Pendekar Binal bagian 16

Lelaki kumal yang duduk di pojok sana juga sedang menggosok-gosok pedangnya yang karatan itu, lalu menenggak araknya, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, “Hahaha! Di dunia ini mana ada orang macam begitu! Mana ada lagi pedang begitu?” 

Kembali si saudara Lei naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak, “Siapa itu yang bicara? Lekas kemari jika ingin kutonjok kepalamu?” 

Lelaki kumal itu seperti tidak memperhatikan ancaman Lei, ia masih menggosok pedangnya yang karatan dan menenggak araknya seakan-akan ucapan tadi bukan keluar dari mulutnya. 

Lei tidak tahan lagi, segera ia hendak memburu ke sana, tapi lagi-lagi ia dicegah Qian. 

Qian mengedipi Lei agar duduk kembali, lalu ia sendiri mendekati lelaki kumal itu dan menyapa, “He, kawan, tampaknya kau pun berlatih pedang, makanya merasa penasaran ketika mendengar kelihaian ilmu pedang orang lain. Tapi apakah engkau tahu siapakah gerangan tokoh yang kami bicarakan itu?”

Dengan kemalas-malasan lelaki kumal itu menengadah, tanyanya sambil menyeringai, “Siapa?”

“Yan Nan Tian, Pendekar Yan! Si Pedang Sakti,” jawab Qian.

 “Haha, jika kawan benar-benar berlatih pedang, tentu kau akan tunduk mendengar nama ini.” Tak terduga lelaki kumal itu hanya berkedip-kedip saja seperti orang tidak tahu apa-apa, tanyanya dengan menyengir, “Yan Nan thian?”

 “Hahahaha!” Qian tertawa terpingkal-pingkal. “Nama Pendekar Yan saja tak pernah kau dengar, masa engkau mengaku mahir ilmu pedang?” 

“Jika demikian, agaknya kau kenal orang bernama Yan itu?” tanya si lelaki kumal dengan tertawa. 

Qian berbalik melengak, tertawanya pun berhenti, jawabnya, “Ini, hehe, ini ... hahaha ....” 
\
“Bagaimana macamnya orang bernama Yan itu?” tanya pula lelaki itu dengan tertawa, “dan bagaimana dengan pedangnya itu ....” 

Agaknya Lei tidak tahan lagi, ia memburu maju dan menggebrak meja sambil berteriak, “Biarpun kami tidak kenal dia, tapi kami yakin dia pasti lebih gagah dan tampan daripada macammu ini. Apalagi pedangnya, tentu beribu kali lebih bagus daripada pedang rongsokan milikmu ini.” 

“Hahaha!” lelaki itu tertawa, “tampaknya kau ini orang cerdik pandai, mengapa pandanganmu begini picik. Biarpun diriku tidak cakap, namun pedangku ini justru ....”

 “Hah, memangnya pedangmu ini juga pedang sakti?” sela Lei sambil mengakak geli.

 “Pedangku ini justru senjata mahatajam, sanggup memotong besi seperti merajang sayur.” 

Belum habis lelaki itu bicara, serentak orang banyak sudah tertawa gemuruh, malahan Lei sampai terpingkal-pingkal memegangi perutnya yang mules, katanya, “Jika pedangmu ini betul dapat memotong besi seperti merajang sayur, maka kami akan traktir kau makan minum sepuasmu, bahkan ....” “

Baik,” tiba-tiba lelaki kumal itu berdiri, “Coba keluarkan pedangmu!” 

Selagi duduk tidaklah menarik perhatian, begitu lelaki itu berdiri, perawakannya yang tinggi besar sungguh mengejutkan. Tubuh Lei  sudah terhitung tegap, badan Qian juga terhitung gemuk, tapi kalau dibandingkan perawakan orang yang kekar itu rasanya menjadi tak berarti sama sekali. Seketika itu, diam-diam kedai arak itu kedatangan seorang pemuda berwajah pucat berbaju hijau dan berpeci, sambil bersandar di depan meja kasir, ia mengikuti apa yang terjadi dengan tertawa. 

Sementara itu Lei telah mengeluarkan pedangnya, katanya sambil membusungkan dada, “Baik, ayo boleh kita coba!” 

“Nah, silakan kau bacok sekuatnya,” kata lelaki kumal itu.

“Baik, awas ya, kalau terluka jangan salahkan aku!” ujar Lei sambil menyeringai. 

Sekali angkat, kontan pedangnya yang terbuat dari baja itu terus menebas dari atas ke bawah. Tapi lelaki kumal itu tenang-tenang saja, tangan kiri memegang cawan arak dan tangan kanan angkat pedang karatannya menangkis ke atas.

Terdengar “trang” sekali, Lei tergetar mundur dan pedang sendiri tahu-tahu patah menjadi dua. Seketika semua orang kaget dan hampir-hampir tidak percaya pada matanya sendiri.

 “Hahahaha! Apa abamu sekarang?” Lelaki kumal itu terbahak-bahak sambil mengelus, pedangnya yang karatan itu.

 Tentu saja Lei  ternganga, katanya dengan tergegap, “Hebat, sungguh ... sungguh pedang hebat!” 

“Tapi sayang pedang sehebat ini berada di tangan orang gelandangan macam diriku ini,” ujar lelaki kumal itu dengan penuh sesal. 

Mendadak sorot mata Lei menjadi terang, katanya, “He, apakah kawan mau menjual pedangmu ini?”

 “Sebenarnya juga ada maksudku untuk menjualnya, namun belum mendapatkan pembelinya.”

 “Eh, bagaimana kalau ... kalau dijual padaku saja?” tanya Lei dengan bersemangat. 

Lelaki itu mengamat-amati sejenak orang bermarga Lei itu, lalu menjawab, “Tampaknya kalian ini juga orang gagah dan cocok memiliki pedangku ini. Cuma ... cuma pandanganmu kurang tajam, belum lagi tentang harganya, kira-kira kau berani bayar berapa?” 

“Ah, ini mudah ... mudah dirundingkan ....” Lei kegirangan dan segera mengumpulkan kawan-kawannya untuk berunding, mereka berempat tampak merogoh saku dan coba menghitung-hitung bekal masing-masing.

Lelaki kumal tadi tetap duduk di tempatnya dan minum arak tanpa ambil pusing akan tingkah laku Lei dan kawan-kawannya itu. 

Selang sejenak barulah Lei mendekati lelaki itu dan berkata dengan ragu-ragu, “Sobat, bagai ... bagaimana kalau lima ratus tael ….” 

“Berapa?!” orang itu menegas dengan setengah mendelik. 

Lekas-lekas Lei berganti haluan, jawabnya, “O, bagaimana kalau ... kalau seribu tael perak. Bicara terus terang, kami berempat sudah ... sudah menguras seluruh isi saku kami dan cuma dapat terkumpul sekian.” 

Lelaki itu tampak termenung sejenak, katanya kemudian, “Sebenarnya pedangku ini adalah pusaka yang sukar dinilai. Cuma kata peribahasa, bedak halus dihadiahkan kepada si cantik dan pedang kudu diberikan kepada ksatria .... Baiklah, jadi, seribu tael perak kujual padamu.”

Khawatir orang menarik kembali keputusannya, cepat Lei mengumpulkan seluruh isi saku teman-temannya, lalu disodorkan ke depan lelaki kumal itu sambil berkata, “Ini, seribu tael kontan, silakan hitung.” 

Tanpa hitung-hitung lelaki itu terus mengemasi seribu tael perak itu dengan sebuah kantong butut, katanya dengan tertawa, “Sudahlah, tak perlu dihitung, kupercaya penuh padamu. Nah, inilah pedangnya, silakan diterima. Senjata mestika hanya cocok bagi pemiliknya yang bijaksana, selanjutnya kau harus hati-hati menggunakannya, kalau tidak senjata mestika juga akan berubah menjadi besi tua yang tak berguna ....” 

Berulang-ulang Lei mengiakan sambil menerima penyerahan pedang tadi, girangnya tidak kepalang seperti orang dapat undian.

“Trang”, lelaki itu menjatuhkan sepotong perak di atas meja dan berseru kepada pelayan, “Ini rekening para sahabat ini semuanya diperhitungkan padaku, sisanya buat kau!” 

Lalu tanpa menoleh lagi ia terus meninggalkan kedai arak itu. Hanya si pemuda berwajah pucat tadi senantiasa mengikuti gerak-gerik lelaki kumal itu, ia tertawa memandangi Lei dan kawan-kawannya, lalu ikut meninggalkan kedai itu. 

Tampaknya Lui-lotoa kegirangan hingga lupa daratan karena menganggap berhasil membeli benda pusaka dengan harga murah. 

Kawannya, yaitu Qian, dengan tertawa mengumpaknya. “Wah, dengan pedang pusaka, selanjutnya Kakak Lei benar-benar seperti harimau tumbuh sayap dan dapat malang melintang di dunia persilatan.” 

“Haha, Adik kedua Qian memang suka memuji,” ujar Lei sambil mengakak senang. “Kukira ini pun berkat doa restu saudara-saudara .... Haha, mungkin ini sudah saatnya bintangku mulai terang, kalau tidak masakah secara kebetulan begini aku mendapatkan benda pusaka ini.” 

“Dengan pedang pusaka ini, mungkin Yan Nan Tian juga akan keder menghadapi Kakak Lei, bahkan ketua kita juga pasti akan memberi penghargaan lain,” ujar Qian. 

Muka Lei yang berseri-seri membuat lubang buriknya seakan-akan tambah mekar. Sambil memegang “pedang pusaka” yang baru dibelinya itu dia mondar-mandir kian kemari, duduk tidak tenang, berdiri pun tidak tenteram. 

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang menegur, “He!, urusan apa yang membuat kalian bergembira begini?”

Tertampak seorang pendek kecil dengan jubah bersulam melangkah masuk kedai arak itu. Meski tubuhnya kecil, tapi sorot matanya tajam, gerak-geriknya tangkas dan berwibawa sehingga sekali pandang orang akan segera merasakan bahwa orang itu sehari-harinya pasti biasa memimpin dan memberi perintah. 


No comments:

Post a Comment