Beberapa macam santapan itu memang punya cita rasa yang lezat dan sukar dicari bandingannya. Dalam waktu singkat makanan itu sudah disikat habis oleh Yan Nan Tian. Apalagi kalau mengingat sebentar lagi harus banyak mengeluarkan tenaga, jika perut kenyang tentu akan lebih kuat, maka dia makan dengan lebih cepat.
“Nah, bagaimana kepandaian masak Thian-sip-sing itu?” tanya si gemuk dengan bergelak tertawa.
“Lezat!” sahut Yan Nan Tian sambil mengusap mulutnya dengan lengan baju.
“Sebentar lagi tajin untuk kawan kecil itu tentu juga akan dibawa kemari,” ujar si gemuk pula.
“Ya, makin cepat makin baik,” kata Yan Nan Tian.
“Haha, setelah kawan kecil ini minum tajin, maka Pendekar Yan juga boleh mulai turun tangan,” demikian ucap si gemuk tiba-tiba.
Keruan air muka Yan Nan Tian berubah seketika, katanya, “Apa ... apa yang kau katakan?”
Kembali si gemuk tertawa terbahak-bahak, katanya, “Nama Pendekar Yan termasyhur di seluruh jagat, tampangmu juga lain daripada yang lain, sekali pun aku Ha Ha Er bermata buta juga dapat mengenal Pendekar Yan. Haha, tadi aku pura-pura salah sangka engkau sebagai Sima Yan, tujuanku adalah untuk mengelabui Pendekar Yan, kalau tidak mana mungkin engkau mau makan makanan yang dibuat oleh Tian Chi Xing dengan campuran obat tidurnya yang khas itu. Hahaha ….”
“Bangsat keparat!” bentak Yan Nan Tian murka, sebelah kakinya terus mendepak, kontan meja dengan mangkuk piring di atasnya mencelat dan berantakan.
Si pendek itu memang betul “Si Budha Tertawa” Ha Ha Er alias “Siau-li-cong-to” atau di balik tertawanya tersembunyi pisau. Julukannya ini melukiskan hatinya yang berbisa, tapi lahirnya suka tertawa, setiap ucapan pasti disertai tertawa ngakak, makanya dia bernama Ha Ha Er atau si tukang tertawa.
Ketika meja didepak Yan Nan Tian, dengan gesit ia sudah melompat ke samping, lalu berolok-olok dengan tertawa, “Sebaiknya Pendekar Yan jangan banyak mengeluarkan tenaga, kalau tidak, racun di dalam tubuhmu tentu akan bekerja terlebih cepat dan ... Haha ... Haha ....”
Yan Nan Tian merasa badannya tiada sesuatu tanda yang mencurigakan, ia pikir mungkin orang sengaja menggertak dan menakut-nakuti. Tapi ketika diam-diam ia coba mengerahkan tenaga dalamnya, benar saja, terasa sukar dikeluarkan. Keruan ia cemas dan gusar pula, segera ia menubruk maju terus menghantam. Tapi Ha Ha Er tetap berdiri tegak di tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak dan tidak menyerang.
Ternyata sebelum pukulan Yan Nan Tian itu dilontarkan, lebih dulu tubuhnya sudah jatuh terjungkal. Anggota badannya terasa lemas lunglai, tenaga saktinya yang beribu-ribu kati itu entah hilang ke mana? Lamat-lamat didengarnya suara tertawa senang Ha Ha Er serta suara tangis anak bayi ... suara tertawa dan menangis itu terasa semakin menjauh dan akhirnya ... segalanya tak terdengar lagi ....
Entah berselang berapa lama, Yan Nan Tian merasa ada lampu sedang memancarkan sinarnya di depan wajahnya. Perlahan ia membuka mata, terasa lampu itu seperti berputar-putar di depan matanya, ia ingin mendekap matanya tapi kaki dan tangan sedikit pun tak dapat bergerak. Kepalanya terasa sakit seakan-akan pecah, tenggorokan juga panas seperti terbakar. Sekuatnya ia mengertak gigi dan mendelik untuk memandang lentera itu. Mana ada lampu yang berputar? Segera ia dapat melihat jelas wajah tertawa di belakang lentera itu.
“Bagus, Pendekar Yan sudah siuman,” terdengar Ha Ha Er berseru dengan tertawanya yang khas.
“Di sini ada beberapa kawan yang sedang menunggu dan ingin menyaksikan betapa gagahnya si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia.”
Segera Yan Nan Tian juga dapat melihat beberapa bayangan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, tapi sinar lentera menusuk pandangannya sehingga bagaimana macam orang-orang itu tidak jelas terlihat.
Terdengar Ha Ha Er berkata pula dengan tertawa, “Apakah Pendekar Yan kenal beberapa kawan ini? Haha, biarlah kuperkenalkan mereka padamu, Nah, inilah ‘Si Tangan Berdarah’ Du Sha.”
Lalu terdengar seorang membuka suara dengan nada dingin, “Dua puluh tahun yang lalu pernah kuberjumpa satu kali dengan Pendekar Yan, cuma sayang waktu itu Hamba ada urusan penting sehingga tidak sempat belajar kenal dengan kungfu sakti Pendekar Yan.”
Yang bicara ini berperawakan tinggi kurus, memakai jubah panjang putih mulus, kedua tangan tersembunyi di dalam lengan bajunya yang panjang dan longgar. Wajahnya tampak pucat pasi, begitu pucat sehingga mirip es batu yang tembus cahaya.
Dengan menahan rasa sakit kepalanya, Yan Nan Tian bergelak tertawa keras dan menjawab, “Ya, dua puluh tahun yang lalu, jika tidak mengingat kamu habis dilukai oleh Pendekar Langit Selatan Lu Zhong Da dan aku merasa tidak sudi menyerang orang yang sudah terluka, kalau tidak, mana mungkin kamu mampu hidup sampai sekarang?”
Air muka Du Sha sama sekali tidak berubah, dengan dingin ia menjawab, “Nyatanya hamba masih hidup sampai sekarang, bahkan akan terus hidup, sebaliknya Pendekar Yan sendiri yang segera mati.”
No comments:
Post a Comment