Pendekar Binal bagian 5

Sungguh Jian Feng tidak habis mengerti, tapi ia pun tidak mau memikirkannya lagi, wanita yang baru melahirkan itu sedang merintih, si jabang bayi sedang menangis, tapi di sekitar kereta ini berjajar kawanan bandit yang sudah biasa membunuh orang tanpa berkedip.

Secepat kilat Jian Feng menerjang maju, namun sinar golok lantas berkelebat, ia sudah diadang oleh si baju kuning, si dada ayam. Sepasang golok menyerupai sayap ayam tipis laksana kertas, tapi terbuat dari baja murni, tajamnya tidak kepalang, dalam sekejap saja tubuh Jian Feng sudah terkurung di tengah cahaya golok.

Jian Feng tidak gentar, sebaliknya malah menerjang, ia menyelinap kian kemari di tengah jaringan sinar golok lawan, secepat kilat ia sambar pergelangan tangan si baju kuning, sekali tarik dan puntir, sebuah golok musuh sudah dirampasnya. Menyusul sebelah kakinya menendang perut si baju kuning, sedangkan golok rampasan menebas ke belakang untuk menangkis serangan si jengger ayam, menyusul pula tubuhnya menerobos ke sana di bawah cakar ayam, sekaligus goloknya terus membacok Hek Bian Kun.

Beberapa gerak serangan itu dilakukannya dengan cepat, ganas, tepat dan berbahaya pula, senjata-senjata musuh hampir semuanya menyerempet lewat bajunya.

Meski Hek Bian Kun sempat mengelakkan bacokan Jian Feng, tidak urung ia pun kaget hingga berkeringat dingin, cepat ia balas menyerang sambil memperingatkan kawan-kawannya, “Awas, bocah ini sudah nekat!

Apabila seseorang sudah nekat, sepuluh orang pun repot menghadapinya. Hal ini cukup diketahui kawanan bandit itu. Maka mereka tidak berani menghadapi Jian Feng secara berhadapan, mereka terus menghindar kian kemari untuk mengulur waktu.

Serangan Jian Feng semakin kalap, tapi selalu mengenai tempat kosong. Hek Bian Kun terus menerus tertawa mengejek. Si baju kuning meski sudah kehilangan sebuah goloknya, tapi golok yang masih ada itu terkadang juga melancarkan serangan maut. Empat pasang taji ayam juga bekerja sama dengan rapat, serangannya gencar sukar diduga dan membuat Jian Feng mati kutu. Belum lagi si baju merah, si jengger ayam, ia menyelinap kian kemari dan mematuk dengan paruh baja yang lihai.

Rambut Jian Fengsudah semrawut, suaranya serak, demi membela jiwa kekasihnya, si mahacakap ini kini tampaknya sudah menyerupai binatang gila. Percuma dia bertempur mati-matian, singa yang sudah masuk perangkap, sekalipun mengadu jiwa juga sudah tiada gunanya.

Senja semakin remang, suasana semakin tegang. Pertarungan sengit ini sungguh menggetar sukma, juga mengerikan. Jian Feng sudah mandi darah bercampur keringat, imbalannya adalah tertawa ejek yang menggila dari pihak musuh.

Kakak Jian Feng, hati-hatilah ....” demikian terdengar rintihan dari dalam kereta. “Asalkan engkau sabar, mereka pasti bukan tandinganmu!

Mendadak Hek Bian Kun melompat ke sana, sekaligus ia tarik tirai kereta. Untuk sejenak ia melengak, tapi segera ia tertawa menyeringai, “Aha, besar juga rezeki anak keparat ini. Ternyata melahirkan kembar dua!

Minggir, bangsat!” teriak Jian Feng dengan suara parau.

Dengan kalap ia menerjang maju, tapi sekali sampluk ia tertolak mundur. Dengan nekat ia menubruk maju pula, kembali didesak mundur dan begitulah hingga terjadi beberapa kali dan tetap tidak berhasil tercapai maksudnya. Mata Kang Hong sudah merah beringas. Dalam pada itu sebelah kaki Hek Bian Kun sudah naik ke undakan kereta sambil cengar-cengir.

Bangsat!” teriak si wanita dengan suara serak sambil merangkul kencang kedua anak bayinya. “Kau ... kau berani ....

Hehehe!” Hek Bian Kun terkekeh-kekeh. “Manisku, jangan khawatir, takkan kuganggu kau. Hehe, nanti kalau kau sudah sehat, malahan aku ingin ... ingin ... hahaha ....

Bangsat,” teriak Jian Feng murka. “Jika kau berani menyentuhnya ....

Mendadak Hek Bian Kun mencolek pipi perempuan cantik yang baru melahirkan itu dan mendengus, “Hm, ini, sudah kusentuh dia, kau mau apa?

Jian Feng menggerung kalap dan menerjang pula, tapi karena cemasnya, permainan goloknya menjadi kacau, serentak senjata musuh yang beraneka ragam itu menghujani tubuhnya, pundak, dada, punggung, seketika terluka dan mengucurkan darah.

Hati-hati, kakak Feng!” Dengan suara gemetar si perempuan berpesan pula.

Hehe, kakak Feng-mu segera akan berubah menjadi setan?” ejek Hek Bian Kun dengan tertawa.

Dengan berlumuran darah Jian Feng berteriak kalap, “Biarpun menjadi setan takkan kuampuni kalian !

Suara teriakan kalap bercampur dengan suara gembira dan jeritan ngeri diseling pula tangisan bayi. Suasana yang menyayat hati itu sekalipun manusia berhati baja juga pasti akan luluh. Darah sudah memenuhi muka dan tubuh Jian Feng, keadaannya sudah payah. 

Mendadak perempuan dalam kereta berteriak histeris, “Biar kuadu jiwa denganmu!” Mendadak ia meninggalkan bayinya terus menubruk ke arah Hek Bian Kun, sepuluh jarinya terus mencengkeram leher lawan.

Akan tetapi sekali tangkis segera perempuan itu ditolak balik ke dalam kereta. Dengan terkekeh Hek Bian Kun berkata, “Hehehe, manisku, ke mana perginya kelihaianmu tadi?... Hehehe, perempuan, perempuan yang harus dikasihani, sebab apakah kalian harus melahirkan anak ....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong perempuan itu telah merangkulnya dengan nekat, mulutnya terus menggigit tenggorokan lawan.

No comments:

Post a Comment