh kali lebih keji daripadanya,” jawab Yao Yue. 

Tuan Putri,” jerit Hua Yuenu dengan menahan derita, “semuanya adalah salahku, jangan ... jangan kau salahkan dia.

Mendadak nada ucapan Putri Yao Yue berubah setajam sembilu, katanya sekata demi sekata, “Kau masih berani bicara demikian padaku?

Hua Yuenu ngesot di tanah, katanya dengan terputus-putus, “Hamb ... hamba ....” 

Baiklah, kau sudah bertemu denganku, kini ... kini bolehlah kau enyah!” ucap Yao Yue dengan tenang-tenang. 

Enyahlah” jelas berarti vonis kematian. 

Betapa takutnya Hua Yuenu dapat digambarkan bahwa menangis saja dia tidak berani, dia hanya memejamkan mata dan menjawab lemah, “Terima kasih Tuan Putri.” 

Dia menghendaki kematianmu, mengapa kau malah berterima kasih padanya?” teriak Jian Feng dengan kalap.

Tersungging senyuman pilu pada ujung mulut Hua Yuenu, jawabnya perlahan, “Biarlah kumati lebih dulu agar tak menyaksikan bagaimana kematianmu dengan anak-anak kita, dengan begitu dapatlah mengurangi sedikit siksa deritaku. Dan ini adalah ... adalah kemurahan hati Tuan Putri, kan pantas jika aku berterima kasih kepada beliau.

Ia membuka matanya, memandang Jian Feng sekejap, lalu memandang pula kedua bayi, walau hanya pandangan sekilas saja, namun betapa mendalam kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dalam pandangan sekilas itu sungguh tak terlukiskan.

 Hati Jian Feng serasa remuk redam, teriaknya, “Hua Yuenu, kau tidak boleh mati ... tidak boleh mati ....” 

Kakak Feng, biarlah aku pergi lebih dulu, akan ... akan kutunggu engkau di sana ....” lalu terpejamlah matanya dan tidak melek lagi untuk selamanya.

 “Tunggu, istriku!” jerit Jian Feng histeris, entah dari mana timbulnya tenaga, mendadak ia menubruk ke atas tubuh sang istri. Tapi baru saja tubuhnya bergerak, kontan ia dihantam roboh lagi oleh angin pukulan yang keras.

 “Kukira kau perlu berbaring dengan tenang,” ujar Yao Yue. 

Selama hidupku tak pernah kumohon sesuatu kepada siapa pun,” kata Jian Feng dengan suara gemetar, “Tapi sekarang ... kumohon . . . kumohon engkau sukalah berbuat bajik. Apa pun tidak kuinginkan, yang kuharap hanya dapat mati bersama dengan istriku.” 

Hm, jangan kau harap dapat menyentuh seujung jarinya lagi,” jawab Yao Yue ketus.

Jian Feng menatapnya dengan sorot mata membara, kalau saja sinar matanya dapat membunuh orang, sejak tadi tentu orang itu sudah dibunuhnya. Umpama api amarahnya juga dapat berkobar, tentu sejak tadi putri itu pun sudah dibakarnya hidup-hidup.  Akan tetapi Putri Yao Yue masih tetap berdiri tenang saja di situ dengan senyum mengejek. 

Mendadak Jian Feng mengakak tawa seperti orang gila, tertawa histeris, tertawanya orang putus asa dan penuh benci, penuh dendam.

 “Hm, kau malah tertawa? Apa yang kau tertawakan?” tanya Putri Yao Yue mendongkol. 

Hahahaha!” Kalian anggap diri kalian manusia super, manusia yang lain daripada yang lain? Kalian mengira dengan segala kemampuan kalian dapat menguasai segala kehendakmu. Akan tetapi, hahaha, akan tetapi, bila aku sudah mati, aku akan berkumpul bersama istriku, untuk ini dapatkah kalian merintangi kami?” Di tengah gelak tertawa kalap itu, mendadak Jian Feng terkapar, suara tertawanya mulai lemah dan akhirnya berhenti untuk selamanya. 

Pendekar binal bagian 11

Ya, memangnya aku tidak boleh menaruh hati padanya? Apakah aku tidak boleh mencintai dia?” seru Putri Lian Xing penasaran. 

Apakah lantaran badanku cacat, maka aku tidak ... tidak berhak mencintai orang yang kucintai? .... Orang cacat kan manusia, juga perempuan?!” 

Dalam sekejap itu putri yang agung itu mendadak berubah sama sekali, sejenak sebelumnya dia adalah manusia super yang berkuasa menentukan mati-hidup seseorang secara tak terbantahkan. Tapi kini dia tidak lebih hanya seorang perempuan belaka, seorang perempuan lemah yang bernasib malang dan harus dikasihani. Air mata tampak meleleh di pipinya. Sukar dipercaya bahwa tokoh ajaib, manusia super yang hampir menyerupai dongeng di dunia persilatan ini ternyata juga bisa mengucurkan air mata. 

Seketika Jian Feng dan Hua Yuenu melenggong memandangi putri yang agung tapi cacat badan itu. Selang agak lama, dengan lesu Hua Yuenu berkata, “Tuan Putri, toh aku tak dapat hidup lagi, selanjutnya ... selanjutnya dia (Jian Feng) akan menjadi milikmu, maka kumohon engkau bersedia  menolongnya, kuyakin hanya engkau saja yang sanggup menyelamatkan dia.” 

Tergetar tubuh Putri Lian Xing, “selanjutnya dia akan menjadi milikmu”, kalimat ini seperti anak panah menancap hulu hatinya. 

Tapi mendadak Jian Feng bergelak tertawa, tertawa yang rawan, tertawa yang jauh lebih memilukan daripada tangis siapa pun juga. Sorot matanya yang sayu menatap Hua Yuenu, katanya dengan pedih, “Menyelamatkan diriku? .... Di dunia ini siapa yang mampu menyelamatkan jiwaku? Jika engkau mati, apa mungkin aku dapat hidup sendirian? .... O, Hua Yuenu, apakah hingga saat ini engkau masih belum memahami diriku?” 

Hua Yuenu menahan air matanya yang hampir bercucuran pula, jawabnya dengan suara lembut, “Aku paham, tentu saja kupahami dirimu, tapi kalau engkau mati, siapalagi yang akan mengurus anak-anak kita?” 

Suaranya kemudian berubah menjadi rintihan sedih, ia genggam tangan sang suami dan berkata pula dengan air mata berlinang. “Inilah dosa perbuatan kita. Kita tidak berhak meninggalkan dosa akibat perbuatan kita kepada keturunan kita, sekalipun kau ... kau pun tidak boleh, tidak berhak mengelakkan kewajiban dengan jalan mencari kematian.” 

Jian Feng tidak sanggup tertawa pilu pula, giginya yang tergigit sampai gemertukan.

 “Kutahu, mati memang jauh lebih mudah dan hidup akan lebih sukar dan banyak duka derita,” kata Hua Yuenu pula dengan suara gemetar. “Tapi ... tapi kumohon, sudilah ... sudilah engkau bertahan hidup demi anak-anak kita.” 

Air mata membasahi wajah Jian Feng, seperti orang dungu saja dia bergumam, “Aku harus hidup? ... Benarkah aku harus bertahan hidup ....” 

Tuan Putri,” pinta Hua Yuenu kepada sang putri, “betapa pun engkau harus menyelamatkan dia. Apabila engkau memang pernah jatuh cinta padanya, maka engkau tidak layak menyaksikan kematiannya di depanmu.

Begitukah?” ucap Putri Lian Xing dengan acuh tak acuh.

Kuyakin engkau pasti dapat menyelamatkan dia ... pasti dapat,” seru Hua Yuenu dengan parau.

 Putri Lian Xing menghela napas panjang, katanya, “Ya, memang aku dapat menyelamatkan jiwanya ....” 

Belum habis ucapannya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba berkumandang suara seorang, “Kau keliru, tidak mungkin kau dapat menghidupkan dia, di dunia ini tiada seorang pun mampu menyelamatkan dia.” 

Suara orang ini sedemikian ringan mengambang tak menentu, nadanya dingin, tanpa emosi dan mengederkan orang, tapi juga begitu halus, lembut menggetarkan sukma. Rasanya tiada seorang pun yang sanggup melukiskan nada suara yang menarik dan menyeramkan ini, tiada seorang pun di dunia ini yang dapat melupakan nada suara ini bilamana sudah mendengarnya. Jagat raya ini serasa membeku seketika oleh karena nada suara tadi yang penuh mengandung hawa nafsu membunuh itu, senja yang semakin remang itu seketika pun bertambah suram. 

Tubuh Jian Feng gemetar laksana daun tertiup angin. Wajah Putri Lian Xing seketika pun pucat bagai mayat. Tanpa menoleh pun mereka tahu siapa gerangan yang datang. Begitulah sesosok bayangan putih tahu-tahu melayang tiba, entah melayang dari mana dan datang sejak kapan, tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Baju pendatang itu putih laksana salju, rambut terurai dengan gaya indah seperti bidadari yang baru turun dari kayangan, betapa cantik wajahnya sungguh sukar untuk dilukiskan, sebab tiada seorang pun yang berani menengadah untuk memandangnya. Pada tubuhnya seakan-akan membawa semacam daya pengaruh yang tak dapat dilawan sehingga orang pun takut memandangnya.