Pendekar Binal bagian 35

“Ehm,” Yan Nan Tian hanya mendengus perlahan.

 Si gemuk berkata pula dengan tertawa, “Tiga tahun yang lalu sudah tersiar berita bahwa Tuan bermusuhan dengan Joan-tiong-pat-gi, sejak itu kami sudah berharap-harap akan kedatanganmu ke sini. ternyata Tuan tidak segera muncul sehingga kami lama menunggu sampai sekarang.” 

“O,” Yan Nan Tian bersuara singkat pula. 

Diam-diam baru ia tahu bahwa orang-orang ini telah salah menyangkanya sebagai “Pendekar Pedang Pemburai Usus” Suma Yan. sebagaimana para Tetua dari Kunlun  serta Joan-tiong-sam-gi itu menyangkanya. Namun sedapatnya ia tetap tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu.

 Ketika si gemuk bermuka bulat itu menggapai, segera datang seorang dengan langkah gemulai, seorang gadis berbaju hijau, cantik dan genit. Matanya jeli dan giginya putih bak biji mentimun. Dengan lirikan yang genit gadis cantik itu mengucapkan salam hormat juga kepada Yan Nan Tian dan dijawab dengan dengusan singkat pula. 

Melihat sikap Yan Nan Tian yang kaku dan acuh itu, si gemuk berkata dengan tertawa, “Rupanya baru tiba dari tempat jauh, Tuan Sima Yan tiada hasrat bercengkerama denganmu. Lekas mengambilkan arak yang hangat untuk Tuan Sima Yan, lalu buatkan tajin kental bagi kawan kecil kita ini.” 

“Sungguh anak yang mungil dan manis,” kata gadis itu dengan tertawa genit sambil melirik sekejap kepada Yan Nan Tian, lalu melangkah pergi dengan gaya yang menggiurkan. 

Sorot mata Yan Nan Tian menatap si gemuk berwajah bulat itu, diam-diam ia pikir, “Mungkin orang inilah ‘Si Budha Tertawa", Ha Ha Er.

 Kalau melihat wajahnya yang selalu tertawa, terhadap anak kecil juga begini simpatik, lalu siapa yang menyangka bahwa di dalam semalam saja dia telah membunuh seluruh anggota keluarga gurunya. Soalnya cuma lantaran adik seperguruannyanya memaki dia dengan istilah ‘babi’ saja.” 

Tengah termenung, si gadis genit tadi sudah kembali dengan langkahnya yang meliuk-liuk dan membawa satu nampan makanan dan arak. Tercium bau arak yang harum, warna masakannya juga sangat menarik dan membuat orang meneteskan air liur. 

“Kawan Sima Yan datang dari jauh, tentu sudah lapar,” kata si gemuk dengan tertawa. “Silakan santap saja, setelah itu baru kita bicara lagi.” 

Kembali Yan Nan Tian cuma mendengus saja, tapi tidak menyentuh daharan yang disuguhkan itu.

 “Umumnya menyangka kami yang berada di sini pasti hidup susah dan menderita,” kata pula si pendek gemuk dengan tertawa, “mereka tidak tahu bahwa dengan berkumpulnya kaum cerdik pandai sebanyak ini di sini mana bisa kami menderita. Seumpama arak dan masakan ini, sekali pun raja juga sukar menikmatinya, supaya terbukti, silakan Saudara Suma Yan mencicipinya.”

 “O,” lagi-lagi Yan Nan Tian bersuara singkat saja.

 “Siapakah gerangan koki yang memasak makanan ini, kuyakin sama sekali takkan pernah terpikir oleh Saudara Sima yan,” ujar si buntak dengan tertawa. 

“Siapa?” tanya Yan Lam ;thian. 

“Pernahkah Saudara dengar di dalam Kaypang (partai pengemis) dahulu ada seorang tokohnya yang berjuluk ‘Tian Chi Xing’ (si tukang gegares)? Hanya di dalam setengah jam saja dia telah meracun mati tujuh tertua dari partai mereka ....” sampai di sini, 

mendadak “brak”, si babi menggebrak meja, lalu menyambung dengan bergelak, “Sungguh seorang ksatria sejati, seorang tokoh besar. Nah, yang membuat makanan ini adalah dia.”

 Diam-diam Yan Nan Tian terkejut, tapi tetap berlagak acuh-tak-acuh dan menanggapi dengan suara, “O!” begitu saja.

 Mendadak si gemuk  itu tertawa pula dan berseru, “Kawan Sima Yan benar-benar adalah tokoh pilihan kaum kita, sebelum persoalan menjadi jelas, sama sekali engkau tidak sudi makan. Padahal sebelum kedatangan Saudara Sima ini sebenarnya kami sudah pandang dirimu sebagai saudara sekaum ...” sampai di sini, segera ia angkat sumpit, setiap macam makanann dicicipinya dulu satu kali. 

Lalu menambahkan dengan tertawa, “Nah, apakah sekarang Kawan Sima Yan masih sangsi?” 

“Jika mereka telah salah sangka diriku sebagai Sima Yan, inilah kesempatan baik bagiku untuk menyelidiki jejak bangsat Jiang Qin itu,” demikian pikir Yan Nan Tian. 

“Kalau sekarang aku berkeras tidak mau makan, tentu akan menimbulkan curiga mereka. Apalagi mereka sudah mengira aku ini Sima Yan, rasanya mereka takkan mencelakai aku dengan racun.” 

Maklumlah sekali pun Yan Nan Tian adalah lelaki berdarah panas, tapi kecerdikannya tidak di bawah orang lain, kalau tidak masakah kawanan Piausu itu dapat diakali hingga kelabakan.

 Kini setelah dia pikir dan timbang lagi, ia merasa lebih baik makan daripada tidak, maka ia lantas angkat sumpit dan berkata, “Baiklah, mari makan!” Tanpa sungkan-sungkan lagi ia terus makan dan minum.

No comments:

Post a Comment