Pendekar Binal bagian 12

Kepala Putri Lian Xing juga tertunduk, sambil menggigit bibir ia menyapa, “Kakak, engkau ... engkau juga datang.” 

Ya, aku pun datang, kau tidak menyangka bukan?” jawab sang kakak, Putri Yao Yue, putri agung utama dari Yi Hua Gong (Istana Yi Hua) yang termasyhur dan disegani itu. 

Kapan Kakak datang kemari?” jawab Putri Lian Xing pula, kepalanya semakin menunduk. 

Kedatanganku tidak terlalu dini, hanya, hanya sempat mengikuti percakapan orang banyak yang agaknya tidak suka didengar olehku,” ujar Putri Yao Yue. 

Terkilas pikiran dalam benak Jian Feng, dengan suara gemas ia berteriak, “Jadi ... jadi sejak tadi kau sudah datang. Kalau begitu si babi dan si ayam dari Bandit 12 Shio yang tadi sudah kabur lalu datang kembali lagi itu jangan-jangan adalah perintahmu? Jadi semua rahasia itu telah kau katakan kepada mereka?

 “Baru sekarang hal ini terpikir olehmu, bukankah sudah terlambat?” ujar Putri Yao Yue.

Mata Jian Feng mendelik, dengan beringas ia berteriak, “Mengapa ... mengapa kau berbuat demikian? Bertindak sekeji ini?

 “Terhadap orang yang berhati keji, hatiku pasti sepuluh kali lebih keji daripadanya,” jawab Yao Yue. 

Tuan Putri,” jerit Hua Yuenu dengan menahan derita, “semuanya adalah salahku, jangan ... jangan kau salahkan dia.

Mendadak nada ucapan Putri Yao Yue berubah setajam sembilu, katanya sekata demi sekata, “Kau masih berani bicara demikian padaku?

Hua Yuenu ngesot di tanah, katanya dengan terputus-putus, “Hamb ... hamba ....” 

Baiklah, kau sudah bertemu denganku, kini ... kini bolehlah kau enyah!” ucap Yao Yue dengan tenang-tenang. 

Enyahlah” jelas berarti vonis kematian. 

Betapa takutnya Hua Yuenu dapat digambarkan bahwa menangis saja dia tidak berani, dia hanya memejamkan mata dan menjawab lemah, “Terima kasih Tuan Putri.” 

Dia menghendaki kematianmu, mengapa kau malah berterima kasih padanya?” teriak Jian Feng dengan kalap.

Tersungging senyuman pilu pada ujung mulut Hua Yuenu, jawabnya perlahan, “Biarlah kumati lebih dulu agar tak menyaksikan bagaimana kematianmu dengan anak-anak kita, dengan begitu dapatlah mengurangi sedikit siksa deritaku. Dan ini adalah ... adalah kemurahan hati Tuan Putri, kan pantas jika aku berterima kasih kepada beliau.

Ia membuka matanya, memandang Jian Feng sekejap, lalu memandang pula kedua bayi, walau hanya pandangan sekilas saja, namun betapa mendalam kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dalam pandangan sekilas itu sungguh tak terlukiskan.

 Hati Jian Feng serasa remuk redam, teriaknya, “Hua Yuenu, kau tidak boleh mati ... tidak boleh mati ....” 

Kakak Feng, biarlah aku pergi lebih dulu, akan ... akan kutunggu engkau di sana ....” lalu terpejamlah matanya dan tidak melek lagi untuk selamanya.

 “Tunggu, istriku!” jerit Jian Feng histeris, entah dari mana timbulnya tenaga, mendadak ia menubruk ke atas tubuh sang istri. Tapi baru saja tubuhnya bergerak, kontan ia dihantam roboh lagi oleh angin pukulan yang keras.

 “Kukira kau perlu berbaring dengan tenang,” ujar Yao Yue. 

Selama hidupku tak pernah kumohon sesuatu kepada siapa pun,” kata Jian Feng dengan suara gemetar, “Tapi sekarang ... kumohon . . . kumohon engkau sukalah berbuat bajik. Apa pun tidak kuinginkan, yang kuharap hanya dapat mati bersama dengan istriku.” 

Hm, jangan kau harap dapat menyentuh seujung jarinya lagi,” jawab Yao Yue ketus.

Jian Feng menatapnya dengan sorot mata membara, kalau saja sinar matanya dapat membunuh orang, sejak tadi tentu orang itu sudah dibunuhnya. Umpama api amarahnya juga dapat berkobar, tentu sejak tadi putri itu pun sudah dibakarnya hidup-hidup.  Akan tetapi Putri Yao Yue masih tetap berdiri tenang saja di situ dengan senyum mengejek. 

Mendadak Jian Feng mengakak tawa seperti orang gila, tertawa histeris, tertawanya orang putus asa dan penuh benci, penuh dendam.

 “Hm, kau malah tertawa? Apa yang kau tertawakan?” tanya Putri Yao Yue mendongkol. 

Hahahaha!” Kalian anggap diri kalian manusia super, manusia yang lain daripada yang lain? Kalian mengira dengan segala kemampuan kalian dapat menguasai segala kehendakmu. Akan tetapi, hahaha, akan tetapi, bila aku sudah mati, aku akan berkumpul bersama istriku, untuk ini dapatkah kalian merintangi kami?” Di tengah gelak tertawa kalap itu, mendadak Jian Feng terkapar, suara tertawanya mulai lemah dan akhirnya berhenti untuk selamanya. 

No comments:

Post a Comment