Pendekar Binal bagian 10

Eh, boleh juga!” Putri Lian Xing  berseloroh. 

Di tengah suara tertawa yang merdu, sekali telapak tangan kanannya meraih perlahan bagai kupu-kupu menyelinap di antara hujan gerimis, lalu sekali lagi melingkar balik, tahu-tahu si jengger ayam merasa serangannya yang lihai kehilangan sasaran secara membingungkan, tangan sendiri seperti tidak mau menurut perintah. Maksudnya ingin menyerang ke kanan, tapi justru menyambar ke kiri, ingin dihentikan, justru tetap menyelonong ke depan. Tanpa ampun lagi, terdengarlah suara “crat-cret” dua kali disusul pula dengan dua kali jeritan ngeri. 

Putri Lian Xing  masih tetap berdiri di tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak, sebaliknya Hek Bian Kun sudah terjungkal, sedangkan Su-sin-khek alias si jengger ayam mencelat jauh ke semak-semak rumput sana, merintih sebentar, lalu tak bersuara lagi. 

Pada dada Hek Bian Kun tampak menancap paruh baja si jengger ayam, dengan meringis menahan sakit ia cabut paruh baja itu, darah seketika menyembur bagai air mancur, dengan suara gemetar ia berkata, “Kau ... kau ....” “Aku kan tidak melukai kalian,” ujar Putri Lian Xing  sambil tertawa.

Kalian sendiri yang saling hantam. Ai, apa sih gunanya?” Mata Hek Bian Kun melotot gusar menatap sang putri, bibirnya bergerak seperti ingin bicara sesuatu, tapi sepatah kata pun tak sempat terucap dan untuk selamanya takkan terucap lagi. 

Putri Lian Xing bergumam sendiri, “Jika kalian tidak berpikir ingin membinasakan aku dan cara menyerang kalian agak ringan, tentu jiwa kalian takkan melayang, betapa pun aku sudah memberi kesempatan hidup kepada kalian bukan? Salah kalian sendiri!” 

Di sebelah sana Jian Feng dan istrinya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi di sebelah sini. Mereka sedang meronta ingin masuk ke dalam kereta untuk memondong jabang bayi yang sedang menangis itu, tangan mereka baru saja sempat meraba gurita si bayi, pada saat itu juga sebuah tangan mendorong jabang bayi itu menjauhi tangan Jian Feng berdua.

Tangan yang menyingkirkan jabang bayi itu tampak putih mulus dengan lengan baju sutera putih pula, namun tangan yang mulus itu ternyata lebih halus daripada kain suteranya. “Berikan . . . berikan padaku ….” pinta Jian Feng dengan suara parau.

Tuan Putri, kumohon, sudilah ... sudilah engkau menyerahkan bayi itu kepadaku,” si perempuan yang baru melahirkan itu pun memohon.

 “Hua Yuenu,” jawab Putri Lian Xing  dengan tertawa, “Bagus sekali kau, sungguh tak kusangka kau melahirkan anak Jian Feng.” 

Meski bicaranya seraya tertawa, namun tertawa yang pedih, hampa, penuh rasa benci dan dendam.

Hua Yuenu, perempuan yang baru melahirkan itu berkata, “Tuan Putri, hamba ... hamba bersalah ... bersalah padamu, nam ... namun anak ini tidak berdosa, sudilah engkau mengampuni mereka.

Termangu Putri Lian Xing  memandang sepasang anak kembar itu sambil bergumam, “Ehm, anak yang montok, sungguh menyenangkan ... alangkah baiknya jika menjadi anakku ....” mendadak matanya menatap Jian Feng, dengan penuh rasa benci dan dendam, menyesal dan juga kecewa.

 Sejenak kemudian barulah dia berucap dengan perasaan hampa, “Jian Feng, kenapa kau lakukan hal ini? Kenapa?” 

Tidak kenapa-apa, sebab aku cinta padanya,” jawab Jian Feng tegas.

 “Kau mencintai dia?” teriak Putri Lian Xing  dengan suara serak. “Kau mencintai seorang babu? Dalam hal apa kakakku tidak melebihi budak ini? Kau dilukai orang, kakakku membawamu ke rumah dan merawatmu, selama hidupnya tidak pernah berbuat sebaik itu kepada orang lain, tapi ... tapi dia justru begitu kesengsem padamu. Sebaliknya ... sebaliknya kau malah ... malah minggat bersama babunya.

Dengan ketus Jian Feng menjawab, “Baik, karena kau ingin tahu, biarlah kujelaskan. Kakakmu pada hakikatnya bukan manusia, dia cuma segumpal api, sepotong es, sebilah pedang, bahkan boleh dikatakan setan, malaikat, tapi sama sekali bukan manusia. Sedangkan dia ....” sampai di sini ia mengalihkan pandangnya kepada Hua Yuenu, istrinya, dengan suara lembut ia menyambung pula, “Dia ... dia adalah manusia, manusia sejati, manusia suci bersih. Dia sangat baik padaku, dapat memahami isi hatiku, menyelami jiwaku. Di dunia ini hanya dia seorang yang mencintai hatiku, sukmaku dan bukan cuma kesengsem pada wajah dan ragaku ini.” 

“Plak!” mendadak pipi Jian Feng ditampar sekali oleh Putri Lian Xing  dan bentaknya, “Ayo katakan ... katakan lagi!

 “Inilah isi hatiku yang harus kuucapkan, kenapa tidak boleh kukatakan?” jawab Jian Feng tegas. 

Kau hanya tahu dia sangat baik padamu, akan tetapi apakah kau tahu bagaimana ... bagaimana diriku ini padamu?” ucap Putri Lian Xing . 

Sekalipun wajahmu ini buruk, biarpun wajahmu jelek bagai setan juga kutetap ... tetap ....” sampai di sini suaranya menjadi lemah dan tidak sanggup melanjutkan lagi. 

Jadi ... jadi Tuan Putri, engkau ... engkau juga ....” dengan suara terputus-putus Hua Yuenu berkata. Baru sekarang ia paham isi hati bekas junjungannya itu.

No comments:

Post a Comment