Pendekar Binal bagian 35

“Ehm,” Yan Nan Tian hanya mendengus perlahan.

 Si gemuk berkata pula dengan tertawa, “Tiga tahun yang lalu sudah tersiar berita bahwa Tuan bermusuhan dengan Joan-tiong-pat-gi, sejak itu kami sudah berharap-harap akan kedatanganmu ke sini. ternyata Tuan tidak segera muncul sehingga kami lama menunggu sampai sekarang.” 

“O,” Yan Nan Tian bersuara singkat pula. 

Diam-diam baru ia tahu bahwa orang-orang ini telah salah menyangkanya sebagai “Pendekar Pedang Pemburai Usus” Suma Yan. sebagaimana para Tetua dari Kunlun  serta Joan-tiong-sam-gi itu menyangkanya. Namun sedapatnya ia tetap tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu.

 Ketika si gemuk bermuka bulat itu menggapai, segera datang seorang dengan langkah gemulai, seorang gadis berbaju hijau, cantik dan genit. Matanya jeli dan giginya putih bak biji mentimun. Dengan lirikan yang genit gadis cantik itu mengucapkan salam hormat juga kepada Yan Nan Tian dan dijawab dengan dengusan singkat pula. 

Melihat sikap Yan Nan Tian yang kaku dan acuh itu, si gemuk berkata dengan tertawa, “Rupanya baru tiba dari tempat jauh, Tuan Sima Yan tiada hasrat bercengkerama denganmu. Lekas mengambilkan arak yang hangat untuk Tuan Sima Yan, lalu buatkan tajin kental bagi kawan kecil kita ini.” 

“Sungguh anak yang mungil dan manis,” kata gadis itu dengan tertawa genit sambil melirik sekejap kepada Yan Nan Tian, lalu melangkah pergi dengan gaya yang menggiurkan. 

Sorot mata Yan Nan Tian menatap si gemuk berwajah bulat itu, diam-diam ia pikir, “Mungkin orang inilah ‘Si Budha Tertawa", Ha Ha Er.

 Kalau melihat wajahnya yang selalu tertawa, terhadap anak kecil juga begini simpatik, lalu siapa yang menyangka bahwa di dalam semalam saja dia telah membunuh seluruh anggota keluarga gurunya. Soalnya cuma lantaran adik seperguruannyanya memaki dia dengan istilah ‘babi’ saja.” 

Tengah termenung, si gadis genit tadi sudah kembali dengan langkahnya yang meliuk-liuk dan membawa satu nampan makanan dan arak. Tercium bau arak yang harum, warna masakannya juga sangat menarik dan membuat orang meneteskan air liur. 

“Kawan Sima Yan datang dari jauh, tentu sudah lapar,” kata si gemuk dengan tertawa. “Silakan santap saja, setelah itu baru kita bicara lagi.” 

Kembali Yan Nan Tian cuma mendengus saja, tapi tidak menyentuh daharan yang disuguhkan itu.

 “Umumnya menyangka kami yang berada di sini pasti hidup susah dan menderita,” kata pula si pendek gemuk dengan tertawa, “mereka tidak tahu bahwa dengan berkumpulnya kaum cerdik pandai sebanyak ini di sini mana bisa kami menderita. Seumpama arak dan masakan ini, sekali pun raja juga sukar menikmatinya, supaya terbukti, silakan Saudara Suma Yan mencicipinya.”

 “O,” lagi-lagi Yan Nan Tian bersuara singkat saja.

 “Siapakah gerangan koki yang memasak makanan ini, kuyakin sama sekali takkan pernah terpikir oleh Saudara Sima yan,” ujar si buntak dengan tertawa. 

“Siapa?” tanya Yan Lam ;thian. 

“Pernahkah Saudara dengar di dalam Kaypang (partai pengemis) dahulu ada seorang tokohnya yang berjuluk ‘Tian Chi Xing’ (si tukang gegares)? Hanya di dalam setengah jam saja dia telah meracun mati tujuh tertua dari partai mereka ....” sampai di sini, 

mendadak “brak”, si babi menggebrak meja, lalu menyambung dengan bergelak, “Sungguh seorang ksatria sejati, seorang tokoh besar. Nah, yang membuat makanan ini adalah dia.”

 Diam-diam Yan Nan Tian terkejut, tapi tetap berlagak acuh-tak-acuh dan menanggapi dengan suara, “O!” begitu saja.

 Mendadak si gemuk  itu tertawa pula dan berseru, “Kawan Sima Yan benar-benar adalah tokoh pilihan kaum kita, sebelum persoalan menjadi jelas, sama sekali engkau tidak sudi makan. Padahal sebelum kedatangan Saudara Sima ini sebenarnya kami sudah pandang dirimu sebagai saudara sekaum ...” sampai di sini, segera ia angkat sumpit, setiap macam makanann dicicipinya dulu satu kali. 

Lalu menambahkan dengan tertawa, “Nah, apakah sekarang Kawan Sima Yan masih sangsi?” 

“Jika mereka telah salah sangka diriku sebagai Sima Yan, inilah kesempatan baik bagiku untuk menyelidiki jejak bangsat Jiang Qin itu,” demikian pikir Yan Nan Tian. 

“Kalau sekarang aku berkeras tidak mau makan, tentu akan menimbulkan curiga mereka. Apalagi mereka sudah mengira aku ini Sima Yan, rasanya mereka takkan mencelakai aku dengan racun.” 

Maklumlah sekali pun Yan Nan Tian adalah lelaki berdarah panas, tapi kecerdikannya tidak di bawah orang lain, kalau tidak masakah kawanan Piausu itu dapat diakali hingga kelabakan.

 Kini setelah dia pikir dan timbang lagi, ia merasa lebih baik makan daripada tidak, maka ia lantas angkat sumpit dan berkata, “Baiklah, mari makan!” Tanpa sungkan-sungkan lagi ia terus makan dan minum.

Pendekar Binal bagian 34

Sekonyong-konyong pandangan Yan Nan Tian terbeliak, di tengah-tengah lembah yang dikelilingi gunung-gunung itu mendadak timbul lapangan pelita secara aneh dan menakjubkan, begitu banyak titik-titik lampu hingga seperti bintang-bintang bertaburan di langit. 

Yan Nan Tian tahu di mana letak sinar lampu yang tak terhitung jumlahnya itu adalah “Lembah Iblis”, sarang berkumpulnya penjahat pelarian dari seluruh jagat ini. Biarpun hatinya sekeras baja, nyalinya sekuat besi, tapi menghadapi Lembah Iblis, tempat yang paling misterius dan paling berbahaya di dunia ini, mau-tak-mau timbul juga semacam perasaan aneh, serasa darahnya jadi mendidih dan mata berapi. 

Tanpa ragu kakinya tetap tegap melangkah ke depan sana. Dalam bayangan Yan Nan Tian tadinya, Lembah Iblis itu tentunya gelap gulita, seram dan menakutkan, tapi kini, sarang penjahat itu ternyata terang benderang oleh cahaya lampu. Namun cahaya lampu itu sama sekali tidak mengurangi keadaan misterius Lembah iblis itu, sebaliknya malah menambah kegaibannya yang sukar dilukiskan. Lantas, bagaimanakah sesungguhnya keadaan di Lembah iblis? 

Yan Nan Tian merasa denyut jantung sendiri pun bertambah keras, teka-teki akan segera terbongkar jawabannya. Di bawah cahaya lampu terlihat sebuah tugu batu berdiri tegak di tepi jalan dengan tulisan yang bersemboyan: “Masuk dan masuklah lembah ini, selamanya engkau takkan jadi budak”. 

Selewatnya tugu itu, jalanan mendadak menjadi datar, halus, di bawah cahaya lampu tampaknya licin laksana cermin. Namun Yan Nan Tian juga menyadari bahwa jalan yang halus licin ini juga jalan yang paling berbahaya di dunia ini. Setiap melangkah satu tindak terasa semakin dekat dengan bahaya dan kematian. 

Bukan hutan bukan gunung, Lembah iblis itu tampaknya lebih mirip sebuah kota kecil pegunungan. Deretan rumah berdiri di kedua sisi jalan, semua rumah dibangun secara indah, di balik pintu dan jendela tampak cahaya lampu sehingga suasana terasa aman tenteram. Tapi di tengah kota pegunungan yang aman tenteram itu sebenarnya tersembunyi betapa banyak perangkap yang telah mencelakai orang, betapa banyak tangan yang berlumuran darah manusia? Semua ini sukar diterka.

 Tangan Yan Nan Tian yang menarik kereta sudah berkeringat, kini ia sudah memasuki Lembah Iblis, setiap saat mungkin diserang secara keji dan mendatangkan maut baginya. 

Tiba-tiba dari depan sana ada orang datang. Seketika Yan Nan Tian waswas, ia tahu dalam sekejap ini mungkin akan terjadi pertarungan maut. Siapa duga kedua orang yang berpapasan dengan dia itu sama sekali tidak memandangnya, pakaian kedua orang itu sangat perlente, namun mereka lewat begitu saja di sebelah Yan Nan Tian. 

Dilihatnya orang di jalanan semakin banyak, akan tetapi tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Keruan Yan Nan Tian menjadi ragu, heran dan sangsi. Sebab ia tahu pasti orang yang berlalu-lalang itu semuanya adalah penjahat yang tangannya berlumuran darah. Kalau orang-orang itu serentak melancarkan serangan padanya takkan membuatnya heran, tapi kini gerak-gerik orang-orang itu tiada sesuatu pun yang mencurigakan, inilah yang membuatnya ragu dan tak dapat meraba apa sebenarnya yang akan terjadi.

 Lembah Iblis yang dipandang sebagai lembah maut bagi setiap insan persilatan, kini baginya ternyata seperti memasuki sebuah kota yang makmur, aman dan tenteram. Pikiran Yan Nan Tian menjadi bingung malah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama hidupnya entah betapa banyak persoalan pelik dan berbahaya yang telah dihadapinya, tapi belum ada sesuatu yang membuatnya bimbang seperti sekarang. 

Dalam kereta yang diseretnya itu terdengar suara tangisan bayi. Yan Nan Tian menghela napas, ia coba tenangkan diri. Dilihatnya di depan sana ada sebuah pintu yang terbuka. Dari dalam rumah itu terasa ada bau sedap makanan. Tanpa pikir panjang Yan Nan Tian menarik keretanya ke sana. Dengan langkah lebar ia masuk ke rumah itu. Ruangan yang indah dengan beberapa meja yang indah pula, dua meja di antaranya terdapat beberapa orang sedang minum arak sambil bersenda-gurau. Rumah ini seperti sebuah rumah makan, tapi jelas jauh lebih indah dan mewah daripada rumah makan umumnya. 

Dengan membopong bayi, Yan Nan Tian memilih salah sebuah meja dan duduk, dilihatnya rumah makan itu tiada sesuatu yang aneh, beberapa orang yang sedang minum arak itu berpakaian perlente dan bicara sewajarnya, sedikit pun tiada tanda-tanda bahwa mereka adalah penjahat yang pernah menghadapi jalan buntu dan terpaksa minggat ke lembah terpencil ini, sungguh aneh dan mengherankan Yan Nan Tian. 

Ia lupa bahwa manusia yang paling jahat, orang yang paling culas, pada lahirnya justru sukar ditemukan tanda-tanda khas itu. Kalau wajah mereka kelihatan bengis menakutkan sehingga orang yang melihatnya segera was-was akan segala kemungkinan, lalu kejahatan apa yang akan dapat mereka lakukan? Tentu akan gagal bukan? Hal ini sebenarnya sangat sederhana, namun jarang direnungkan oleh manusia dan tidak banyak yang paham. 

Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang. Orang ini pendek gemuk, mukanya berseri-seri, senyum selalu dikulum, itulah tipe seorang pemilik rumah makan yang selalu harus ramah tamah terhadap tamunya. Sedapatnya Yan Nan Tian bersabar dan duduk di tempatnya. 

Tapi si gemuk berwajah bulat itu lantas mendekatinya serta menegur dengan memberi salam, “Selamat datang Tuan!”

Pendekar Binal bagian 33

“Kaum penjahat itu rada-rata adalah orang yang sukar dilayani,” tutur Yang Ping, “lebih-lebih Do Qiao Qiao, si bukan lelaki bukan perempuan itu, bukan saja banyak tipu akalnya, bahkan kepandaiannya menyamar boleh dikatakan tiada bandingannya. Sekalipun orang yang paling akrab dengan engkau, bisa jadi mendadak berubah menjadi iblis itu yang menyamarnya. Konon sebabnya orang ini kabur ke Lembah Iblis bukan karena menghindari pencarian musuh, tapi ada sebab lain.”

 “Benar, dengan kepandaiannya menyamar, pada hakikatnya dia tidak perlu kabur ke Lembah Iblis, sebab orang lain toh tidak tahu persis bentuknya yang asli,” ujar Hai Chang Po. 

“Tak peduli kaburnya ke Lembah Iblis itu disebabkan apa, tak peduli betapa pintarnya dia mengubah wajahnya, yang pasti kumasuk ke sana sendirian, biarpun dia menyamar menjadi siapa pun juga takkan mengelabui aku,” kata Yan Nan Tian.

 “Haha, memangnya dia mampu menyamar menjadi bayi yang baru setengah bulan dilahirkan?” 

“Benar juga,” kata Yang Ping dengan tertawa, “sekali ini Pendekar Yan masuk ke sana dengan sendirian, biarpun dia memiliki kepandaian setinggi langit mungkin juga tiada gunanya lagi. Cuma ... cuma ....”

 Tanpa menunggu selesai ucapan orang, segera Yan Nan Tian memberi salam perpisahan terus melangkah pergi.

 “Pendekar Yan, engkau ....” serentak semua orang berseru.

 Namun Yan Nan Tian tidak menoleh lagi, sambil menyeret keretanya ia terus melangkah ke depan. Dia menarik keretanya dengan sebelah tangan saja, tapi ternyata jauh lebih kuat dan cepat daripada kereta itu dihela kuda. 

Semua orang saling pandang dengan melongo dan terdiam sekian lamanya, akhirnya Cang Yi Zi menghela napas dan berkata, “Sering kudengar orang mengatakan ilmu silat Pendekar Yan  sangat tinggi dan tiada bandingannya, setelah menyaksikan tadi ... Ai ....” 

“Tinggi ilmu silatnya memang sangat membuat kagum orang, yang lebih kukagumi adalah jiwa ksatrianya, budi luhurnya, semua ini membuat kaum kita harus malu diri,” ujar Yang Ping.

 Sambil memandangi bayangan Yan Nan Tian yang semakin menjauh dan akhirnya lenyap, Hai Chang Po bergumam, “Semoga kepergiannya ke Lembah Iblisini masih dapat keluar lagi untuk bertemu dengan kita ....” 

Jalan pegunungan semakin berliku dan terjal, tapi Yan Nan Tian tetap melangkah dengan biasa sambil menarik kereta, tampaknya sama sekali tidak makan tenaga. 

Di tengah remang senja diliputi kabut itu, tiba-tiba timbul setitik sinar pelita di depan sana. Itulah lampu minyak sejenis sentir yang disebut “Khong-beng-teng”, lampu yang asalnya diciptakan Khong Beng, itu ahli siasat di jaman Sam-kok. 

Secara tepat dan mengagumkan diselipkan di celah-celah batu cadas yang teraling dari tiupan angin, sinar lampu yang kelap kelip di lembah pegunungan yang menyeramkan ini tampaknya mirip “api setan” saja di waktu malam. 

Di bawah cahaya lampu itu, terlihat dua baris huruf yang terukir pada batu gunung itu berbunyi “Laksana naik ke langit untuk masuk ke lembah ini. Pendatang disilakan jalan di sebelah sini”. Bagian bawah kedua baris huruf itu ada ukiran ujung panah yang menunjukkan arah yang harus diturut. Sepanjang mata memandang ke sana terlihat lembah yang dikelilingi oleh pegunungan. 

“Kurang ajar! Sungguh kaum penjahat yang terlalu berani, secara terang-terangan ternyata berani memberi petunjuk jalan bagi orang yang hendak masuk ke sarang mereka,” demikian omel Yan Nan Tian dengan geram. 

“Ya, mungkin kalian mengira di dunia ini tidak ada orang baik yang berani masuk ke lembah maksiat kalian ini.” 

Padahal, orang baik-baik yang masuk ke Lembah Iblis memang Yan Nan Tian sendirilah terhitung orang pertama. 

Meski lereng pegunungan Kunlun sangat curam, tapi jalan yang menuju ke Lembah Iblis itu ternyata teratur dengan baik menembus ke balik gunung sana dan Lembah Iblis itu justru terletak di dasar lembah yang diapit gunung-gunung itu. Sebab itulah jalan yang masuk Lembah Iblis bukan menanjak ke atas, tapi justru semakin menurun, sampai akhirnya Yan Lamthian tidak perlu lagi menghela keretanya, sebaliknya dia malah seperti didorong oleh keretanya. Hanya jalan pegunungan itu semakin melingkar, cuaca juga tambah gelap sehingga pandangan sukar mencapai jauh.

Pendekar Binal bagian 32

Empat Pendeta Kunlun dan tiga Pendekar dari Sichuan  sama terkejut, tanya mereka berbareng, “Jadi Pendekar Yan sengaja hendak pergi ke Lembah Iblis?” 

“Ya,” jawab Yan Nan Tian dengan tertawa. “Tapi kepergianku ke sana bukanlah untuk menghindari pencarian musuh atau mengasingkan diri melainkan justru hendak mencari musuh yang sembunyi di sana.” 

“Namun ... namun Lembah Iblis adalah ....” 

Belum habis Cang Yi Zi bicara, dengan suara bengis Yan Nan Tian memotong, “Biarpun Lembah Iblis itu adalah sarang naga juga akan kumasuki!” 

“Keperwiraan dan keluhuran budi Pendekar Yan sudah cukup kami kenal,” ujar Cang Yi Zi. “Cuma ... cuma Lembah Iblis adalah tempat berkumpulnya kaum penjahat, mungkin dalam sejarah belum pernah ada tempat yang dihuni oleh penjahat sebanyak itu, bahkan juga belum pernah terjadi seorang berani menjejakkan kakinya disana. Maka sebaiknya Pendekar Yan  mempertimbangkan  kembali.”

Sinar mata Yan Nan Tian menyala bagai obor dan memandang jauh ke lembah yang diselimuti kabut tebal itu, katanya dengan suara mantap, “Seorang lelaki sejati, asalkan dapat berbuat beberapa hal yang tak berani dilakukan orang lain, meski mati juga takkan menyesal.” 

Keempat Pendeta Kunlun saling pandang sekejap dengan rasa malu diri. 

Yang Ping berkata pula, “Tapi setahu hamba, selama dua puluh tahun ini, di antara kesepuluh gembong iblis yang paling jahat di dunia Kangouw, sedikitnya ada empat orang yang telah memasuki Lembah Iblis itu.” 

“Mungkin lebih daripada empat orang,” ujar Hai Chang Po. “Yang jelas sudah berada di sana adalah Si Tangan Berdarah Du Sha, lalu Si Di Balik Tertawa Tersembunyi Sembilu Ha Ha’er, ‘Si Bukan Lelaki Bukan Perempuan  Do Qiao Qiao serta Si Tidak Makan Kepala Manusia Li Da Zui....”

 “Li Da Zui?” Yan Nan Tian menegas. “Apakah si iblis yang terkenal gemar makan manusia itu?”

“Ya,” jawab Hai Chang Po. “Orang menjulukinya "tidak memakan kepala manusia" untuk menggambarkan bahwa yang dimakan kecuali kepala manusia, malah semuanya dimakan olehnya. Dia malah bergelak tertawa mendengar nama julukan itu, dia bilang sebenarnya kepala manusia juga dimakan olehnya.” 

“Makhluk sejahat itu, mana boleh dibiarkan hidup terus,” kata Yan Nan Tian dengan gusar.

 “Konon Li Da Zui ini rada memiliki sifat ksatria, baik ilmu silatnya maupun ilmu sastranya boleh dikatakan cukup lumayan, selain gemar makan manusia, urusan lain-lain terhitung baik.”

 “Hm, masakah makan manusia saja belum cukup jahat?” teriak Yan Nan Tian dengan gusar. 

“Sungguh pun begitu, tapi Ketua Perserikatan San Xiang Wu Lin di daerah tiga propinsi utara, yaitu Thi Wushuang, Pendekar Thi, entah sebab apa ternyata menaruh simpati padanya,” tutur Hai Cang Po, “dengan tulus hati Pendekar Thi ingin menarik Li Da Zui ke jalan yang baik, untuk itu beliau rela menjodohkan putri tunggal kesayangannya kepada orang bermarga Li itu, maksudnya agar putrinya dapat mengawasi tindak-tanduk Li Da Zuidemi memperbaiki perbuatannya yang jahat itu.”

“Tapi dasar jahat ya tetap jahat, betapa pun anjing tetap makan bangkai,” tutur Hai Chang Po. 

“Belum ada tiga tahun dinikahkan, kegemaran Li Da Zui sudah timbul kembali, pengantin perempuan telah disembelihnya dan dimakan mentah-mentah olehnya.” 

“Sungguh bangsat keparat!” teriak Yan Nan Tian saking murka. 

“Karena itu juga Pendekar Thi menjadi gusar, bersama belasan anak muridnya ia bersumpah akan mencabut nyawa Li Da Zui. Namun orang bermarga Li itu cukup cerdik, sebelumnya dia sudah kabur masuk ke Lembah Iblis.” 

Dengan menyesal Yang Ping lantas menyambung, “Sudah tentu Pendekar Thi sangat menyesalkan keputusannya yang salah memungut menantu Li Da Zui, tapi ia pun tidak tega menyiarkan kematian putrinya yang mengerikan itu, dia hanya memberi keterangan bahwa putrinya meninggal karena sakit keras. Kalau saja hubungan kami dengan Pendekar Thi tidak cukup erat, mungkin urusan ini takkan diketahui sejelas ini oleh orang lain.” 

“Pantas orang Kangouw tidak banyak yang mengetahui kejadian ini,” kata Yan Nan Tian dengan geregetan.” Tapi ... Thi Wushiang terhitung juga ksatria yang tak gentar terhadap siapa pun juga, kenapa dia tinggal diam saja menyaksikan bangsat itu hidup bebas tenteram di Lembah Iblis?” 

“Pendekar Thi memang bermaksud memburunya ke Lembah Iblis, namun muridnya mencegahnya, Nyonya Thi juga berlutut dan mohon sang suami agar jangan pergi ke sarang penjahat itu, mau-tak-mau Pendekar Thi menjadi ragu untuk bertindak.” 

“Baru kehilangan putri kesayangan, pantas kalau Nyonya Thi tidak mau membiarkan sang suami menyerempet bahaya pula,” kata Yan Nan Tian sambil menghela napas. “Ai, seorang lelaki sejati tidak perlu harus beristri, rasanya tindakan demikian juga bukan sesuatu yang bodoh.”

 “Kecuali keempat iblis tadi,” sambung Hai Chang Po, “kabarnya Yin Jiu Yaou, itu iblis yang membanggakan Ginkangnya (ilmu peringan tubuh) tiada bandingannya di dunia ini serta suka meracun orang secara diam-diam, katanya juga kabur ke Lembah Iblis.” 

“O, jadi ‘Si Setengah Manusia Setengah Setan, Yin Jiu Yaou juga berada di sana?” Yan Nan Tian menegas dengan waswas. 

“Konon dia berhasil membunuh murid Shaolin, yaitu Li Da Yuan, tapi kabarnya dia juga sudah dibunuh pula oleh para tertua Shaolin.” 

“Ya, di dunia Kangouw memang tersiar berita demikian,” ujar Hai Chang Po, “tapi menurut sumber yang mengetahui kejadian di balik layar, katanya para tertua partai Shaolin memang sudah berhasil membekuk dan mengurung iblis ‘setengah manusia setengah setan’ itu, namun akhirnya dia berhasil lolos pula. Karena kejadian ini menyangkut kehormatan Shaolin, maka murid-murid Shaolin sama sekali tidak ada yang mau bercerita.” 

“Itulah kelemahan manusia umumnya yang suka menjaga muka,” ujar Yan Nan Tian dengan menyesal. “Sebabnya Shaolin yang terkenal itu makin hari makin merosot, soalnya karena setiap murid Shaolin terlalu suka menjaga muka.” 

“Ya, memang bukanlah pekerjaan mudah untuk tetap mempertahankan wibawa dan nama baik sesuatu aliran agar tidak merosot,” kata Cang Yi Zi. Sudah tentu ucapannya ini timbul karena ada sebabnya. Bukankah Perguruan Kunlun  pun kian hari kian lemah? 

Pendekar Binal bagian 31

Orang itu bermaksud menangkis dengan pedang, tapi tiba-tiba pikirannya tergerak, air mukanya berubah pucat, cepat ia mendoyong ke belakang dan tak berani menangkis, sebisanya ia melompat mundur. Namun sinar pedang Yan Nan Tian seakan-akan tidak terputus-putus dan terus membayangi lawannya. Keruan nyali orang itu serasa rontok, terpaksa ia menangkis sekuatnya dengan pedang. “Trang”, kedua pedang beradu. 

Kedua batang pedang itu sebenarnya berasal dari gemblengan pande besi yang sama ahli, tapi entah mengapa pedang orang itu ternyata kena ditebas menjadi dua. 

Untuk menghindari renggutan maut, cepat orang itu menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana. 

Tiba-tiba Yan Nan Tian bersuit panjang, laksana sinar kilat pedangnya menyambar pula. Betapa lihai serangan ini sungguh menggetar bumi dan mengguncang langit. 

Di tengah bertebarnya sinar pedang, sekonyong-konyong terdengar suara, “creng” yang nyaring memekak telinga. Nampaklah tiga Taojin jubah biru dengan sebelah kaki bertekuk-lutut di tanah, pedang mereka bersilang menangkis ke atas untuk menahan serangan pedang Yan Nan Tian yang mahalihai itu. Sedangkan orang tadi hampir saja kelengar saking kagetnya.

Dengan berdiri tegak berwibawa menekan pedangnya ke bawah, Yan Nan Tian bertanya dengan kereng, “Yang menangkis pedangku ini Si Empat Rajawali ataukah Si Tiga Elang ?”

Tujuh Pendekar Pedang Kunlun adalah tujuh pendekar pedang dari gunung Kun Lun yang terdiri dari para pendekar berjuluk Empat Rajawali dan Tiga Elang.

“Empat Rajawali!” sahut salah seorang Taojin itu. 

“Dari mana kau tahu ....” Taojin keheranan

“Di jaman ini, kecuali Tujuh Pendekar Pedang Kunlun, siapalagi yang mampu menangkis tebasan pedangku ini?” ujar Yan Nan Tian. “

Di dunia ini, selain Pendekar Yan, mungkin tiada orang lain lagi mampu membuat kami bertiga terpaksa harus menangkis suatu serangan bersama!” kata Taojin itu.

“Tapi mengapa Tujuh Pendekar Pedang Kunlun melakukan sergapan keji ini kepadaku, sungguh aku tidak mengerti?” bentak Yan Nan Tian.

 “Kami sengaja menunggu di sini, sebenarnya yang ingin kami cegat adalah seorang pelarian yang hendak memasuki ‘Lembah Iblis’,” tutur Taojin itu dengan tersenyum getir.

 “Sungguh kami tak pernah menduga bahwa Pendekar Yan juga bisa mendatangi Lembah Iblis ini.” 

“O, apakah kalian menyangka diriku ini orang yang kalian incar itu?” tanya Yan Nan Tian.

 “Ya, jika bukan begitu, masakah kami sampai mencari perkara kepada Pendekar Yan?” kata si Taojin dengan menyesal. 

Yan Nan Tian menarik kembali pedangnya, dan baru saja pedangnya diangkat, “trang”, serentak pedang ketiga Taojin itu jatuh ke tanah, tangan mereka serasa tak sanggup diangkat lagi. 

“Siapakah orang yang hendak kalian sergap itu?” tanya Yan Nan Tian. 

“Sima Yan,” jawab Kunlun Taojin. 

“Apakah Sima Yan yang berjuluk ‘Pedang Pemburai Usus) itu?” tertarik juga Yan Nan Tian oleh nama itu. 

“Benar, memang bangsat keparat itulah,” kata Kunlun Taojin dengan gemas.

 “Dari mana kalian mengetahui bangsat itu akan datang kemari?”

 “Delapan Pendekar dari Sichuan  mengejarnya sepanjang jalan hingga di sini,” tutur Kunlun Taojin.

 “Ketiga saudara inilah Yang Ping, tertua dari Delapan Pendekar dari Sichuan, Hai Cang  Po, pendekar ketiga dan Hai Jin Po, pendekar ketujuh ....” 

Nama Delapan Pendekar dari Sichuan cukup tenar juga di dunia Kangouw, ketiga orang yang diperkenalkan itu memang gagah dan berwibawa. 

Yang Ping, tertua Delapan Pendekar dari Sichuan itu lantas memberi hormat dan berkata, “Sudah cukup jauh kami memburu bangsat Suma itu, sampai di lembah sungai Hwang barulah kehilangan jejaknya. Kalau dia sempat memasuki Lembah Iblis, sungguh hamba merasa penasaran, sebab itulah kami mengundang keempat Pendeta Tao ini untuk membantu berjaga di sini.”

 “Pantas cara turun tangan kalian sangat keji,” ujar Yan Nan Tian. “Ya, terhadap kaum penjahat begitu memang perlu tindakan tegas, semakin keji semakin baik, tidak perlu kenal ampun.” 

Cang Yi Ji, Taojin yang mengepalai Empat Rajawali itu, bertanya, “Lalu... mengapa Pendekar Yan juga datang ke sini?” 

“Tempat tujuanku memang Lembah Iblis!” jawab Yan Nan Tian.

Pendekar Binal bagian 30

Kun Lun Shan, barisan pegunungan terpanjang dan terbesar di Tiongkok, terbagi tiga cabang: utara, tengah dan selatan. Tiga cabang bukit barisan ini berpangkal dari dataran tinggi Pamir di pegunungan Himalaya dan membentang ke timur hingga hampir meratai seluruh negeri Tiongkok. 

Kun Lun Shan atau pegunungan Kun Lun yang dimaksudkan di sini adalah pegunungan sumber aliran ilmu silat yang termasyhur yang terletak di hulu sungai He, di propinsi Cinghay. Di antara puncak gunung yang berderet-deret itu berdiri tegak Puncak Naga Giok. Meski sekarang masih musim panas, namun di kaki Puncak Naga Giok sudah terasa seperti di musim dingin, angin meniup keras dan kabut tebal membungkus pegunungan yang lembab itu. 

Akhirnya Yan Nan Tian tiba juga di kaki Puncak Naga Giok itu, orangnya kelihatan pucat kurus, kudanya juga kelelahan, bahkan roda keretanya seakan-akan juga sukar menggelinding lagi. Bayangan raksasa pegunungan dengan berat menindihi kereta kuda itu. Tangan kiri Yan Nan Tian memegang tali kendali dan tangan kanan memondong bayi, bau harum menusuk hidung yang tersiar dari dalam kereta membuatnya hampir muntah. Tapi bayi itu sedang tidur dengan lelapnya, anak sekecil itu rupanya sudah terbiasa oleh siksa derita dalam pengembaraan.

 Dengan penuh kasih sayang tak terbatas Yan Nan Tian memandangi wajah kecil itu, tiba-tiba ia mengulum senyum dan bergumam, “Nak, sepanjang jalan ini tidak sedikit kau minum susu orang. sampai di sini kau disusui orang secara berganti-ganti, di dunia ini selain dirimu rasanya tiada anak lain yang ....” sampai di sini mendadak ucapannya terhenti, tubuhnya juga mendadak mengapung ke atas. 

Saat tubuhnya mengapung ke udara itulah segera terdengar pula suara “tek-tak-tok” belasan kali, belasan jenis senjata rahasia dari berbagai ukuran sama menancap di tempat yang didudukinya tadi. Sungguh berbahaya. Apabila dia terlambat mengapung sedetik saja, tentu tubuhnya sudah bertambah belasan lubang. Setelah berjumpalitan di udara, tangan kirinya, meraih pelana kuda, segera orangnya menyusup ke bawah perut kuda, ia tidak takut dirinya sendiri terluka, tapi menguatirkan keselamatan bayi dalam pelukannya itu.

Gerakannya itu sungguh cepat dan gesit luar biasa, mau tak mau membuat si penyergap berseru memuji, “Kepandaian hebat!” 

“Main sergap, bangsat?” bentak Yan Nan Tian. 

Belum lenyap suaranya, kembali kuda tadi meringkik kaget dan berdiri menegak, badan kuda segera menyemburkan belasan pancuran darah segar. Tanpa pikir lagi telapak tangan Yan Nan Tian lantas menghantam, “blang-blang”, kayu kereta yang mengapit kuda patah dan kuda yang terluka itu meloncat ke depan. Menyusul Yan Nan Tian menghantam pula sekerasnya, “blang”, dinding kereta berlubang besar, selagi kuda tadi meringkik panjang, bayi di tangan kirinya itu telah dimasukkan ke dalam kereta melalui lubang yang dibobolnya tadi. 

Sementara itu berpuluh bintik-bintik perak telah menghujani pula. Secepat kilat Yan Nan Tian menjulang tinggi lagi ke atas, terdengar suara mendenging menyambar lewat di bawah kakinya. Dalam keadaan gawat begitu, kalau sedikit lena saja, sekalipun Yan Nan Tian sendiri selamat, bayi dalam pondongannya pasti akan menjadi korban. Andaikan bayinya tidak tewas, tentu kereta itu juga akan ditarik kuda yang terluka itu dan menggilasnya.

Begitulah selagi tubuh Yan Nan Tian masih terapung di udara, tiba-tiba ia sudah dikerubut oleh beberapa jalur sinar pedang. Begitu ketat jaringan pedang itu mengurungnya, tampaknya sukar baginya untuk mengelakkan diri, andaikan dapat menghindarkan serangan pedang ini tentu juga tak terluput oleh tebasan pedang yang lain. Siapa duga, selagi badan terapung di udara itulah, sekuatnya ia pentang kedua tangan, mendadak tubuhnya mengapung lebih tinggi lagi beberapa meter sehingga semua serangan pedang menyambar lewat di bawah kakinya. 

Terdengar suara “trang-tring” yang ramai, serangan beberapa pedang itu tak sempat menahan diri sehingga saling bentur sendiri. Tapi sekali saling gebrak, lalu berhenti, tujuh atau delapan orang sama melompat mundur. 

Di bawah cuaca remang-remang tertampak si antara mereka itu ada empat orang berdandan sebagai Taojin (pendeta agama Tao). Sementara itu Yan Nan Tian sempat menancapkan kakinya di atas kereta, habis itu secepat kilat ia meluncur ke depan, kedua telapak tangan terus menghantam batok kepala seorang Taojin berjubah biru paling depan. Karena merasa dirinya diserang secara keji, maka serangan balasannya sekarang juga tanpa kenal ampun. Betapa hebat pukulan Yan Nan Tian ini sungguh luar biasa. Tentu saja si jubah biru terkejut oleh sambaran angin pukulan yang mahadahsyat itu, ia tergetar mundur dan sebisanya pedang terus menebas. 

Taojin ini bukan sembarangan Taojin, jurus pedangnya ini hasil latihan berpuluh tahun lamanya, ia yakin seumpama pedangnya tidak dapat melukai musuh, sedikitnya cukup untuk membela diri. Tak terduga, belum habis sama sekali pedangnya ditebaskan, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kencang, pedang sudah berpindah ke tangan lawan. Sungguh Taojin yang hebat, menghadapi bahaya ia tidak menjadi bingung dan sempat menyelinap lewat di bawah angin pukulan Yan Nan Tian. 

Melihat ketangkasan lawan, tanpa terasa Yan Nan Tian juga berseru memuji, “Bagus!” Berbareng dengan seruannya itu, pedang rampasannya lantas menyabet lawan yang berada di sampingnya. 

Yan Nan Tian berjuluk “Si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia”, maka dapat dibayangkan betapa lihai serangannya. Di tengah guncangan angin senjata, sayup-sayup membawa serta suara gemuruh. 

Pendekar Binal bagian 29

“Jian Li Hiang”, itulah tiga huruf emas yang tertatah pada sebuah papan merek di jalan raya kota Taiyuan di propinsi Shanxi, cahaya sang surya pada waktu senja masih mencorong dengan gemilangnya sehingga tiga huruf emas merek dagang itu pun memantulkan sinar yang gemerlapan.

“Jian Li Hiang” atau harum seribu li, ini adalah benar-benar merek dagang emas, setiap penduduk propinsi Soasay kenal nama perusahaan dagang ini, bahwa bahan wewangian produksi Jian Li Hiang adalah barang tulen, murni, tiada kadar campuran sedikit pun.

Menjelang maghrib, belasan pegawai toko Jian Li Hiang sedang makan malam, orang berlalu lalang di jalan raya, itulah saatnya paling ramai bagi orang berbelanja, berjalan-jalan atau melihat-lihat.

Sekonyong-konyong sebuah kereta besar dilarikan dengan kencang melalui jalan raya paling ramai itu, sekali pengendara kereta itu membentak laksana bunyi guntur menggelegar, langsung kereta itu menerobos masuk ke dalam toko Jian Li Hiang.

Tentu saja pegawai toko wewangian itu kaget dan gusar pula, serentak mereka mengerubut maju. Tapi sekali pengendara kereta itu melompat turun, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu belasan pegawai toko itu merasa badan kaku kesemutan, lalu tak mampu bergerak lagi. Dengan melongo mereka menyaksikan lelaki kekar pengendara kereta itu mengambil rempah-rempah wewangian seguci demi seguci dan dijejalkan ke dalam kedua peti mati yang berada di atas kereta.

Sejenak kemudian lelaki kekar itu menghalau keretanya keluar dari toko dengan cepat sambil berteriak, “Setengah jam lagi kalian akan pulih seperti biasa, tentang harga wewangian yang kuambil ini, kelak pasti kubayar dengan harga lipat!”

Banyak juga orang ramai menyaksikan kejadian itu, tapi setiap orang sama terpengaruh oleh sikap garang dan kereng lelaki itu sehingga tiada seorang pun berani merintanginya ....

Sore hari, ladang semangka di tepi jalan mengeluarkan bau sedap semangka yang sudah waktunya dipanen. Seorang wanita petani muda tampak duduk kemalas-malasan berteduh di bawah pohon di tepi ladang semangka.

Baju wanita petani muda itu setengah tersingkap sehingga jelas kelihatan buah dadanya yang lebih besar daripada semangka di ladang. Wanita muda itu sedang menyusui bayi dalam pangkuannya dengan air ASI yang terlebih manis daripada air semangka.

Angin meniup silir-silir membuat wanita muda itu mengantuk. Dalam keadaan setengah tertidur itu ia seperti merasakan ada sepasang mata yang sedang mengincar dadanya yang montok itu.

Di kampung petani itu juga tidak sedikit pemuda bajul buntung, sehari-harinya dia sudah biasa dipandangi orang. Maklum biarpun wanita petani, dia masih muda, montok, wajahnya juga tidak terlalu jelek. Tapi dia sudah punya anak, dia merasa tiada artinya soal pandang memandang itu. Akan tetapi kini ia merasakan sepasang mata itu lain daripada yang lain.

Tanpa terasa ia buka matanya, terlihatlah di samping pohon sana benar-benar ada seorang lelaki yang sedang melotot ke arah dadanya.

Lelaki itu tidak tampan, pakaiannya juga tidak perlente, wajahnya bahkan kekurus-kurusan, tapi entah mengapa, tampaknya kereng dan berwibawa. Yang aneh adalah lelaki kekar itu justru memondong seorang bayi.

Walaupun merasa heran, tapi wanita petani itu tidak ambil pusing, ia menunduk kembali memandang bayinya sendiri. Mendadak terdengar bayi dalam pondongan lelaki itu menangis, suara tangisnya juga nyaring.

Perempuan muda itu belum lama menjadi ibu, hatinya sedang penuh diliputi kasih sayang seorang ibu, mendengar tangisan bayi itu, tanpa terasa ia angkat kepalanya lagi. Sekali ini dia dapat membedakan bahwa sepasang mata lelaki kekar yang mengincar dadanya itu lain daripada mata lelaki buaya umumnya, tapi penuh mengandung perasaan memohon kasihan.

Tanpa terasa perempuan petani itu tersenyum dan bertanya, “Apakah ibu anak itu tidak berada di sini?”

“Ya, tidak ada,” lelaki itu menggeleng.

Wanita petani itu berpikir sejenak, lalu berkata pula, “Tampaknya dia lapar.”

“Ya, lapar,” sahut lelaki itu sambil mengangguk.

Setelah memandang sekejap bayi dalam pangkuannya sendiri, mendadak wanita petani itu berkata dengan tertawa, “Coba berikan anakmu itu, biar kususui dia. Mendingan kemarin aku baru lalap dua ekor ayam tim, ASI-ku lagi kelebihan, kukira takkan habis diminum anakku ini.”

Seketika wajah lelaki yang kereng itu mengunjuk rasa girang, cepat ia mengucapkan terima kasih dan menyodorkan bayinya. Terlihat bulu halus bayi itu belum lagi rontok, kulitnya masih kemerah-merahan, jelas baru beberapa hari saja dilahirkan. Tapi mukanya yang berkulit lembut itu ternyata sudah ada segaris bekas luka.

Wanita petani itu berkerut kening, katanya, “Ai, kalau membawa anak perlu hati-hati sedikit.

Ibu si bocah ini juga terlalu, masakah diserahkan padamu tanpa khawatir apa-apa.”

“Ibu anak ini sudah meninggal,” kata lelaki itu dengan sedih.

Wanita petani itu terkejut, perlahan ia membelai wajah bayi yang halus itu, katanya dengan terharu, “Ai, sungguh kasihan, baru lahir sudah kehilangan ibu.”

Lelaki itu menengadah dan menghela napas panjang, dengan pandangan sayu dia menatap anak bayi itu dengan perasaan pedih dan duka yang tak terlukiskan serta kasih sayang yang tak terkatakan.

Anak itu seakan-akan memang dilahirkan dengan nasib malang. Baru dilahirkan sudah mengalami bunuh membunuh dan kematian, agaknya nasib kehidupannya nanti seakan-akan ditakdirkan penuh malapetaka. Sungguh kasihan, anak sekecil itu sudah tentu tidak tahu apaapa, kini wajahnya yang kecil mungil itu malahan sedang tersenyum penuh bahagia.

Pendekar Binal bagian 28

Malam sudah larut, pelita di rumah-rumah kota kecil itu pun banyak yang sudah dipadamkan. Di kedai minum “Tai Bai” yang tinggal beberapa tukang mabuk itu pun berturut-turut pergi dengan langkahnya yang sempoyongan. Ketika pelayan kedai itu mengucek matanya yang sepat mengantuk dan hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara gemertaknya roda kereta, sebuah kereta besar tampak muncul dari ujung jalan sana. Anehnya yang menarik kereta itu bukanlah kuda melainkan manusia, yaitu lelaki kekar yang siangnya baru menipu seribu tael perak Lei Xiao Hu dan kawan-kawannya itu. 

Setelah dekat, tampaklah sekujur badan lelaki tegap itu berlumuran darah, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, kelihatan menyeramkan. Setiba di depan pintu kedai, si pelayan gemetaran melihat keadaan lelaki yang menakutkan itu. Yang aneh adalah kereta besar yang biasanya harus ditarik dua ekor kuda itu bagi lelaki itu kini hanya seperti benda enteng tanpa arti apa-apa. 

Sesudah menyandarkan kereta itu, lelaki tegap itu, Yan Nan Tian, melangkah masuk kedai dengan menggendong bayi yang tertidur nyenyak itu. 

“Apakah ... apakah Tuan ingin minum arak apa?” dengan tabahkan hati si pelayan bertanya dengan mengiring senyum. 

Mendadak Yan Nan Tian membentak tertahan, “Siapa bilang aku ingin minum arak?” 

Si pelayan terkejut, tanyanya pula dengan gugup, “Bukan arak? Lalu ... Tuan ingin minum apa?” 

“Tajin!” sahut Yan Nan Tian singkat.

Kembali si pelayan cemberut, sungguh aneh, lelaki tegap begini bukannya minum arak, sebaliknya ingin minum tajin (kanji, air nasi). Tapi ketika ia melihat bayi di dalam pelukan lelaki itu, segera ia paham untuk apa lelaki itu menginginkan tajin. 

Dengan tergegap-gegap ia pun menjawab, “Tapi ... tapi kami tidak ... tidak menjual ....” 

“Persetan!” omel Yan Nan Tian sambil melotot. 

“Masakkan dulu dua mangkuk tajin yang kental, setelah itu baru sediakan arak bagiku.” 

Dalam keadaan ketakutan, mana si pelayan berani membantah lagi dan cepat berlari pergi mengerjakan apa yang dipesan. Sehabis kenyang minum tajin, tidur bayi itu semakin nyenyak. Yan Nan Tian sendiri pun mulai minum arak, sinar matanya yang tajam sungguh menakutkan, sekejap saja si pelayan tak berani menatapnya. Walau tak berani memandangnya, tapi diam-diam pelayan itu menghitung ... satu, dua, tiga, empat ... hanya sejenak saja Yan Nan Tian sudah menenggak habis tujuh belas mangkuk besar arak keras. Keruan si pelayan melelet lidah dan hampir saja tak dapat mengkeret kembali.

Mendadak dilihatnya Yan Nan Tian mengeluarkan dua potong perak dan dilemparkan ke atas meja sambil berseru, “Pergi! belikan barang untukku.” 

“Tuan ingin ... ingin membeli apa?” tanya si pelayan.

 “Peti mati! Dua buah peti dari bahan yang paling bagus!”

 Pelayan itu berjingkat saking kagetnya hingga hampir jatuh terjungkal, mulutnya ternganga hingga sekian lama tidak sanggup bersuara, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri. 
Tiba-tiba Yan Nan Tian menggebrak meja perlahan sehingga kedua potong perak tadi mencelat, tapi dengan tepat justru mencelat ke dalam saku si pelayan. 

Lalu bentaknya pula, “Peti mati, kau dengar tidak? Dua buah peti mati dari bahan yang paling bagus”
 “Ya ... ya, dengar ....” sahut si pelayan tergopoh-gopoh.

 “Kalau sudah dengar, kenapa tidak lekas pergi?!” kata Yan Nan Tian. 

Seperti melihat setan saja segera pelayan itu berlari pergi. Setelah Yan Nan Tian menghabiskan araknya yang ketiga puluh dua mangkuk, si pelayan tampak kembali dengan mengangkut dua buah peti mati yang dipesan tadi. Cekatan dan pintar juga cara kerja si pelayan, ia pun tahu bilakah harus menurut perintah orang dan ke mana harus mengerjakan tugasnya dengan baik, dalam waktu sesingkat itu dia sudah mendatangi perusahaan peti mati yang terbagus. 

Dengan mata merah Yan Nan Tian mengeluarkan jenazah Jian Feng dan Hua Yuenu dari keretanya yang diseret datang tadi, kedua sosok mayat itu dimasukkannya ke dalam peti mati. Semuanya itu dikerjakannya dengan tangan sendiri. Maklumlah, ia tidak ingin orang lain menyentuh lagi seujung rambut saudara angkat bersama kekasihnya itu. Habis itu, dengan tangan telanjang Yan Nan Tian mulai memantek tutup peti mati. Pada umumnya paku pemantek peti mati cukup besar, tapi sebuah demi sebuah Yan Nan Tian memantekkan paku itu ke dalam papan peti mati yang tebal itu dengan jari tangannya tanpa susah payah, mirip lidi yang dicobloskan ke dalam tahu saja. 

Keruan si pelayan tambah melongo, ia menjadi bingung apakah yang dilihatnya sekarang ini manusia, malaikat atau setan? Menghadapi peti mati yang sudah selesai dipantek itu, kembali Yan Nan Tian menghabiskan tujuh-delapan mangkuk arak. Dia tidak meneteskan air mata, tapi wajahnya tampak jauh lebih sedih daripada seorang yang menangis. Sambil memegangi arak mangkuk terakhir, Yan Nan Tian berdiri termangu-mangu hingga lama sekali, terpaksa si pelayan mengiringnya berdiri tanpa berani bersuara.

Akhirnya Yan Nan Tian berkata dengan perlahan, “Adik Jian, kuingin engkau mendampingi aku agar engkau dapat menyaksikan sendiri kubinasakan musuhmu seorang demi seorang!

Pendekar Binal bagian 27

“Tapi bisa jadi Lembah Iblis hanya tipu muslihat Kim Go Xing saja, dia sengaja menjebak engkau, karena dendamnya dia sengaja memancing engkau ke sana agar ....” meski Shen Qing Hong belum melanjutkan ucapannya yang terakhir “agar mengantar nyawa”, namun apa yang akan dikatakannya sudah cukup jelas bagi orang lain. 

“Sekalipun Lembah Iblis adalah gunung bergolok dan lautan api juga belum tentu dapat mencabut nyawaku,” teriak Yan Nan Tian sambil bergelak tertawa keras. 

“Tapi ... tapi ....” 

“Tekadku sudah bulat, tidak perlu lagi kau bicara,” bentak Yan Nan Tian sebelum lanjut ucapan Shen Qing Hong. 

Terpaksa pemimpin perusahaan pengawalan itu tutup mulut dan menghela napas belaka. 

“Bagus!” Kim Go Xing juga memuji dengan agak menyesal. 

“Yan Nan Tian ternyata seorang ksatria sejati, sampai Lembah Iblis juga berani diterobosnya. Meski kepergianmu ke sana jelas tiada harapan buat pulang kembali lagi, tapi engkau pasti akan dikagumi setiap insan persilatan di dunia ini.” 

“Dan apalagi yang hendak kau katakan?” tanya Yan Nan Tian. 

“Tidak ada lagi, ambillah biji mataku!” jawab Kim Go Xing. 

Di tengah suara jeritan ngeri, sepasang biji mata Kim Go Xing si kera emas dari kawanan Bandit 12 Shio itu tahu-tahu sudah terkorek keluar, yang tertinggal hanya lubang mata yang berdarah. 

Yan Nan Tian lemparkan tubuh Kim Go Xing ke depan Shen Qing Hong dan berseru, “Kuserahkan orang ini padamu!” 

Habis berkata segera ia melayang pergi dengan cepat. Lei Xiao Hu masih tergeletak di tengah genangan darah menindihi si anjing tadi, anjing dan manusianya sama kempas-kempis dan tak sanggup bergerak lagi.
\
Dengan pandangan haru Shen Qing Hong memandang sekejap pada Lei Xiao Hu, lalu sorot matanya beralih kepada Kim Go Xing, katanya dengan penuh benci, “Betapa pun cerdiknya kau kera ini, nyatanya kau pun dapat berbuat bodoh.” 

Meski rasa sakitnya tadi membikin Kim Go Xing hampir pingsan, tapi sekarang ia sudah sadar kembali, seperti didorong oleh kekuatan gaib saja, kini ia dapat menahan penderitaannya dan mengeluarkan sebungkus obat untuk dibubuhkan pada lubang matanya sendiri. 

Bahkan mulutnya masih sanggup bicara walaupun dengan rada gemetar, “Kau bilang aku berbuat bodoh?”

 “Ya, meski Pendekar Yan tidak mencabut nyawamu tapi kau diserahkan padaku, memangnya aku dapat mengampuni jiwamu?” ujar Shen Qing Hong, “Biarpun lukamu diberi obat, lalu apa gunanya lagi?” \

“Sudah tentu besar gunanya,” jawab Kim Go Xing, “Aku takkan mati. Kau tidak mampu membunuh diriku.” 

“Hahahaha!” Shen Qing Hong mengakak keras, “Siapalagi yang dapat menolongmu sekarang?” 

“Aku sendiri,” jawab Kim Go Xing. 

Sejenak Shen Qing Hong melengak, tapi segera ia membentak, “Baik, ingin kulihat cara bagaimana kau menolong jiwamu sendiri ....” di tengah bentakannya itu telapak tangannya terus menabok batok kepala Kim Go Xing. 

Mendadak Kim Go Xing berseru, “Apakah kau tidak lagi ingin menemukan kembali harta benda kawalanmu yang hilang itu?” 

Seketika telapak tangan Shen Qing Hong terhenti di udara. Memang benar juga, kalau Kim Go Xing dibunuh, lalu kepada siapa ia harus mencari keterangan? 

“Nah, apa kataku? Memang sudah kuperhitungkan kau takkan berani membunuh diriku,” demikian Kim Go Xing terkekek-kekek senang. 

Beberapa kali Shen Qing Hong akan membinasakan musuh itu saking gemasnya karena ejekan itu, tapi akhirnya tak jadi, ia menghela napas dan menarik kembali tangannya dan berkata, “Baiklah kau yang menang. Sementara ini kau harus ikut padaku.” 

Harta benda yang hilang di bawah pengawalannya itu memang menyangkut nasib hidup dan matinya Biro Pengawalan 3 Besar, selamanya Shen Qing Hong tidak pernah mengingkari janji dan senantiasa bertugas dengan baik, kali ini ia pun tidak ingin mengingkari kewajiban atas kepercayaan para pemilik barang kepada Biro Pengawalan 3 Besar. 

Dengan terkekek-kekek Kim Go Xing mengejek pula, “Nah, Shen Qing Hong, sekarang kau baru tahu bahwa aku tidak begitu mudah dibunuh oleh siapa pun juga, bukan?!”

Pendekar Binal bagian 26

“Binatang, bangsat keparat!” teriak Yan Nan Tian dengan suara serak dan beringas. 

“Dan apakah kau tahu binatang itu berada di mana?” kata Kim Go Xing pula dengan menyeringai.

“Shen Qing Hong,” cepat Yan Nan Tian berpaling kepada kepala persatuan biro pengawalan 3 besar  itu, “apakah kau melihat ke mana perginya binatang kecil itu?” 

Walaupun tahu sikap beringas Yan Nan Tian itu bukan ditujukan kepadanya, tidak urung Shen Qing Hong agak gemetar juga, dengan suara tergegap ia menjawab, “Hamba ... Hamba tak memperhatikannya.” 

Mendadak Yan Nan Tian angkat tubuh Kim Go Xing yang kecil itu dan berteriak dengan suara parau, “Kau tahu ke mana perginya, bukan? Katakan, lekas!” 

“Tahu, sudah tentu kutahu ke mana perginya, kalau tidak tentu aku takkan membicarakan soal ini,” jawab Kim Go Xing tenang-tenang tanpa gentar. 

“Ke mana dia? Lekas katakan!” bentak Yan Nan Tian pula. 

Walaupun tubuh Kim Go Xing diangkat ke atas, tapi sikapnya bahkan lebih tenang daripada berdiri di tanah, ia tersenyum saja dan menjawab, “Umpama tidak kukatakan, bagaimana pendapatmu?”

 “Jika kau tidak mau bicara, sungguh aku kagum padamu,” ujar Yan Nan Tian sambil menatap tajam wajah orang. 

Jika dia menyatakan akan membunuh, menyembelih, mencincangnya apabila Kim Go Xing tidak mengaku, maka jelas Kim Go Xing tak gentar sedikit pun, sebab si bandit kera emas itu yakin sebelum Yan Nan Tian mengetahui di mana beradanya Jian Qin tidak mungkin membunuhnya. Tapi karena ucapan Yan Nan Tian juga luar biasa itu, mau tak mau Kim Go Xing menjadi bergidik sendiri. 

“Dan bagaimana jika kukatakan?” tanya Kim Go Xing kemudian.

“Kalau kau mau mengaku terus terang, segera kucungkil kedua biji matamu,” jawab Yan Nan Tian. 

Hampir saja Shen Qing Hong menjerit heran, pikirnya, “Pendekar besar ini mengapa tidak bijaksana begini? Kalau orang mengaku dia malah membutakan matanya. Jika demikian jelas Kim Go Xing tak mau bicara.” 

Di luar dugaan, tiba-tiba Kim Go Xing menghela napas panjang, katanya, “Meski kehilangan mata, mendingan masih bisa hidup.” 

“Nah, katakan!” desak Yan Nan Tian. 

“Tapi biarpun kukatakan juga belum tentu kau berani ke sana.” 

Yan Nan Tian menjadi gusar, teriaknya, “Di dunia ini tiada tempat yang tak berani didatangi orang bermarga Yan!” 

Kedua mata Kim Go Xing meram-melek, wajahnya senyum tak senyum seperti orang mengejek, katanya kemudian dengan perlahan, “Jian Qin itu bukan orang tolol, dia tahu kalau Bandit 12 Shio bukanlah orang-orang yang mudah diajak berkomplot, ia pun tahu bahwa  bagi kawanan Bandit 12 Shio membunuh orang, tiada ubahnya seperti menginjak seekor semut saja. Dan setelah dia terima tiga ribu tael perak dari Bandit 12 Shio, hah, masakah dia tidak takut kepalanya bakal berpisah dengan tubuhnya?” 

“Lanjutkan,” kata Yan Nan Tian.

 “Dia begitu berani, sebab dia sudah mempunyai tempat tujuan untuk sembunyi, tiga ribu tael perak itu justru akan digunakan sebagai bekal hidup, sedangkan tempat yang ditujunya itu, biarpun keduabelas orang kawanan Bandit 12 Shio berkumpul sekaligus juga tidak berani mendekat ke sana.” 

“Hahaha!” Yan Nan Tian bergelak tertawa, 

“Apa kau maksudkan Istana Bunga? Haha, orang bernama Yan ini justru hendak ke sana.” 

“Di dunia ini kan bukan cuma Istana Bunga (Yi Hua Gong) saja yang disegani orang persilatan?”

 “Habis mana lagi selain Yi Hua Gong?” bentak Yan Nan Tian.

 “Lembah Iblis di Kun Lun Shan ....” 

Begitu mendengar nama tempat itu, serentak air muka Shen Qing Hong berubah pucat dan badan gemetar, serunya, “Pendekar Yan, engkau ... engkau jangan ke sana!”

Tapi Yan Nan Tian tambah beringas, dengan tajam ia membentak pula, “Apakah betul ucapanmu ini?”

“Yang kukatakan ini apa adanya, percaya atau tidak terserah padamu,” jawab Kim Go Xing.

“Pendekar Yan, ‘Lembah Iblis adalah tempat berkumpulnya para penjahat yang terdesak dan menghadapi jalan buntu, mereka sama mengungsi ke sana,” demikian tutur Shen Qing Hong dengan suara gemetar. 

“Penjahat yang berada di sana semuanya sangat kejam, tangan mereka rata-rata pernah berlumuran darah, semuanya adalah sampah masyarakat dunia persilatan, penjahat sebanyak itu berkumpul menjadi satu, sekalipun mereka dibenci dan banyak orang ingin membinasakan mereka, namun siapa yang berani mendekat ke sana? Bahkan ‘7 Pedang Kun Lun (7 Pendekar Pedang dari Kun Lun), ‘Empat Tetua dari Shaolin) dan Pendekar Pedang dari Feng Xiaoyu, semuanya juga tidak berani ke sana ....”

“Demi kebenaran, demi persahabatan, biarpun terjun ke lautan api atau air mendidih juga aku tidak gentar,” teriak Yan Nan Tian.

Pendekar Binal bagian 25

“O, jadi kawanku si babi dan ....” Kim Go Xing tergegap jeri 

“Hm, kalau kawan-kawanmu itu sudah mampus, untuk apa kau hidup sendirian? Serahkan nyawamu!” baru habis ucapannya segera pula Yan Nan Tian menubruk maju dan jari tangannya yang keras laksana baja mencengkeram dada lawan.

Kim Go Xing, si kera emas itu ternyata tidak mengelak dan juga tidak melawan sama sekali. Ketika cengkeraman Yan Nan Tian diperkeras, seketika jari-jarinya menancap ke dalam daging Kim Go Xing. Tapi Kim Go Xing masih tetap berdiri tanpa merintih sedikit pun.

“Hm, tak kusangka tubuhmu meski kecil ternyata juga seorang laki-laki,” kata Yan Nan Tian.

“Jika dalam keadaan biasa dapatlah kuampuni jiwamu, tapi sekarang ... Hm, apa yang akan
kau katakan lagi?”

Mendadak Kim Go Xing menengadah dan tertawa seperti orang gila, lalu berkata, “Walaupun tubuhmu besar, tapi kau pun belum terhitung seorang lelaki sejati.”

Dalam keadaan demikian, andaikan Kim Go Xingmencaci maki Yan Nan Tian dengan kata-kata kotor dan rendah apa pun juga dapat dimengerti, namun dia justru menista bahwa Yan Nan Tian bukan seorang lelaki sejati, betapa pun makian ini membuat pendekar besar itu melengak.

“Hm, selama hidupku ini, setiap tindakanku rasanya dapat kupertanggungjawabkan kepada dunia dan akhirat, sudah tentu banyak juga orang yang mencaci maki diriku, tapi antara baik dan jahat memang tidak mungkin berdiri bersama, maka makian apa pun yang kau lontarkan padaku tidak menjadi soal bagiku. Namun apa yang kau katakan sekarang perlu juga diketahui apa dasarnya, coba jelaskan.”

“Kalau tidak dapat membedakan antara benar dan salah, tidak tahu memisahkan antara budi dan benci, apakah orang demikian dapat dianggap sebagai lelaki sejati?”

“Hm, memangnya aku ....”

Belum sempat Yan Nan Tian melampiaskan suaranya yang murka itu, dengan suara keras Kim Go Xing lantas memotongnya, “Jika engkau adalah manusia yang tahu membedakan antara yang benar dan salah, maka engkau tidak layak membunuh diriku?”

“Mengapa tidak layak membunuhmu?” tanya Yan Nan Tian penasaran.

“Coba jelaskan dulu, sebab apa kau ingin membunuhku?” balas Kim Go Xing bertanya.

Dengan suara bengis Yan Nan Tian berteriak, “Adiku, Jian Feng telah ....”

“Itulah dia,” kembali Kim Go Xing memotong ucapannya, “kalau engkau membunuh diriku lantaran persoalan lain, maka aku takkan bicara apa-apa. Tapi kalau kau bunuh diriku karena urusan Jian Feng, maka itu berarti engkau tidak tahu antara budi dan benci dan tidak dapat membedakan yang salah dan yang benar.”

“Memangnya gerombolan kalian menyangkal tidak pernah membunuh Jian Feng?” bentak Yan Nan Tian dengan murka.

“Tidak. Kami 12 Shio adalah gerombolan bandit, bandit kerjanya merampok dan membunuh memang bukan rahasia lagi, maka apa yang terjadi bukanlah sesuatu dendam kesumat yang luar biasa. Yang lebih penting adalah peranan lain, yaitu orang yang memerintah  kami untuk membunuh Tuan Jian Feng, dia itulah sasaran sesungguhnya bagimu untuk menuntut balas. Dan apakah kau tahu siapa gerangan dia itu? Bukankah lucu, engkau tidak mencari musuh yang sesungguhnya, tapi malah mencari kami. Sekalipun engkau dapat membunuh habis seluruh anggota kami, juga tidak berarti
engkau telah berhasil menuntut balas bagi kematian Jian Feng.”

Cara bicara Kim Go Xing yang lancar, tegas serta berani itu membuat Yan Nan Tian yang murka itu jadi melunak juga. 

Tiba-tiba terkilas suatu pikiran dalam benaknya, bentaknya mendadak, “Mungkinkah orang yang memerintah kalian adalah si binatang kecil Jian Qin? Ya, tentang perjalanan Adik Jian Feng hanya binatang kecil itu saja yang diberitahu dan dia pula yang disuruh menyampaikan beritanya padaku.”

Air muka Kim Go Xing tampak agak berubah, jawabnya, “Ya, memang tepat terkaanmu. Tampaknya tidak cuma badanmu saja yang besar, tapi otakmu juga berkembang dengan baik. Tuan Jian Feng memang telah dijual oleh kacung kepercayaannya, dijual dengan harga tiga ribu tael perak, hanya tiga ribu tael perak.”