Pendekar Binal bagian 42

Anak itu ternyata bukan anak bayi yang diharapkan itu melainkan sebuah boneka belaka. 

Namun sudah terlambat, seluruh rumah berjangkit suara mendenging, beratus-ratus bintik perak memancar ke arahnya bagai hujan. Suara mendesing senjata rahasia itu tajam lagi cepat serta kuat pula, jelas beratus-ratus senjata rahasia itu seluruhnya tersambit dari tangan kaum ahli dan bertekad harus membinasakan Yan Nan Tian. 

Segenap pelosok rumah itu adalah sasaran berbagai macam senjata rahasia sehingga Yan Nan Tian benar-benar tidak diberi peluang untuk berkelit dan menghindar. Mendadak Yan Nan Tian bersuit nyaring, tubuh terus melayang ke atas, terdengarlah suara gemuruh, ia telah membobol atap rumah dan melayang keluar. 

Di bawah terdengar suara nyaring riuh ramai, beratus-ratus senjata rahasia berserakan memenuhi lantai. Di balik bayang-bayang gelap sekeliling rumah segera terdengar jerit kaget berulang-ulang, belasan bayangan orang segera berlari simpang siur. 

Kembali Yan Nan Tian bersuit panjang, laksana naga turun dari langit, mendadak ia menubruk dari atas. Terdengarlah suara gedebak-gedebuk disertai jeritan beberapa kali, seorang ditendangnya hingga mencelat ke tepi jalan, seorang dilemparkannya jauh ke tengah jalan, seorang lagi disodok hingga menerobos genting rumah. Semuanya kepala pecah dan otak berantakan. Namun sisanya masih sempat kabur, hanya sekejap saja lantas lenyap. 

Berdiri di tengah jalan raya itu Yan Nan Tian berteriak dengan suara murka, “Main sergap, tapi bisakah kalian menjatuhkan diriku? Kalau ingin jiwa orang bermargaYan ini, ayolah keluar bertanding!” 

Suara raungan murka Yan Nan Tian itu menggema angkasa dan tak hentinya menimbulkan kumandang dari jauh suara tantangan itu. 

Dengan langkahnya yang tegap kuat Yan Nan Tian menyusuri jalan sambil mencaci-maki dan menantang. Namun Lembah Iblis itu seakan-akan tak berpenghuni lagi, tiada seorang pun yang berani menongol. Meski seorang diri, namun Yan Nan Tian telah membuat seluruh penjahat yang menghuni Lembah Iblis itu ciut nyali semua, sungguh gagah perkasa dan berwibawa. 

Namun sedikit pun hati Yan Nan Tian tidak merasa bangga dan puas, sebaliknya ia merasa cemas, pedih dan murka. Meski langkahnya ringan gesit, namun perasaannya amat berat. 

Sekonyong-konyong, entah sejak kapan, seluruh sinar lampu di Lembah Iblis itu padam semua. Walaupun ada cahaya rembulan dan bintang, namun lembah maut itu tetap gelap gulita dan menggetar sukma. 

Mendadak seberkas sinar mengkilat menyambar dari balik pintu rumah sebelah, sebuah golok membacok sekuatnya. Serangan itu jelas berasal dari seorang jago silat terkenal, baik waktunya yang tepat, arahnya yang jitu, semuanya dilakukan dengan kena benar dan berkeyakinan kepala Yan Nan Tian pasti akan terbelah menjadi dua. 

Di luar dugaan, Yan Nan Tian yang tampaknya sama sekali tidak tahu akan serangan itu, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong tubuhnya dapat menyurut mundur sehingga golok itu menyambar lewat di depan hidungnya tanpa melukai seujung rambut pun. 

“Trang”, saking kerasnya tenaga serangan itu hingga golok membacok tanah dan memercikkan api. 

Secepat kilat tangan Yan Nan Tian terus membalik dan tepat mencengkeram pergelangan tangan penyergap itu sambil membentak bengis, “Keluar! Ingin kutanya padamu.” 

Di luar dugaan. mendadak pegangan Yan Nan Tian terasa enteng, meski tangan orang itu kena ditariknya keluar, tapi melulu sebuah tangan berlumuran darah tanpa pemiliknya. Kiranya orang itu telah menebas mentah-mentah lengan kanan sendiri. 

Keji amat dan tega benar hati orang itu. Bahkan suara mendengus saja tak terdengar sama sekali. Kejut, cemas, gusar dan gemas pula Yan Nan Tian, ia ambil goloknya dan buang lengan buntung itu, menyusul golok itu terus membacok, sebuah daun pintu kontan jebol. Namun di balik pintu tiada nampak bayangan seorang pun.

Pendekar Binal bagian 41

Yan Nan Tian menahan perasaannya dan menatap orang tanpa bicara. 

Orang berbaju hitam itu langsung mendekati Yan Nan Tian dan berdiri di depannya. Di antara sorot matanya yang licik itu terkulum juga senyuman licin pada mulutnya.

 “Selamat, Pendekar Yan!” tiba-tiba orang itu menyapa dengan tertawa sambil angkat tangan memberi hormat. 

“Hm,” Yan Nan Tian hanya mendengus saja. 

“Hamba ‘Si Pedang Pemburai Usus’ Sima Yan,” kata pula si baju hitam. 

Meski Yan Nan Tian sudah mengambil keputusan akan bersabar dan bersikap tenang, kini tidak urung terguncang juga perasaannya dan berseru tanpa kuasa, “Kiranya kau! Jadi kamu sudah di sini?!” 

Sima Yan terkekek licik, katanya, “Sebelum Pendekar Yan tiba, lebih dulu Hamba sudah sampai di sini. 

Sepak terjang Pendekar Yan akhir-akhir ini sudah kudengar, sebab itulah, begitu Pendekar Yan datang, orang-orang di sini juga lantas tahu.” 

Mendelik mata Yan Nan Tian, tapi tetap diam saja. 

“Pendekar Yan tidak perlu melotot padaku, kukira engkau takkan membunuh aku,” ujar Sima Yan, dengan tertawa licik. 

“Berdasar apa kau kira aku tak berani membunuhmu? Sungguh aneh, coba katakan!” bentak Yan Nan Tian bengis. 

“Sederhana, di antara dua negeri yang berperang, tidak mungkin membunuh utusan dari salah satu pihak,” kata Sima Yan dengan tertawa. 

“Utusan? Kamu ini utusan? utusan dari mana?” Yan Nan Tian menegas. 

“Hamba datang atas perintah untuk menanyai sesuatu pada Pendekar Yan,” jawab Sima Yan. 

“Apakah urusan mengenai anak itu?” tergerak juga hati Yan Nan Tian. 

“Benar!” jawab Sima Yan dengan tertawa. 

Segera Yan Nan Tian mencengkeram baju orang itu, bentaknya dengan suara parau, “Di mana anak itu?” 

Sima Yan tidak menjawab, dengan mengulum senyum ia pandang tangan Yan Nan Tian. Yan Nan Tian menggreget, tapi akhirnya ia kendurkan tangannya. 

Dengan tertawa-barulah Sima Yan menjelaskan, “Hamba disuruh menanyakan pada Pendekar Yan, apabila mereka menyerahkan kembali anak itu padamu, lalu bagaimana urusannya?” 

Tergetar hati Yan Nan Tian, sahutnya, “Untuk ini ….” 

“Apakah Pendekar Yan akan terus berangkat pergi dan untuk selamanya takkan datang lagi ke sini?” Sima Yan menegas. 

Kembali Yan Nan Tian menggreget, jawabnya dengan parau, “Demi anak itu, baik kuterima.” 

“Sekali sudah berjanji ....” 

“Apa yang pernah kukatakan selamanya takkan berubah!” bentak Yan Nan Tian dengan gusar. 

“Baik, silakan Pendekar Yan ikut padaku!” kata Sima Yan dengan tertawa. 

Berturut-turut mereka lantas keluar dari rumah itu. Suasana malam yang tenang meliputi Lembah Iblis, di bawah cahaya bulan yang remang-remang Lembah Iblis tampaknya bertambah aman dan tenteram. Sima Yan melangkah di jalanan batu yang licin itu, tindakannya enteng tanpa bersuara sedikit pun, tanpa berhenti ia terus menuju ke sebuah rumah dengan pintu setengah tertutup dan kelihatan cahaya terang menembus keluar. 

“Di dalam rumah inilah anak itu berada,” kata Sima Yan setiba di depan pintu.

 “Diharap setelah Pendekar Yan memondong anak itu keluar, hendaklah segera mundur kembali ke jalan engkau datang semula. Kereta yang dibawa Pendekar Yan itu pun sudah siap di mulut lembah sana.” 

Yan Nan Tian tidak sabar lagi, tanpa menunggu habis ucapan orang itu, segera ia menerobos ke dalam rumah. Di tengah rumah kelihatan ada sebuah meja bulat, anak itu memang betul tertaruh di atas meja. 
Darah Yan Nan Tian bergolak, sekali lompat maju segera ia pondong anak itu sambil berkata dengan pilu, “O, anak yang malang!”

 Tapi belum habis ucapannya, mendadak anak itu dibantingnya ke lantai sambil mengerang murka, “Bangsat keparat!”

Pendekar Binal bagian 40

Begitulah ia terus mengamuk, segala isi rumah itu diobrak-abriknya hingga berantakan. Namun penghuni Lembah Iblis seakan-akan sudah mampus seluruhnya, tiada seorang pun berani menongol. 

“Baik, ingin kulihat kalian akan sembunyi sampai kapan!” bentak Yan Nan Tian dengan murka sambil mengamuk sepanjang jalan.

 Tiba-tiba ia menerjang masuk sebuah rumah, “blang”, ia depak daun pintu rumah itu hingga roboh sebelah, di dalam rumah ada dua orang, mereka menjadi kaget melihat Yan Nan Tian menerjang masuk bagai orang gila, segera mereka hendak kabur. 

“Lari ke mana?” bentak Yan Nan Tian. 

Seperti kucing menerkam tikus, dengan cepat ia melompat maju, sekali meraih, punggung salah seorang itu kena dicengkeramnya. Kepandaian orang itu sebenarnya tidak lemah, tapi entah mengapa kini ia tak dapat berkutik sama sekali dan kena diangkat begitu saja seperti elang mencengkeram anak ayam. 

Di tengah gertakan Yan Nan Tian, sekali dorong, kontan kepala orang itu pecah berantakan menumbuk dinding. Keruan orang yang lain ketakutan setengah mati, kaki pun terasa lemas dan tidak sanggup lari lagi. “Bluk”, ia jatuh bersimpuh di tanah. 

Segera Yan Nan Tian mencomot kuduk orang itu sambil membentak, “Bangsat! Pergilah menyusul kawanmu!” 

“Nanti dulu, dengarkan perkataanku!” mendadak orang itu berteriak. 

“Apa yang hendak kau katakan?” tanya Yan Nan Tian, ia mengira orang akan memberitahukan di mana beradanya bayi yang hilang, sebab itulah ia menghentikan aksinya. 

Tak tahunya orang itu lantas bertanya malah, “Ada permusuhan dan dendam apa antara engkau dan aku, mengapa engkau berbuat sekeji ini?” 

“Penghuni Lembah Iblis adalah kawanan bangsat yang mahajahat, biarpun kubunuh habis juga takkan keliru!” bentak Yan Nan Tian gusar. 

“Benar!” seru orang itu. “Aku Wan Chun Liu dahulu memang betul orang jahat, tapi sudah lama aku memperbaiki diriku, mengapa kau ingin membunuhku pula? Ber ... berdasarkan apa engkau membunuh aku?” 

Sejenak Yan Nan Tian terkejut, gumamnya kemudian, berdasar apa aku membunuhnya? Mengapa aku tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperbaiki kelakuannya dan memperbaharui hidupnya?”

 Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia lepaskan pegangannya dan membentak perlahan, “Pergilah!” 

Cepat orang itu meronta bangun, tanpa menoleh lagi terus berlari pergi dengan langkah terhuyung. 

Sambil menyaksikan kepergian orang itu, Yan Nan Tian menghela napas panjang dan bergumam pula, 

“Apa gunanya membunuh orang yang tak bersalah? Wahai, Yan Nan Tian, Saudaramu Jian Feng hanya meninggalkan yatim piatu ini, jika kamu tidak bertindak dengan tenang dan menggunakan akal sehat, bisa jadi keturunan saudara angkatmu itu akan lenyap, biarpun kau bunuh habis segenap penghuni Lembah Iblis ini juga tiada gunanya lagi ….”

 Berpikir demikian, seketika api amarahnya padam. Segera ia pun menemukan berbagai keanehan di tempat ini. Ia lihat rumah ini sangat besar, sebuah ruangan yang penuh tertimbun macam-macam bahan obat-obatan. Selain itu ada belasan anglo dengan apinya yang sedang membara, setiap anglo itu ada perkakas masak sebangsa wajan, ceret serta alat lain yang berbentuk aneh dan tak diketahui namanya. Di dalam setiap perkakas masak itu tercium bau harum obat yang menusuk hidung. 

Yan Nan Tian sudah kenyang asam garam dunia Kangouw, pengalamannya banyak, pengetahuannya luas, terhadap ilmu pertabiban dan pengobatan juga tidak asing, pada waktu menganggur dia sering mencari bahan obat-obatan di lereng gunung dan pernah pula membuat beberapa macam obat luka menurut resepnya sendiri. Tapi sekarang bahan obat-obatan yang tertimbun di rumah ini, baik yang tertumpuk di pojok ruangan maupun yang sedang dimasak, paling-paling Yan Nan Tian hanya kenal dua-tiga jenis di antaranya, selebihnya hampir tak pernah dilihatnya. 

Baru sekarang ia terkejut, pikirnya, “Kiranya begini tinggi ilmu pertabiban Wan Chun Liu tadi, syukur aku tidak jadi membunuhnya. Jika dia tidak pernah menyesal pada kejahatannya yang dahulu dan tidak ingin memperbaikinya, tentu dia takkan susah payah mempelajari ilmu pengobatan yang bermanfaat bagi orang lain ini.” Bau harum obat yang dimasak itu semakin keras hingga akhirnya rumah itu penuh kabut asap dan menambah gaibnya rumah itu. 

Tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam tampak melangkah datang menembus kabut asap itu. Langkah orang itu sedemikian ringan, begitu gesit, sepasang matanya juga mengerling lincah dan terang.

Pendekar Binal bagian 39

Li Da Zui tidak sempat kabur, terpaksa ia berdiri di situ, katanya dengan tertawa, “Bagus, Yan Nan Tian, biar orang she Li ini yang coba-coba mengukur kepandaianmu.” 

Sembari bicara, mendadak ia menyelinap ke belakang Du Sha dan berkata pula, “Namun apa pun juga kepandaian Pendekar Du Sha lebih hebat daripadaku, adik tak berani bersaing dengan sang kakak. Silakan maju dulu, Pendekar Du Sha!” 

Padahal meski Yan Nan Tian sudah berdiri, namun tenaga murninya belum terhimpun, kalau saja beberapa orang itu menyerbunya sekaligus, dia sukar terhindar dari maut. Tapi Yan Nan Tian memperhitungkan dengan tepat jiwa licik orang-orang ini, berani pada yang lemah, takut pada yang kuat. 

Mementingkan diri sendiri dan lebih suka merugikan orang lain. Jika mereka disuruh bagi rezeki tentu akan maju sekaligus, sebaliknya jika mereka disuruh mengadu jiwa, jangan harap! Begitulah maka Yin Jiu You, Do Qiao Qiao, Ha Ha Er, Li Da Zui, dalam sekejap saja sama menghilang, hanya tertinggal Du Sha yang masih berdiri mematung di situ. 

Sementara itu tenaga murni Yan Nan Tian sudah terkumpul, sorot matanya memancar tajam, cuma ia belum segera turun tangan, dengan suara bengis ia membentak, “Kenapa kamu tidak lari seperti kawan-kawanmu?” 

“Menghadapi lawan, selamanya orang bermarga Du tak pernah lari!” jawab Du Sha tegas.

 “Jadi kau berani bertarung dengan aku?” tanya Yan Nan Tian

 “Benar!” belum lenyap suara Du Sha, serentak ia melompat maju, di tengah berkibarnya pakaian putih laksana gumpalan salju terseling dua buah tangan merah berdarah. 

Tui-hunhiat-jiu, Tangan Berdarah Pemburu Sukma, ilmu pukulan berbisa andalan Du Sha. 

“Bagus!” sambut Yan Nan Tian dengan tertawa keras.

 Ia pun angkat kedua tangan dan balas menghantam kedua telapak tangan lawan yang merah itu. 

Diam-diam Du Sha bergirang. Maklumlah, ia disegani karena tangan berbisanya yang merah berdarah itu, sebab dia memakai sarung tangan berduri yang telah direndam dengan cairan beratus macam racun. Asalkan badan kulit orang tergores sedikit saja, maka tidak sampai setengah jam kemudian orang itu pasti akan binasa. Racun itu boleh dikatakan “kena darah lantas tutup napas”, ganasnya luar biasa. 

Tapi sekarang Yan Nan Tian berani memapak tangannya yang berbisa itu dengan tangan telanjang, bukankah ini sama dengan mengantarkan nyawa? Maka terdengarlah suara gertakan berbaur dengan suara jeritan, menyusul lantas berbunyi “krek” satu kali. Sudah jelas Yan Nan Tian menjemput serangan tangan berdarah lawan dengan pukulan pula, tapi sampai di tengah jalan, entah bagaimana mendadak gerak serangannya itu berubah.

 Sekonyong-konyong Du Sha merasakan serangannya tak mencapai sasarannya, perasaannya mirip orang berjalan yang mendadak sebelah kaki menginjak tempat kosong. Keruan ia terkejut, gugup dan bingung pula.

 Pada saat itulah kedua pergelangan tangannya sudah kena dipegang Yan Nan Tian, baru saja dia menjerit kaget dan cemas, “krek”, pergelangan tangan kanannya telah dipatahkan menta-hmentah oleh lawan. 

Sebelum tubuh lawan roboh, Yan Nan Tian sempat mencengkeram pula baju dadanya dan membentak dengan bengis, “Di sini ada orang bernama Jiang Qin tidak?” 

Rasa sakit Du Sha tak terkatakan, namun ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sahutnya dengan parau, “Kalau memang tidak ada, ya tetap tidak ada!”

 “Dan di mana anak bayi itu?” bentak Yan Nan Tian pula.

 “Ti ... tidak tahu! Kau bunuh saja diriku!”

 “Mengingat keperkasaanmu, jiwamu kuampuni!” kata Yan Nan Tian, mendadak tangannya mengebas, Du Sha terlempar jauh. 

Hebat juga Du Sha dan tidak malu sebagai tokoh Bu-lim yang disegani, dalam keadaan demikian dia masih sanggup menguasai diri, dia berjumpalitan satu kali di udara, lalu tancapkan kakinya dengan enteng di atas tanah tanpa sempoyongan dan terjatuh. 

Jubahnya yang putih mulus sudah berlepotan darah, dengan tangan kiri memegangi tangan kanan sendiri, ia berseru dengan suara serak, “Sekarang kamu mengampuni aku, sebentar lagi kamu takkan kuampuni!” 

“Hahaha! Kapan Yan Nan Tian pernah minta diampuni orang?” jawab Yan Nan Tian sambil tertawa.

 “Baik!” kata Du Sha sambil melangkah pergi. “Kembalikan anak itu, kalau tidak, lembah ini pasti kuhancurleburkan!” bentak Yan Nan Tian dengan kereng. 

Suaranya menggelegar, namun segalanya sunyi senyap. Yan Nan Tian menjadi gusar, “blang”, sebuah meja ditendangnya hingga mencelat. “Brek”, sekali hantam dinding lantas berlubang.

Pendekar Binal bagian 38

Tanpa terasa mengkirik juga bulu roma Yan Nan Tian, pikirnya, “Benar-benar cocok dengan julukannya sebagai ‘setengah manusia setengah setan’ Yin Jiu You ini, bahkan cara bicaranya juga ‘tujuh bagian berbau setan.” 

“Hahaha!” demikian terdengar Ha Ha Er lagi berkata dengan tertawa, “Jadi setan saja Yin Jiu You juga tidak mau kesepian. Kalau Pendekar Yan sudah datang kemari, mana mungkin kau khawatir takkan mendapat teman di akhirat?” 

“Aku tidak sabar menunggu lagi!” sahut suara aneh tadi, suara Yin Jiu You yang berjuluk “setengah manusia setengah setan” itu. 

Belum lenyap suara itu, tiba-tiba Yan Nan Tian merasa sebuah tangan meraba kuduknya dari belakang, tangan itu terasa lebih dingin daripada es, seketika Yan Nan Tian juga menggigil karena rabaan itu.

 “Yin Jiu You, singkirkan tanganmu!” bentak Li Da Zui. 

“Sekali kena raba tangan setanmu, apa daging itu dapat dimakan lagi?” 

Yin Jiu You terkekeh, katanya, “Kamu yang turun tangan juga boleh, cuma lekasan sedikit.” 

“Nanti dulu, aku ingin menanyai dia lagi!” seru Du Sha mendadak.

 “Tanyalah, kan tiada yang merintangimu,” ujar Du Qiao Qiao dengan mengikik genit. 

“Yan Nan Tian,” segera Du Sha mulai bertanya, “apakah kedatanganmu ke sini hendak mencari diriku?”

 “Kamu belum sesuai bagiku,” jawab Yan Nan Tian. 

Du Sha tidak marah, dengan nada dingin ia bertanya pula, “Aku tidak sesuai bagimu, lalu siapa yang sesuai?” 

“Jiang Qin,” jawab Yan Nan Tian singkat. 

“Jiang Qin?” Du Sha mengulang nama itu.

 “Siapa dia? Pernahkah kalian mendengar nama itu?” 

“Haha, di Lembah Iblis tiada terdapat Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco) begitu!” kata Ha Ha Er.

 “Meski bangsat itu tak terkenal, tapi busuknya berpuluh kali lipat daripada kalian,” ujar Yan Nan Tian dengan geregetan. 

“Asalkan kalian mau menyerahkan keparat itu padaku, maka aku berjanji takkan membikin susah kalian.” 

“Haha bagus, bagus! Kalian dengar tidak apa yang dikatakan Pendekar Yan, beliau takkan membikin susah kita. Ayolah kita lekas mengucapkan terima kasih banyak-banyak.” 

Belum habis ucapannya, bergemuruhlah “hahahihi-kikik-kekek”, berbagai macam suara tertawa bergelak serentak. 

“Memangnya kalian merasa geli?” tawa Yan Nan Tian dengan geram.

 Du Qiao Qiao terkikik-kikik, katanya, “Saat ini kamu terikat oleh tiga belas utas tali, empat titik Hiat-tomu ditotok pula oleh Du Sha, mestinya kamu harus minta ampun pada kami, tapi kamu malah bilang takkan membikin susah kami, masakah di dunia ini ada kejadian yang lebih menggelikan daripada ini?” 

“Hm, “ Yan Nan Tian hanya mendengus. 

“Baiklah, biar kukatakan juga padamu bahwa di Lembah Iblis ini benar-benar tiada terdapat orang bernama Jiang Qin,” kata Du Qiao Qiao.

 “Pasti kamu telah dikibuli orang, agaknya orang itu sengaja mendorongmu untuk mengantarkan nyawa ke sini.” 

“Hahaha! Dan ternyata kau percaya begitu saja pada perkataan orang itu,” seru Ha Ha Er dengan tertawa. 

“Haha, sungguh lucu, sudah tua bangka Yan Nan Tian ternyata dapat ditipu seperti anak kecil saja.”

 “Bangsat!” sekonyong-konyong Yan Nan Tian membentak, suaranya keras laksana guntur menggelegar dan memekak telinga.

 “Celaka!” seru Du Qiao Qiao kaget. “Tenaga orang ini tampak kuat, jangan-jangan ilmu kunci totokan Du Sha telah dibobolnya secara diam-diam tadi.” 

“Hehe, terkaanmu memang tidak salah!” bentak Yan Nan Tian sambil tertawa.

 Mendadak ia melompat bangun, sekali kedua tangannya terpentang, serentak tiga belas tali kulit yang meringkus badannya itu putus semua. 

“Wah, celaka, mayat hidup lagi!” seru Yin Jiu You. 

Belum lenyap ucapannya, tahu-tahu orangnya sudah berada belasan meter jauhnya. Orang bermarga Yin ini suka membanggakan Ginkangnya nomor satu, ternyata cara larinya memang cepat luar biasa, tentu saja yang konyol adalah kawan-kawannya.

 Terdengarlah suara “brak”, sebuah meja ditumbuk roboh oleh Ha Ha Er, orangnya berguling-guling beberapa kali dan mendadak menghilang. Kiranya telah menyusup ke dalam liang di bawah tanah.

 “Ai, perempuan baik-baik takkan berkelahi dengan lelaki,” seru Du Qiao Qiao.

 “Awas, aku akan buka baju!” 

Benar saja, mendadak ia menanggalkan pakaiannya terus dilemparkan ke arah Yan Nan Tian. Ketika Yan Nan Tian menyampuk jatuh baju itu, ternyata si banci juga sudah menghilang.

Pendekar Binal bagian 37

“Namun sebelum ajal, Pendekar Yan masih sanggup tertawa, hal ini hampir  mirip dengan aku si Ha Ha Er ini,” seru Ha Ha Er dengan mengakak. 

“Dan kawan yang ini adalah ‘Put-sip-jinthau’ Li Da Zui, apakah Pendekar Yan pernah kenal atau mendengar namanya?” 

Suara seorang yang lantang segera menanggapi lebih dulu, “Sudah lama kudengar Pendekar Yan memiliki otot kawat tulang besi, kukira dagingnya pasti sama enak dengan dendeng sapi, nanti harus kukunyah dan kutelan dengan pelan-pelan agar dapat menikmati rasanya yang sejati.” 

“Haha, dasar, setiap membuka mulut Li Da Zui tidak pernah lupa pada kegemarannya,” kata Ha Ha Er. 

“Kuperkenalkan Pendekar Yan padamu, sepantasnya kau bicara secara ramah-tamah, mengapa sekali pentang mulut lantas menyatakan ingin makan dagingnya?”

 “Kukatakan daging Pendekar Yan pasti lezat, ini kan juga ucapan sanjung pujiku. Kalian yang hanya suka makan daging babi mana tahu artinya?” ujar Li Da Zui dengan tertawa. 

“Bicara makanan, babi adalah binatang kotor dan busuk, memang tidak sebersih daging manusia,” kata Ha Ha Er dengan tertawa. 

“Aku menjadi tertarik pada ajakanmu dan ingin mencicipi daging Pendekar Yan ini bagaimana rasanya. Haha, tapi kukuatir daging Pendekar Yan ini terlalu kasar, jangan-jangan nanti ... Hahaha ....”

 “Kamu bukan ahli makan, maka tidak paham,” sela Li Da Zui. “Daging yang seratnya kasar ada rasa kasar tersendiri, daging halus juga ada rasa halus tersendiri pula. Daging Hwesio (biksu) ada rasa daging Hwesio, daging Nikoh (biksuni) juga ada rasa daging Nikoh, satu dan lain tidak sama, masing-masing mempunyai citra rasa sendiri-sendiri.” 

“Apakah daging biksu juga pernah kau makan?” tiba-tiba sebuah suara genit bertanya.

 “Hah, tidak cuma pernah, bahkan sering,” sahut Li Da Zui. “Yang paling terkenal adalah Tiejan Hwesio dari Wutai Shan, hampir tiga hari suntuk kumakan dia .... Daging orang terkenal rasanya memang lebih lezat dan sedap.” 

“Sudah berapa orang yang kau makan seluruhnya?” tanya suara merdu tadi dengan tertawa genit. 

“Wah, sukar dihitung,” jawab Li Da Zui.

 “Daging siapa yang paling lezat?” tanya pula suara genit itu. 

“Kalau bicara halusnya dan lezatnya harus diakui daging istrku dahulu itu,” tutur Li Da Zui. 

“Dagingnya yang putih halus itu, wah, kalau terkenang sekarang sungguh air liurku bisa menetes.” 

“Haha, sudahlah, sudahlah, jangan bicara tentang daging manusia lagi,” seru Ha Ha Er. 

“Coba lihat, betapa gusarnya Pendekar Yan ....” 

“Benar, kita jangan membuat marah Pendekar Yan lagi, orang marah dagingnya akan kecut, ini adalah hasil penelitianku selama ini, kalian perlu tahu,” ujar Li Da Zui.

 Lalu Ha Ha Er menuding lagi kawannya yang lain dan memperkenalkannya pada Pendekar Yan, “Dan yang ini adalah ‘Bukan lelaki bukan perempuan’ Do Xiao Xiao ....” 

“Kan tadi aku yang membawakan arak dan santapan bagi Pendekar Yan,” sela suara genit tadi.

 “Jadi Pendekar Yan sudah kenal diriku, tidak perlu lagi kau perkenalkan.” 

Terkesiap juga hati Yan nan Tian, pikirnya, “Jadi gadis baju hijau tadi adalah samaran ‘si bukan lelaki bukan perempuan’ (alias banci) Do Xiao Xiao. 

Padahal iblis ini sudah terkenal lebih dua puluh tahun yang lalu, namun menyamar gadis berusia enam belas-tujuh belas tahun ternyata juga begitu persis.” Tangan berdarah Du Sha, kegemaran Li Da Zui memakan daging manusia, semua ini belum membuat terkejut pendekar besar ini, tapi kepandaian menyamar Do Xiao Xiao yang dapat mengelabui siapa pun juga ini sungguh membuatnya terkesiap.

Tiba-tiba terdengar seorang berseru, “Ha Ha Er, kenapa cerewet saja sejak tadi, memangnya kamu ingin memperkenalkan segenap penghuni lembah ini padanya? Ada lebih baik lekas kau tanya dia, habis mendapatkan keterangan selekasnya mengirim dia untuk menemani aku di akhirat.” 

Suara orang itu seperti mengambang di udara dan terputus-putus, kalimat pertama kedengaran berada di sebelah kiri, kalimat berikutnya terasa di sisi kanan. Cara bicara orang biasa betapa pun anehnya tentu juga bertenaga, cara bicara orang ini ternyata tiada tenaga sama sekali, mirip orang yang sekarat dan seperti orang bersuara dari dalam peti mati. 

Pendekar Binal bagian 36

Beberapa macam santapan itu memang punya cita rasa yang lezat dan sukar dicari bandingannya. Dalam waktu singkat makanan itu sudah disikat habis oleh Yan Nan Tian. Apalagi kalau mengingat sebentar lagi harus banyak mengeluarkan tenaga, jika perut kenyang tentu akan lebih kuat, maka dia makan dengan lebih cepat. 

“Nah, bagaimana kepandaian masak Thian-sip-sing itu?” tanya si gemuk dengan bergelak tertawa. 

“Lezat!” sahut Yan Nan Tian sambil mengusap mulutnya dengan lengan baju.

“Sebentar lagi tajin untuk kawan kecil itu tentu juga akan dibawa kemari,” ujar si gemuk pula.

 “Ya, makin cepat makin baik,” kata Yan Nan Tian. 

“Haha, setelah kawan kecil ini minum tajin, maka Pendekar Yan juga boleh mulai turun tangan,” demikian ucap si gemuk tiba-tiba.

 Keruan air muka Yan Nan Tian berubah seketika, katanya, “Apa ... apa yang kau katakan?” 

Kembali si gemuk tertawa terbahak-bahak, katanya, “Nama Pendekar Yan termasyhur di seluruh jagat, tampangmu juga lain daripada yang lain, sekali pun aku Ha Ha Er bermata buta juga dapat mengenal Pendekar Yan. Haha, tadi aku pura-pura salah sangka engkau sebagai Sima Yan, tujuanku adalah untuk mengelabui Pendekar Yan, kalau tidak mana mungkin engkau mau makan makanan yang dibuat oleh Tian Chi Xing dengan campuran obat tidurnya yang khas itu. Hahaha ….” 

“Bangsat keparat!” bentak Yan Nan Tian murka, sebelah kakinya terus mendepak, kontan meja dengan mangkuk piring di atasnya mencelat dan berantakan. 

Si pendek itu memang betul “Si Budha Tertawa” Ha Ha Er alias “Siau-li-cong-to” atau di balik tertawanya tersembunyi pisau. Julukannya ini melukiskan hatinya yang berbisa, tapi lahirnya suka tertawa, setiap ucapan pasti disertai tertawa ngakak, makanya dia bernama Ha Ha Er atau si tukang tertawa. 

Ketika meja didepak Yan Nan Tian, dengan gesit ia sudah melompat ke samping, lalu berolok-olok dengan tertawa, “Sebaiknya Pendekar Yan jangan banyak mengeluarkan tenaga, kalau tidak, racun di dalam tubuhmu tentu akan bekerja terlebih cepat dan ... Haha ... Haha ....” 

Yan Nan Tian merasa badannya tiada sesuatu tanda yang mencurigakan, ia pikir mungkin orang sengaja menggertak dan menakut-nakuti. Tapi ketika diam-diam ia coba mengerahkan tenaga dalamnya, benar saja, terasa sukar dikeluarkan. Keruan ia cemas dan gusar pula, segera ia menubruk maju terus menghantam. Tapi Ha Ha Er tetap berdiri tegak di tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak dan tidak menyerang.

 Ternyata sebelum pukulan Yan Nan Tian itu dilontarkan, lebih dulu tubuhnya sudah jatuh terjungkal. Anggota badannya terasa lemas lunglai, tenaga saktinya yang beribu-ribu kati itu entah hilang ke mana? Lamat-lamat didengarnya suara tertawa senang Ha Ha Er serta suara tangis anak bayi ... suara tertawa dan menangis itu terasa semakin menjauh dan akhirnya ... segalanya tak terdengar lagi .... 

Entah berselang berapa lama, Yan Nan Tian merasa ada lampu sedang memancarkan sinarnya di depan wajahnya. Perlahan ia membuka mata, terasa lampu itu seperti berputar-putar di depan matanya, ia ingin mendekap matanya tapi kaki dan tangan sedikit pun tak dapat bergerak. Kepalanya terasa sakit seakan-akan pecah, tenggorokan juga panas seperti terbakar. Sekuatnya ia mengertak gigi dan mendelik untuk memandang lentera itu. Mana ada lampu yang berputar? Segera ia dapat melihat jelas wajah tertawa di belakang lentera itu.

 “Bagus, Pendekar Yan sudah siuman,” terdengar Ha Ha Er berseru dengan tertawanya yang khas. 

“Di sini ada beberapa kawan yang sedang menunggu dan ingin menyaksikan betapa gagahnya si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia.” 

Segera Yan Nan Tian juga dapat melihat beberapa bayangan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, tapi sinar lentera menusuk pandangannya sehingga bagaimana macam orang-orang itu tidak jelas terlihat. 

Terdengar Ha Ha Er berkata pula dengan tertawa, “Apakah Pendekar Yan kenal beberapa kawan ini? Haha, biarlah kuperkenalkan mereka padamu, Nah, inilah ‘Si Tangan Berdarah’ Du Sha.” 

Lalu terdengar seorang membuka suara dengan nada dingin, “Dua puluh tahun yang lalu pernah kuberjumpa satu kali dengan Pendekar Yan, cuma sayang waktu itu Hamba ada urusan penting sehingga tidak sempat belajar kenal dengan kungfu sakti Pendekar Yan.” 

Yang bicara ini berperawakan tinggi kurus, memakai jubah panjang putih mulus, kedua tangan tersembunyi di dalam lengan bajunya yang panjang dan longgar. Wajahnya tampak pucat pasi, begitu pucat sehingga mirip es batu yang tembus cahaya. 

Dengan menahan rasa sakit kepalanya, Yan Nan Tian bergelak tertawa keras dan menjawab, “Ya, dua puluh tahun yang lalu, jika tidak mengingat kamu habis dilukai oleh Pendekar Langit Selatan Lu Zhong Da dan aku merasa tidak sudi menyerang orang yang sudah terluka, kalau tidak, mana mungkin kamu mampu hidup sampai sekarang?”

Air muka Du Sha sama sekali tidak berubah, dengan dingin ia menjawab, “Nyatanya hamba masih hidup sampai sekarang, bahkan akan terus hidup, sebaliknya Pendekar Yan sendiri yang segera mati.”