Pendekar binal bagian 11

Ya, memangnya aku tidak boleh menaruh hati padanya? Apakah aku tidak boleh mencintai dia?” seru Putri Lian Xing penasaran. 

Apakah lantaran badanku cacat, maka aku tidak ... tidak berhak mencintai orang yang kucintai? .... Orang cacat kan manusia, juga perempuan?!” 

Dalam sekejap itu putri yang agung itu mendadak berubah sama sekali, sejenak sebelumnya dia adalah manusia super yang berkuasa menentukan mati-hidup seseorang secara tak terbantahkan. Tapi kini dia tidak lebih hanya seorang perempuan belaka, seorang perempuan lemah yang bernasib malang dan harus dikasihani. Air mata tampak meleleh di pipinya. Sukar dipercaya bahwa tokoh ajaib, manusia super yang hampir menyerupai dongeng di dunia persilatan ini ternyata juga bisa mengucurkan air mata. 

Seketika Jian Feng dan Hua Yuenu melenggong memandangi putri yang agung tapi cacat badan itu. Selang agak lama, dengan lesu Hua Yuenu berkata, “Tuan Putri, toh aku tak dapat hidup lagi, selanjutnya ... selanjutnya dia (Jian Feng) akan menjadi milikmu, maka kumohon engkau bersedia  menolongnya, kuyakin hanya engkau saja yang sanggup menyelamatkan dia.” 

Tergetar tubuh Putri Lian Xing, “selanjutnya dia akan menjadi milikmu”, kalimat ini seperti anak panah menancap hulu hatinya. 

Tapi mendadak Jian Feng bergelak tertawa, tertawa yang rawan, tertawa yang jauh lebih memilukan daripada tangis siapa pun juga. Sorot matanya yang sayu menatap Hua Yuenu, katanya dengan pedih, “Menyelamatkan diriku? .... Di dunia ini siapa yang mampu menyelamatkan jiwaku? Jika engkau mati, apa mungkin aku dapat hidup sendirian? .... O, Hua Yuenu, apakah hingga saat ini engkau masih belum memahami diriku?” 

Hua Yuenu menahan air matanya yang hampir bercucuran pula, jawabnya dengan suara lembut, “Aku paham, tentu saja kupahami dirimu, tapi kalau engkau mati, siapalagi yang akan mengurus anak-anak kita?” 

Suaranya kemudian berubah menjadi rintihan sedih, ia genggam tangan sang suami dan berkata pula dengan air mata berlinang. “Inilah dosa perbuatan kita. Kita tidak berhak meninggalkan dosa akibat perbuatan kita kepada keturunan kita, sekalipun kau ... kau pun tidak boleh, tidak berhak mengelakkan kewajiban dengan jalan mencari kematian.” 

Jian Feng tidak sanggup tertawa pilu pula, giginya yang tergigit sampai gemertukan.

 “Kutahu, mati memang jauh lebih mudah dan hidup akan lebih sukar dan banyak duka derita,” kata Hua Yuenu pula dengan suara gemetar. “Tapi ... tapi kumohon, sudilah ... sudilah engkau bertahan hidup demi anak-anak kita.” 

Air mata membasahi wajah Jian Feng, seperti orang dungu saja dia bergumam, “Aku harus hidup? ... Benarkah aku harus bertahan hidup ....” 

Tuan Putri,” pinta Hua Yuenu kepada sang putri, “betapa pun engkau harus menyelamatkan dia. Apabila engkau memang pernah jatuh cinta padanya, maka engkau tidak layak menyaksikan kematiannya di depanmu.

Begitukah?” ucap Putri Lian Xing dengan acuh tak acuh.

Kuyakin engkau pasti dapat menyelamatkan dia ... pasti dapat,” seru Hua Yuenu dengan parau.

 Putri Lian Xing menghela napas panjang, katanya, “Ya, memang aku dapat menyelamatkan jiwanya ....” 

Belum habis ucapannya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba berkumandang suara seorang, “Kau keliru, tidak mungkin kau dapat menghidupkan dia, di dunia ini tiada seorang pun mampu menyelamatkan dia.” 

Suara orang ini sedemikian ringan mengambang tak menentu, nadanya dingin, tanpa emosi dan mengederkan orang, tapi juga begitu halus, lembut menggetarkan sukma. Rasanya tiada seorang pun yang sanggup melukiskan nada suara yang menarik dan menyeramkan ini, tiada seorang pun di dunia ini yang dapat melupakan nada suara ini bilamana sudah mendengarnya. Jagat raya ini serasa membeku seketika oleh karena nada suara tadi yang penuh mengandung hawa nafsu membunuh itu, senja yang semakin remang itu seketika pun bertambah suram. 

Tubuh Jian Feng gemetar laksana daun tertiup angin. Wajah Putri Lian Xing seketika pun pucat bagai mayat. Tanpa menoleh pun mereka tahu siapa gerangan yang datang. Begitulah sesosok bayangan putih tahu-tahu melayang tiba, entah melayang dari mana dan datang sejak kapan, tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Baju pendatang itu putih laksana salju, rambut terurai dengan gaya indah seperti bidadari yang baru turun dari kayangan, betapa cantik wajahnya sungguh sukar untuk dilukiskan, sebab tiada seorang pun yang berani menengadah untuk memandangnya. Pada tubuhnya seakan-akan membawa semacam daya pengaruh yang tak dapat dilawan sehingga orang pun takut memandangnya. 

No comments:

Post a Comment