Pendekar Binal bagian 28

Malam sudah larut, pelita di rumah-rumah kota kecil itu pun banyak yang sudah dipadamkan. Di kedai minum “Tai Bai” yang tinggal beberapa tukang mabuk itu pun berturut-turut pergi dengan langkahnya yang sempoyongan. Ketika pelayan kedai itu mengucek matanya yang sepat mengantuk dan hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara gemertaknya roda kereta, sebuah kereta besar tampak muncul dari ujung jalan sana. Anehnya yang menarik kereta itu bukanlah kuda melainkan manusia, yaitu lelaki kekar yang siangnya baru menipu seribu tael perak Lei Xiao Hu dan kawan-kawannya itu. 

Setelah dekat, tampaklah sekujur badan lelaki tegap itu berlumuran darah, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, kelihatan menyeramkan. Setiba di depan pintu kedai, si pelayan gemetaran melihat keadaan lelaki yang menakutkan itu. Yang aneh adalah kereta besar yang biasanya harus ditarik dua ekor kuda itu bagi lelaki itu kini hanya seperti benda enteng tanpa arti apa-apa. 

Sesudah menyandarkan kereta itu, lelaki tegap itu, Yan Nan Tian, melangkah masuk kedai dengan menggendong bayi yang tertidur nyenyak itu. 

“Apakah ... apakah Tuan ingin minum arak apa?” dengan tabahkan hati si pelayan bertanya dengan mengiring senyum. 

Mendadak Yan Nan Tian membentak tertahan, “Siapa bilang aku ingin minum arak?” 

Si pelayan terkejut, tanyanya pula dengan gugup, “Bukan arak? Lalu ... Tuan ingin minum apa?” 

“Tajin!” sahut Yan Nan Tian singkat.

Kembali si pelayan cemberut, sungguh aneh, lelaki tegap begini bukannya minum arak, sebaliknya ingin minum tajin (kanji, air nasi). Tapi ketika ia melihat bayi di dalam pelukan lelaki itu, segera ia paham untuk apa lelaki itu menginginkan tajin. 

Dengan tergegap-gegap ia pun menjawab, “Tapi ... tapi kami tidak ... tidak menjual ....” 

“Persetan!” omel Yan Nan Tian sambil melotot. 

“Masakkan dulu dua mangkuk tajin yang kental, setelah itu baru sediakan arak bagiku.” 

Dalam keadaan ketakutan, mana si pelayan berani membantah lagi dan cepat berlari pergi mengerjakan apa yang dipesan. Sehabis kenyang minum tajin, tidur bayi itu semakin nyenyak. Yan Nan Tian sendiri pun mulai minum arak, sinar matanya yang tajam sungguh menakutkan, sekejap saja si pelayan tak berani menatapnya. Walau tak berani memandangnya, tapi diam-diam pelayan itu menghitung ... satu, dua, tiga, empat ... hanya sejenak saja Yan Nan Tian sudah menenggak habis tujuh belas mangkuk besar arak keras. Keruan si pelayan melelet lidah dan hampir saja tak dapat mengkeret kembali.

Mendadak dilihatnya Yan Nan Tian mengeluarkan dua potong perak dan dilemparkan ke atas meja sambil berseru, “Pergi! belikan barang untukku.” 

“Tuan ingin ... ingin membeli apa?” tanya si pelayan.

 “Peti mati! Dua buah peti dari bahan yang paling bagus!”

 Pelayan itu berjingkat saking kagetnya hingga hampir jatuh terjungkal, mulutnya ternganga hingga sekian lama tidak sanggup bersuara, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri. 
Tiba-tiba Yan Nan Tian menggebrak meja perlahan sehingga kedua potong perak tadi mencelat, tapi dengan tepat justru mencelat ke dalam saku si pelayan. 

Lalu bentaknya pula, “Peti mati, kau dengar tidak? Dua buah peti mati dari bahan yang paling bagus”
 “Ya ... ya, dengar ....” sahut si pelayan tergopoh-gopoh.

 “Kalau sudah dengar, kenapa tidak lekas pergi?!” kata Yan Nan Tian. 

Seperti melihat setan saja segera pelayan itu berlari pergi. Setelah Yan Nan Tian menghabiskan araknya yang ketiga puluh dua mangkuk, si pelayan tampak kembali dengan mengangkut dua buah peti mati yang dipesan tadi. Cekatan dan pintar juga cara kerja si pelayan, ia pun tahu bilakah harus menurut perintah orang dan ke mana harus mengerjakan tugasnya dengan baik, dalam waktu sesingkat itu dia sudah mendatangi perusahaan peti mati yang terbagus. 

Dengan mata merah Yan Nan Tian mengeluarkan jenazah Jian Feng dan Hua Yuenu dari keretanya yang diseret datang tadi, kedua sosok mayat itu dimasukkannya ke dalam peti mati. Semuanya itu dikerjakannya dengan tangan sendiri. Maklumlah, ia tidak ingin orang lain menyentuh lagi seujung rambut saudara angkat bersama kekasihnya itu. Habis itu, dengan tangan telanjang Yan Nan Tian mulai memantek tutup peti mati. Pada umumnya paku pemantek peti mati cukup besar, tapi sebuah demi sebuah Yan Nan Tian memantekkan paku itu ke dalam papan peti mati yang tebal itu dengan jari tangannya tanpa susah payah, mirip lidi yang dicobloskan ke dalam tahu saja. 

Keruan si pelayan tambah melongo, ia menjadi bingung apakah yang dilihatnya sekarang ini manusia, malaikat atau setan? Menghadapi peti mati yang sudah selesai dipantek itu, kembali Yan Nan Tian menghabiskan tujuh-delapan mangkuk arak. Dia tidak meneteskan air mata, tapi wajahnya tampak jauh lebih sedih daripada seorang yang menangis. Sambil memegangi arak mangkuk terakhir, Yan Nan Tian berdiri termangu-mangu hingga lama sekali, terpaksa si pelayan mengiringnya berdiri tanpa berani bersuara.

Akhirnya Yan Nan Tian berkata dengan perlahan, “Adik Jian, kuingin engkau mendampingi aku agar engkau dapat menyaksikan sendiri kubinasakan musuhmu seorang demi seorang!

No comments:

Post a Comment