Pendekar Binal bagian 29

“Jian Li Hiang”, itulah tiga huruf emas yang tertatah pada sebuah papan merek di jalan raya kota Taiyuan di propinsi Shanxi, cahaya sang surya pada waktu senja masih mencorong dengan gemilangnya sehingga tiga huruf emas merek dagang itu pun memantulkan sinar yang gemerlapan.

“Jian Li Hiang” atau harum seribu li, ini adalah benar-benar merek dagang emas, setiap penduduk propinsi Soasay kenal nama perusahaan dagang ini, bahwa bahan wewangian produksi Jian Li Hiang adalah barang tulen, murni, tiada kadar campuran sedikit pun.

Menjelang maghrib, belasan pegawai toko Jian Li Hiang sedang makan malam, orang berlalu lalang di jalan raya, itulah saatnya paling ramai bagi orang berbelanja, berjalan-jalan atau melihat-lihat.

Sekonyong-konyong sebuah kereta besar dilarikan dengan kencang melalui jalan raya paling ramai itu, sekali pengendara kereta itu membentak laksana bunyi guntur menggelegar, langsung kereta itu menerobos masuk ke dalam toko Jian Li Hiang.

Tentu saja pegawai toko wewangian itu kaget dan gusar pula, serentak mereka mengerubut maju. Tapi sekali pengendara kereta itu melompat turun, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu belasan pegawai toko itu merasa badan kaku kesemutan, lalu tak mampu bergerak lagi. Dengan melongo mereka menyaksikan lelaki kekar pengendara kereta itu mengambil rempah-rempah wewangian seguci demi seguci dan dijejalkan ke dalam kedua peti mati yang berada di atas kereta.

Sejenak kemudian lelaki kekar itu menghalau keretanya keluar dari toko dengan cepat sambil berteriak, “Setengah jam lagi kalian akan pulih seperti biasa, tentang harga wewangian yang kuambil ini, kelak pasti kubayar dengan harga lipat!”

Banyak juga orang ramai menyaksikan kejadian itu, tapi setiap orang sama terpengaruh oleh sikap garang dan kereng lelaki itu sehingga tiada seorang pun berani merintanginya ....

Sore hari, ladang semangka di tepi jalan mengeluarkan bau sedap semangka yang sudah waktunya dipanen. Seorang wanita petani muda tampak duduk kemalas-malasan berteduh di bawah pohon di tepi ladang semangka.

Baju wanita petani muda itu setengah tersingkap sehingga jelas kelihatan buah dadanya yang lebih besar daripada semangka di ladang. Wanita muda itu sedang menyusui bayi dalam pangkuannya dengan air ASI yang terlebih manis daripada air semangka.

Angin meniup silir-silir membuat wanita muda itu mengantuk. Dalam keadaan setengah tertidur itu ia seperti merasakan ada sepasang mata yang sedang mengincar dadanya yang montok itu.

Di kampung petani itu juga tidak sedikit pemuda bajul buntung, sehari-harinya dia sudah biasa dipandangi orang. Maklum biarpun wanita petani, dia masih muda, montok, wajahnya juga tidak terlalu jelek. Tapi dia sudah punya anak, dia merasa tiada artinya soal pandang memandang itu. Akan tetapi kini ia merasakan sepasang mata itu lain daripada yang lain.

Tanpa terasa ia buka matanya, terlihatlah di samping pohon sana benar-benar ada seorang lelaki yang sedang melotot ke arah dadanya.

Lelaki itu tidak tampan, pakaiannya juga tidak perlente, wajahnya bahkan kekurus-kurusan, tapi entah mengapa, tampaknya kereng dan berwibawa. Yang aneh adalah lelaki kekar itu justru memondong seorang bayi.

Walaupun merasa heran, tapi wanita petani itu tidak ambil pusing, ia menunduk kembali memandang bayinya sendiri. Mendadak terdengar bayi dalam pondongan lelaki itu menangis, suara tangisnya juga nyaring.

Perempuan muda itu belum lama menjadi ibu, hatinya sedang penuh diliputi kasih sayang seorang ibu, mendengar tangisan bayi itu, tanpa terasa ia angkat kepalanya lagi. Sekali ini dia dapat membedakan bahwa sepasang mata lelaki kekar yang mengincar dadanya itu lain daripada mata lelaki buaya umumnya, tapi penuh mengandung perasaan memohon kasihan.

Tanpa terasa perempuan petani itu tersenyum dan bertanya, “Apakah ibu anak itu tidak berada di sini?”

“Ya, tidak ada,” lelaki itu menggeleng.

Wanita petani itu berpikir sejenak, lalu berkata pula, “Tampaknya dia lapar.”

“Ya, lapar,” sahut lelaki itu sambil mengangguk.

Setelah memandang sekejap bayi dalam pangkuannya sendiri, mendadak wanita petani itu berkata dengan tertawa, “Coba berikan anakmu itu, biar kususui dia. Mendingan kemarin aku baru lalap dua ekor ayam tim, ASI-ku lagi kelebihan, kukira takkan habis diminum anakku ini.”

Seketika wajah lelaki yang kereng itu mengunjuk rasa girang, cepat ia mengucapkan terima kasih dan menyodorkan bayinya. Terlihat bulu halus bayi itu belum lagi rontok, kulitnya masih kemerah-merahan, jelas baru beberapa hari saja dilahirkan. Tapi mukanya yang berkulit lembut itu ternyata sudah ada segaris bekas luka.

Wanita petani itu berkerut kening, katanya, “Ai, kalau membawa anak perlu hati-hati sedikit.

Ibu si bocah ini juga terlalu, masakah diserahkan padamu tanpa khawatir apa-apa.”

“Ibu anak ini sudah meninggal,” kata lelaki itu dengan sedih.

Wanita petani itu terkejut, perlahan ia membelai wajah bayi yang halus itu, katanya dengan terharu, “Ai, sungguh kasihan, baru lahir sudah kehilangan ibu.”

Lelaki itu menengadah dan menghela napas panjang, dengan pandangan sayu dia menatap anak bayi itu dengan perasaan pedih dan duka yang tak terlukiskan serta kasih sayang yang tak terkatakan.

Anak itu seakan-akan memang dilahirkan dengan nasib malang. Baru dilahirkan sudah mengalami bunuh membunuh dan kematian, agaknya nasib kehidupannya nanti seakan-akan ditakdirkan penuh malapetaka. Sungguh kasihan, anak sekecil itu sudah tentu tidak tahu apaapa, kini wajahnya yang kecil mungil itu malahan sedang tersenyum penuh bahagia.

No comments:

Post a Comment