Pendekar Binal bagian 41

Yan Nan Tian menahan perasaannya dan menatap orang tanpa bicara. 

Orang berbaju hitam itu langsung mendekati Yan Nan Tian dan berdiri di depannya. Di antara sorot matanya yang licik itu terkulum juga senyuman licin pada mulutnya.

 “Selamat, Pendekar Yan!” tiba-tiba orang itu menyapa dengan tertawa sambil angkat tangan memberi hormat. 

“Hm,” Yan Nan Tian hanya mendengus saja. 

“Hamba ‘Si Pedang Pemburai Usus’ Sima Yan,” kata pula si baju hitam. 

Meski Yan Nan Tian sudah mengambil keputusan akan bersabar dan bersikap tenang, kini tidak urung terguncang juga perasaannya dan berseru tanpa kuasa, “Kiranya kau! Jadi kamu sudah di sini?!” 

Sima Yan terkekek licik, katanya, “Sebelum Pendekar Yan tiba, lebih dulu Hamba sudah sampai di sini. 

Sepak terjang Pendekar Yan akhir-akhir ini sudah kudengar, sebab itulah, begitu Pendekar Yan datang, orang-orang di sini juga lantas tahu.” 

Mendelik mata Yan Nan Tian, tapi tetap diam saja. 

“Pendekar Yan tidak perlu melotot padaku, kukira engkau takkan membunuh aku,” ujar Sima Yan, dengan tertawa licik. 

“Berdasar apa kau kira aku tak berani membunuhmu? Sungguh aneh, coba katakan!” bentak Yan Nan Tian bengis. 

“Sederhana, di antara dua negeri yang berperang, tidak mungkin membunuh utusan dari salah satu pihak,” kata Sima Yan dengan tertawa. 

“Utusan? Kamu ini utusan? utusan dari mana?” Yan Nan Tian menegas. 

“Hamba datang atas perintah untuk menanyai sesuatu pada Pendekar Yan,” jawab Sima Yan. 

“Apakah urusan mengenai anak itu?” tergerak juga hati Yan Nan Tian. 

“Benar!” jawab Sima Yan dengan tertawa. 

Segera Yan Nan Tian mencengkeram baju orang itu, bentaknya dengan suara parau, “Di mana anak itu?” 

Sima Yan tidak menjawab, dengan mengulum senyum ia pandang tangan Yan Nan Tian. Yan Nan Tian menggreget, tapi akhirnya ia kendurkan tangannya. 

Dengan tertawa-barulah Sima Yan menjelaskan, “Hamba disuruh menanyakan pada Pendekar Yan, apabila mereka menyerahkan kembali anak itu padamu, lalu bagaimana urusannya?” 

Tergetar hati Yan Nan Tian, sahutnya, “Untuk ini ….” 

“Apakah Pendekar Yan akan terus berangkat pergi dan untuk selamanya takkan datang lagi ke sini?” Sima Yan menegas. 

Kembali Yan Nan Tian menggreget, jawabnya dengan parau, “Demi anak itu, baik kuterima.” 

“Sekali sudah berjanji ....” 

“Apa yang pernah kukatakan selamanya takkan berubah!” bentak Yan Nan Tian dengan gusar. 

“Baik, silakan Pendekar Yan ikut padaku!” kata Sima Yan dengan tertawa. 

Berturut-turut mereka lantas keluar dari rumah itu. Suasana malam yang tenang meliputi Lembah Iblis, di bawah cahaya bulan yang remang-remang Lembah Iblis tampaknya bertambah aman dan tenteram. Sima Yan melangkah di jalanan batu yang licin itu, tindakannya enteng tanpa bersuara sedikit pun, tanpa berhenti ia terus menuju ke sebuah rumah dengan pintu setengah tertutup dan kelihatan cahaya terang menembus keluar. 

“Di dalam rumah inilah anak itu berada,” kata Sima Yan setiba di depan pintu.

 “Diharap setelah Pendekar Yan memondong anak itu keluar, hendaklah segera mundur kembali ke jalan engkau datang semula. Kereta yang dibawa Pendekar Yan itu pun sudah siap di mulut lembah sana.” 

Yan Nan Tian tidak sabar lagi, tanpa menunggu habis ucapan orang itu, segera ia menerobos ke dalam rumah. Di tengah rumah kelihatan ada sebuah meja bulat, anak itu memang betul tertaruh di atas meja. 
Darah Yan Nan Tian bergolak, sekali lompat maju segera ia pondong anak itu sambil berkata dengan pilu, “O, anak yang malang!”

 Tapi belum habis ucapannya, mendadak anak itu dibantingnya ke lantai sambil mengerang murka, “Bangsat keparat!”

No comments:

Post a Comment