Pendekar Binal bagian 39

Li Da Zui tidak sempat kabur, terpaksa ia berdiri di situ, katanya dengan tertawa, “Bagus, Yan Nan Tian, biar orang she Li ini yang coba-coba mengukur kepandaianmu.” 

Sembari bicara, mendadak ia menyelinap ke belakang Du Sha dan berkata pula, “Namun apa pun juga kepandaian Pendekar Du Sha lebih hebat daripadaku, adik tak berani bersaing dengan sang kakak. Silakan maju dulu, Pendekar Du Sha!” 

Padahal meski Yan Nan Tian sudah berdiri, namun tenaga murninya belum terhimpun, kalau saja beberapa orang itu menyerbunya sekaligus, dia sukar terhindar dari maut. Tapi Yan Nan Tian memperhitungkan dengan tepat jiwa licik orang-orang ini, berani pada yang lemah, takut pada yang kuat. 

Mementingkan diri sendiri dan lebih suka merugikan orang lain. Jika mereka disuruh bagi rezeki tentu akan maju sekaligus, sebaliknya jika mereka disuruh mengadu jiwa, jangan harap! Begitulah maka Yin Jiu You, Do Qiao Qiao, Ha Ha Er, Li Da Zui, dalam sekejap saja sama menghilang, hanya tertinggal Du Sha yang masih berdiri mematung di situ. 

Sementara itu tenaga murni Yan Nan Tian sudah terkumpul, sorot matanya memancar tajam, cuma ia belum segera turun tangan, dengan suara bengis ia membentak, “Kenapa kamu tidak lari seperti kawan-kawanmu?” 

“Menghadapi lawan, selamanya orang bermarga Du tak pernah lari!” jawab Du Sha tegas.

 “Jadi kau berani bertarung dengan aku?” tanya Yan Nan Tian

 “Benar!” belum lenyap suara Du Sha, serentak ia melompat maju, di tengah berkibarnya pakaian putih laksana gumpalan salju terseling dua buah tangan merah berdarah. 

Tui-hunhiat-jiu, Tangan Berdarah Pemburu Sukma, ilmu pukulan berbisa andalan Du Sha. 

“Bagus!” sambut Yan Nan Tian dengan tertawa keras.

 Ia pun angkat kedua tangan dan balas menghantam kedua telapak tangan lawan yang merah itu. 

Diam-diam Du Sha bergirang. Maklumlah, ia disegani karena tangan berbisanya yang merah berdarah itu, sebab dia memakai sarung tangan berduri yang telah direndam dengan cairan beratus macam racun. Asalkan badan kulit orang tergores sedikit saja, maka tidak sampai setengah jam kemudian orang itu pasti akan binasa. Racun itu boleh dikatakan “kena darah lantas tutup napas”, ganasnya luar biasa. 

Tapi sekarang Yan Nan Tian berani memapak tangannya yang berbisa itu dengan tangan telanjang, bukankah ini sama dengan mengantarkan nyawa? Maka terdengarlah suara gertakan berbaur dengan suara jeritan, menyusul lantas berbunyi “krek” satu kali. Sudah jelas Yan Nan Tian menjemput serangan tangan berdarah lawan dengan pukulan pula, tapi sampai di tengah jalan, entah bagaimana mendadak gerak serangannya itu berubah.

 Sekonyong-konyong Du Sha merasakan serangannya tak mencapai sasarannya, perasaannya mirip orang berjalan yang mendadak sebelah kaki menginjak tempat kosong. Keruan ia terkejut, gugup dan bingung pula.

 Pada saat itulah kedua pergelangan tangannya sudah kena dipegang Yan Nan Tian, baru saja dia menjerit kaget dan cemas, “krek”, pergelangan tangan kanannya telah dipatahkan menta-hmentah oleh lawan. 

Sebelum tubuh lawan roboh, Yan Nan Tian sempat mencengkeram pula baju dadanya dan membentak dengan bengis, “Di sini ada orang bernama Jiang Qin tidak?” 

Rasa sakit Du Sha tak terkatakan, namun ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sahutnya dengan parau, “Kalau memang tidak ada, ya tetap tidak ada!”

 “Dan di mana anak bayi itu?” bentak Yan Nan Tian pula.

 “Ti ... tidak tahu! Kau bunuh saja diriku!”

 “Mengingat keperkasaanmu, jiwamu kuampuni!” kata Yan Nan Tian, mendadak tangannya mengebas, Du Sha terlempar jauh. 

Hebat juga Du Sha dan tidak malu sebagai tokoh Bu-lim yang disegani, dalam keadaan demikian dia masih sanggup menguasai diri, dia berjumpalitan satu kali di udara, lalu tancapkan kakinya dengan enteng di atas tanah tanpa sempoyongan dan terjatuh. 

Jubahnya yang putih mulus sudah berlepotan darah, dengan tangan kiri memegangi tangan kanan sendiri, ia berseru dengan suara serak, “Sekarang kamu mengampuni aku, sebentar lagi kamu takkan kuampuni!” 

“Hahaha! Kapan Yan Nan Tian pernah minta diampuni orang?” jawab Yan Nan Tian sambil tertawa.

 “Baik!” kata Du Sha sambil melangkah pergi. “Kembalikan anak itu, kalau tidak, lembah ini pasti kuhancurleburkan!” bentak Yan Nan Tian dengan kereng. 

Suaranya menggelegar, namun segalanya sunyi senyap. Yan Nan Tian menjadi gusar, “blang”, sebuah meja ditendangnya hingga mencelat. “Brek”, sekali hantam dinding lantas berlubang.

No comments:

Post a Comment