Pendekar Binal bagian 8

“Hm, masakah nama Ciciku boleh sembarangan kau sebut?” jengek Lian Xing dengan kereng, dia tetap berdiri di tempatnya tadi seperti tak pernah bergeser sedikit pun.

Si jengger ayam dan kawan-kawannya pucat dan ketakutan setengah mati. Dengan suara gemetar si jengger bermaksud memperkuat keterangan kawannya, ia berkata, “Me ... memang betul Putri ….

Belum lengkap ia menyebut nama Putri Yao Yue, tahu-tahu ia pun kena ditempeleng belasan kali sehingga tubuhnya yang kecil itu sampai mencelat.

Aneh,” kata Putri Lian Xing dengan tertawa, “tampaknya kalian tidak percaya jika kuhendak mencabut nyawa kalian? ... ah ....” 

Di tengah keluhan menyesal itu sekonyong-konyong ia mengitari si baju kuning yang bertubuh jangkung itu satu kali, orang hanya melihat bayangan berkelebat dan entah cara bagaimana turun tangannya, tahu-tahu si baju kuning sudah roboh terkapar tanpa bersuara.

Salah seorang ekor ayam berbaju warna-warni belorok coba menjenguk kawannya itu, mendadak ia menjerit kaget, “Dia ... dia sudah mati!

Nah, sekarang kalian mau percaya tidak?” ujar Lian Xing tertawa.

Si belorok tadi menjerit parau, “Engk ... engkau kejam benar!”

Hm, mati seorang saja kenapa mesti kaget dan heran?” ujar Lian Xing tertawa.

Memangnya orang yang pernah kalian bunuh belum cukup banyak? Kalau kalian mati sekarang kukira cukup setimpal!

Rupanya mereka pikir daripada mati konyol akan lebih baik melawan sebisanya saja. Mendadak sorot mata si jengger ayam menjadi beringas, ia memberi tanda, bersama tiga pasang cakar ayam serentak menerjang ke arah Putri Lian Xing.

Terdengarlah suara “trang-tring” diselingi jerit mengerikan berturut-turut, di tengah-tengah berkelebatnya bayangan sang putri yang lemah gemulai, tiga orang berbaju belorok sudah roboh dua, sisa seorang lagi cepat melompat mundur dan tangannya sudah kosong, ia berdiri melongo mematung. Cara bagaimana lawan membinasakan kawan-kawannya dan cara bagaimana menghindarkan serangan mereka serta cara bagaimana merampas senjata mereka, semuanya tak diketahuinya sama sekali, dalam sekejap tadi ia seperti baru bermimpi buruk saja tanpa menyadari apa yang terjadi.

Ketika Putri Lian Xing mengebaskan lengan bajunya, terdengarlah suara gemerinting, beberapa celurit bentuk taji tajam ayam itu jatuh berserakan di tanah, hanya sebilah celurit masih dipegangnya. 

Setelah dipandangnya sekejap ia tertawa dan berkata, “Eh, kiranya inilah  cakar ayamnya. Entah bagaimana rasanya?

“Kletak”, mendadak mulutnya yang mungil itu mengertak celurit itu dan senjata buatan dari baja itu seketika tergigit patah mentah-mentah.

Melihat perempuan yang berusia baru likuran ini memiliki kesaktian sedemikian tinggi, bahkan setiap anggota tubuhnya seakan-akan memiliki kungfu yang sukar dibayangkan, keruan Hek Bian Kun dan Su Sin Khek, si babi dan si ayam jantan dari kawanan bandit 12 shio itu tidak berani berkutik lagi.

Ai, cakar ayam ini tidak enak!” kata Putri Lian Xing sambil menggeleng, 

“Brrr”, mendadak ia menyemprot perlahan celurit baja patah yang tergigit oleh mulutnya itu, ke mana sinar perak berkelebat, tahu-tahu si baju belorok yang masih tersisa itu pun menjerit ngeri sambil mendekap mukanya dan terguling-guling di tanah dengan darah merembes keluar dari sela-sela jarinya, habis berkelejetan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi. Tangan yang mendekap mukanya juga terbuka, remang-remang kelihatan mukanya beringas dan berlumuran darah, kiranya setengah potong celurit tadi telah menghancurkan tulang kepalanya.

Serentak Hek Bian Kun berlutut dan menjura, mohonnya dengan suara gemetar, “Ampun Putri! Ampun ....

Tapi Putri Lian Xing tidak menggubrisnya, sebaliknya ia malah tanya si baju merah alias jengger ayam, “Nah, bagaimana aku punya kungfu?

Ter ... terlalu hebat, selama ... selama hidup hamba tidak pernah me ... menyaksikan kungfu selihai ini, bahkan ... bahkan mimpi pun hamba tak pernah membayangkan kungfu setinggi ini,” demikian jawab si jengger dengan tergegap-gegap.

Dan kau takut atau tidak?” tanya sang Putri.

Pendekar Binal bagian 7

Padahal selain begundalnya serta kedua orang yang sedang sekarat di tanah itu tiada terlihat bayangan seorang pun. Tapi mengapa goloknya yang terbuat dari baja murni itu bisa patah tanpa sebab?

Apa-apaan ini?” tanya si jengger dengan penasaran.

Sialan! Mungkin ada setan!” ujar si baju kuning. 

Cepat ia melompat maju, golok buntungnya segera membacok si bayi. Tak terduga kembali terdengar “krek”, golok yang sudah buntung itu patah menjadi dua pula. Padahal disaksikan oleh beberapa pasang mata, namun tiada seorang pun mengetahui cara bagaimana golok itu dipatahkan.

Pucat air muka si baju kuning, katanya dengan suara gemetar, “Setan, benar-benar ada setan!

Hek Bian Kun berpikir sejenak, tiba-tiba berkata, “Biar kucoba!

Ia memungut golok yang ditinggalkan Kang Hong tadi dan mendekati kereta, dengan
menyeringai terus membacok, bacokan yang keras dan lebih cepat. Tapi baru saja goloknya bergerak tahu-tahu pergelangan tangannya tergetar, meski goloknya tidak patah, tapi tergumpil dan jatuh.

Memang benar ada serangan gelap orang!” ujar si jengger dengan waswas.

Kini Hek Bian Kun tidak sanggup tertawa lagi, katanya dengan keder, “Kita tidak dapat melihat senjata rahasianya, bentuknya tentu sangat lembut, orang ini mampu mematahkan golok dengan sambitan senjata rahasia lembut ... wah, betapa hebat gerak tangannya dan betapa lihai Lwekangnya.”

Di dunia ini mana ada orang selihai ini?” ujar si baju kuning “Wah, jangan jangan … jangan-jangan dia ....” tanpa terasa ia bergidik dan tidak sanggup melanjutkan.

Jian Feng yang sedang sekarat pun melongo kaget, gumamnya, “Ah, dia (perempuan) sudah datang ... pasti dia yang datang ....

Dia? Dia siapa?” tanya Hek-biang-kun. “Apakah ... apakah Yan Nan Thian?”

Yan Nan Thian?” tiba-tiba tukas suara seorang. “Hm, Yan Nan Thian terhitung kutu busuk macam apa?

Nada suara itu sedemikian merdu, lincah dan kekanak-kanakan pula. Sungguh mengejutkan di tempat sunyi dan jauh dari penduduk ini mendadak terdengar suara demikian. Tanpa menengadah juga Kang Hong dan istrinya tahu siapa yang datang itu. Seketika air muka mereka berubah pucat. Bahkan Hek Bian Kun dan begundalnya juga kaget dan cepat menoleh. Ternyata di tengah remang-remang senja sunyi itu entah sejak kapan sudah berdiri di situ sesosok bayangan tubuh wanita yang ramping, padahal mereka tergolong jagoan kelas tinggi, namun sama sekali tidak mengetahui bilakah datangnya wanita itu.

Kalau didengar dari suaranya orang tentu menyangka pembicara ini adalah anak dara yang cantik lagi kekanak-kanakan. Tapi yang berhadapan sekarang ternyata adalah seorang wanita yang sedikitnya berusia dua puluhan, mengenakan gaun bersulam model putri istana, gaun panjang menyentuh tanah, rambutnya terurai hingga bahu, senyumnya yang manis dengan kerlingan matanya yang hidup itu penuh mengandung kecerdasan yang sukar dilukiskan dan juga sifat kekanak-kanakannya yang sepantasnya tidak dimiliki wanita seusia dia.

Siapa pun juga, asal memandang sekejap saja padanya akan segera memaklumi dia pasti seorang berwatak yang sangat ruwet sehingga jangan harap akan dapat menyelami jalan pikirannya. Tapi barang siapa yang telah memandangnya sekejap, tentu pula akan terpesona pada kecantikannya yang jarang ada bandingannya serta melahirkan rasa kasihan yang mengibakan.

Ternyata wanita yang mahacantik itu justru dilahirkan dalam keadaan cacat badaniah, cacat jasmani, lengan baju dan gaunnya yang panjang itu tidak dapat menyelubungi cacat pada tangan dan kaki kirinya itu.

Setelah tahu jelas siapa wanita ini, meski tetap mengunjuk rasa jeri dan hormat, tapi rasa kaget dan gelisah Hek Bian Kun tadi sudah banyak berkurang, segera ia memberi hormat dan menyapa, “Apakah Ji-kiongcu (putri kedua) dari Istana Yi Hua?

O, kau kenal aku?” jawab si cantik berpakaian istana itu.

Siapa di dunia ini yang tidak kenal akan kebesaran nama Putri Lian Xing,” ujar Hek-biankun dengan menyengir.

Manis juga mulutmu, pintar mengumpak,” kata si cantik alias Putri Lian Xing.
Tampaknya kau toh tidak takut padaku.

Lekas-lekas Hek Bian Kun munduk-munduk dan menjawab, “Ah, hamba ... hamba ....

Dengan tertawa Lian Xing berkata, “Sudah sebanyak ini kau berbuat kejahatan dan ternyata tidak takut padaku, sungguh ini suatu hal aneh. Apakah kau tidak tahu bahwa segera akan kucabut nyawa kalian?

Air muka Hek Bian Kun berubah pucat, tapi sedapatnya ia bersikap tenang dan menanggapi, “Ah, putri suka bergurau.

Bergurau?” Lian Xing terkikik. “Kau telah menganiaya dayangku, kalau kubiarkan kau mati begitu saja sudah murah bagimu, masak kau sangka aku bergurau denganmu?

Tanpa pikir Hek Bian Kun menjawab, “Tapi, tapi ini atas ... atas perintah Putri Yao Yue….

Belum habis ucapannya, “plak-plok”, berturut-turut ia kena ditempeleng beberapa kali, mirip benar seperti dia menempeleng Jian Feng tadi, tapi tempelengan sekarang jauh lebih keras, kontan mulutnya penuh darah dan gigi pun rontok sebagian.


Pendekar Binal bagian 6

Keruan Hek Bian Kun mengerang kesakitan dan darah pun mengucur. Itulah darah yang jahat, darah berbau busuk, tapi darah yang berbau anyir itu membuat si perempuan merasa puas, puas karena berhasil membalas sakit hatinya.

Saking sakitnya Hek Bian Kun terus menonjok dengan kepalan dan kontan tubuh perempuan itu mencelat, menumbuk kereta dan jatuh terkapar tak sanggup bangun lagi. Walaupun begitu bagaimana rasa darah musuhnya sudah berhasil dicicipinya.

Kakak Feng,” dengan suara lemah ia berseru dengan terputus-putus, “Lekas larilah ... lekas, jangan ... jangan menghiraukan kami. Asalkan aku sudah mati, kedua kakak beradik Putri dari Istana Yi Hua tentu takkan ... takkan membuat susah padamu ….

Tidak, engkau takkan mati, adindaku!” teriak Jian Feng.

Ia berusaha menerjang maju lagi, ia tidak ambil pusing akan beraneka macam senjata musuh yang menghujani tubuhnya itu. Tubuhnya sudah terkoyak-koyak, darah daging berhamburan. Tapi dia masih terus berusaha menerjang maju. Namun sebelum tiba di depan sang istri ia sudah jatuh terguling.

Perempuan muda itu menjerit dan merangkak ke sini, Jian Feng juga berusaha merangkak ke sana. Tiada sesuatu yang mereka harapkan lagi kecuali mati bersama menjadi satu. Akhirnya tangan mereka saling bergenggam, keduanya tersenyum bahagia.

Akan tetapi mendadak sebelah kaki Hek Bian Kun lantas menginjak dengan kuat sehingga dua buah tangan terinjak hancur.

Kau ... kau sungguh keji!” teriak perempuan itu dengan histeris.

Hehehe, baru sekarang kau tahu kekejianku!” Hek Bian Kun menyeringai.

Akan kuberikan se … segalanya padamu,” ucap Jian Feng dengan kalap, “yang kuharap hanya biarkanlah kami mati bersama.

Huh, sudah terlambat baru sekarang kau berkata demikian,” ujar Hek Bian Kun dengan tertawa. “Hehe, kalian tentunya sangat gembira ketika tadi kalian menipu dan menempelengku. Sekarang akan kusaksikan kalian mati dengan perlahan, takkan kubiarkan kalian mati bersama.

Kenapa ... sebab apa?” tanya si perempuan. “Kami tiada ... tiada permusuhan apa pun dengan kalian.

Baiklah kukatakan padamu,” tutur Hek Bian Kun. “Soalnya aku sudah menyanggupi permintaan seseorang, dia minta aku bertindak jangan sampai membiarkan kalian mati bersama.

Siapa ... siapakah dia?” tanya Jian Feng.

Hehehe, kau pikir sendiri saja,” ujar Hek Bian Kun. dengan tertawa.

Pada saat itulah si baju kuning, dan si dada ayam, mendadak melompat maju dengan wajah yang kaku tanpa emosi itu. “Babat rumput harus sampai akar-akarnya, anak haram mereka juga tidak boleh dibiarkan hidup.”

Ya, benar!” tukas Hek Bian Kun.

Tanpa bicara lagi si baju kuning lantas angkat golok terus membacok jabang bayi yang tertinggal di dalam kereta. Jian Feng meraung kalap, tapi istrinya hanya melenggong, bersuara pun tidak sanggup. Keduanya sama-sama tak bisa berkutik.

Syukurlah pada detik yang menentukan itu, sewaktu golok itu menyambar ke bawah, tiba-tiba terdengar suara “krek” sekali, tahu-tahu golok itu patah menjadi dua.

Tidak kepalang kaget si baju kuning, cepat ia melompat mundur dan membentak, “Sia ... siapa?

Padahal selain begundalnya serta kedua orang yang sedang sekarat di tanah itu tiada terlihat bayangan seorang pun. Tapi mengapa goloknya yang tergembleng dari baja murni itu bisa patah tanpa sebab?

Pendekar Binal bagian 5

Sungguh Jian Feng tidak habis mengerti, tapi ia pun tidak mau memikirkannya lagi, wanita yang baru melahirkan itu sedang merintih, si jabang bayi sedang menangis, tapi di sekitar kereta ini berjajar kawanan bandit yang sudah biasa membunuh orang tanpa berkedip.

Secepat kilat Jian Feng menerjang maju, namun sinar golok lantas berkelebat, ia sudah diadang oleh si baju kuning, si dada ayam. Sepasang golok menyerupai sayap ayam tipis laksana kertas, tapi terbuat dari baja murni, tajamnya tidak kepalang, dalam sekejap saja tubuh Jian Feng sudah terkurung di tengah cahaya golok.

Jian Feng tidak gentar, sebaliknya malah menerjang, ia menyelinap kian kemari di tengah jaringan sinar golok lawan, secepat kilat ia sambar pergelangan tangan si baju kuning, sekali tarik dan puntir, sebuah golok musuh sudah dirampasnya. Menyusul sebelah kakinya menendang perut si baju kuning, sedangkan golok rampasan menebas ke belakang untuk menangkis serangan si jengger ayam, menyusul pula tubuhnya menerobos ke sana di bawah cakar ayam, sekaligus goloknya terus membacok Hek Bian Kun.

Beberapa gerak serangan itu dilakukannya dengan cepat, ganas, tepat dan berbahaya pula, senjata-senjata musuh hampir semuanya menyerempet lewat bajunya.

Meski Hek Bian Kun sempat mengelakkan bacokan Jian Feng, tidak urung ia pun kaget hingga berkeringat dingin, cepat ia balas menyerang sambil memperingatkan kawan-kawannya, “Awas, bocah ini sudah nekat!

Apabila seseorang sudah nekat, sepuluh orang pun repot menghadapinya. Hal ini cukup diketahui kawanan bandit itu. Maka mereka tidak berani menghadapi Jian Feng secara berhadapan, mereka terus menghindar kian kemari untuk mengulur waktu.

Serangan Jian Feng semakin kalap, tapi selalu mengenai tempat kosong. Hek Bian Kun terus menerus tertawa mengejek. Si baju kuning meski sudah kehilangan sebuah goloknya, tapi golok yang masih ada itu terkadang juga melancarkan serangan maut. Empat pasang taji ayam juga bekerja sama dengan rapat, serangannya gencar sukar diduga dan membuat Jian Feng mati kutu. Belum lagi si baju merah, si jengger ayam, ia menyelinap kian kemari dan mematuk dengan paruh baja yang lihai.

Rambut Jian Fengsudah semrawut, suaranya serak, demi membela jiwa kekasihnya, si mahacakap ini kini tampaknya sudah menyerupai binatang gila. Percuma dia bertempur mati-matian, singa yang sudah masuk perangkap, sekalipun mengadu jiwa juga sudah tiada gunanya.

Senja semakin remang, suasana semakin tegang. Pertarungan sengit ini sungguh menggetar sukma, juga mengerikan. Jian Feng sudah mandi darah bercampur keringat, imbalannya adalah tertawa ejek yang menggila dari pihak musuh.

Kakak Jian Feng, hati-hatilah ....” demikian terdengar rintihan dari dalam kereta. “Asalkan engkau sabar, mereka pasti bukan tandinganmu!

Mendadak Hek Bian Kun melompat ke sana, sekaligus ia tarik tirai kereta. Untuk sejenak ia melengak, tapi segera ia tertawa menyeringai, “Aha, besar juga rezeki anak keparat ini. Ternyata melahirkan kembar dua!

Minggir, bangsat!” teriak Jian Feng dengan suara parau.

Dengan kalap ia menerjang maju, tapi sekali sampluk ia tertolak mundur. Dengan nekat ia menubruk maju pula, kembali didesak mundur dan begitulah hingga terjadi beberapa kali dan tetap tidak berhasil tercapai maksudnya. Mata Kang Hong sudah merah beringas. Dalam pada itu sebelah kaki Hek Bian Kun sudah naik ke undakan kereta sambil cengar-cengir.

Bangsat!” teriak si wanita dengan suara serak sambil merangkul kencang kedua anak bayinya. “Kau ... kau berani ....

Hehehe!” Hek Bian Kun terkekeh-kekeh. “Manisku, jangan khawatir, takkan kuganggu kau. Hehe, nanti kalau kau sudah sehat, malahan aku ingin ... ingin ... hahaha ....

Bangsat,” teriak Jian Feng murka. “Jika kau berani menyentuhnya ....

Mendadak Hek Bian Kun mencolek pipi perempuan cantik yang baru melahirkan itu dan mendengus, “Hm, ini, sudah kusentuh dia, kau mau apa?

Jian Feng menggerung kalap dan menerjang pula, tapi karena cemasnya, permainan goloknya menjadi kacau, serentak senjata musuh yang beraneka ragam itu menghujani tubuhnya, pundak, dada, punggung, seketika terluka dan mengucurkan darah.

Hati-hati, kakak Feng!” Dengan suara gemetar si perempuan berpesan pula.

Hehe, kakak Feng-mu segera akan berubah menjadi setan?” ejek Hek Bian Kun dengan tertawa.

Dengan berlumuran darah Jian Feng berteriak kalap, “Biarpun menjadi setan takkan kuampuni kalian !

Suara teriakan kalap bercampur dengan suara gembira dan jeritan ngeri diseling pula tangisan bayi. Suasana yang menyayat hati itu sekalipun manusia berhati baja juga pasti akan luluh. Darah sudah memenuhi muka dan tubuh Jian Feng, keadaannya sudah payah. 

Mendadak perempuan dalam kereta berteriak histeris, “Biar kuadu jiwa denganmu!” Mendadak ia meninggalkan bayinya terus menubruk ke arah Hek Bian Kun, sepuluh jarinya terus mencengkeram leher lawan.

Akan tetapi sekali tangkis segera perempuan itu ditolak balik ke dalam kereta. Dengan terkekeh Hek Bian Kun berkata, “Hehehe, manisku, ke mana perginya kelihaianmu tadi?... Hehehe, perempuan, perempuan yang harus dikasihani, sebab apakah kalian harus melahirkan anak ....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong perempuan itu telah merangkulnya dengan nekat, mulutnya terus menggigit tenggorokan lawan.

Pendekar Binal bagian 4

Nah, apakah kalian kenal gerak tangan yang kugunakan ini?” tanya perempuan muda itu dengan tertawa sambil mengerling lawan-lawannya.

Dengan suara gemetar Hek Bian Kun berseru, “Ih Hoa Ciap Giok (mencangkok bunga menyambung kemala), setan malaikat sukar menandinginya ....

Jika sudah tahu, tentunya sekarang kalian percaya aku ini bukan barang tiruan,” ucap perempuan muda itu.

Ya, hamba ... hamba pantas mam ... mampus ... sungguh pantas mampus” segera Hek Bian Kun menampar muka sendiri hingga belasan kali, mukanya yang hitam mirip moncong babi seketika bertambah bengkak.

Ai, betapa pun aku harus berbuat bajik demi anakku,” kata perempuan muda itu dengan menghela napas. “Baiklah, kalian ... kalian boleh pergi.

Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, lari Hek-bian-kun dan begundalnya itu sekali ini terlebih cepat daripada tadi, hanya sekejap saja bayangan mereka pun sudah menghilang. Tapi di tengah remang-remang cuaca itu, bagai setan iblis saja, ada sesosok bayangan orang juga berkelebat di kejauhan, mengejar ke arah rombongan Hek Bian Kun.

Melihat musuh sudah menghilang, legalah hati Jian Feng, ia berpaling dan dengan gegetun berkata, “Untung kau turun tangan dan membuat jera mereka, kalau tidak ....” mendadak ia melihat air muka perempuan itu berubah, seperti menahan rasa sakit, tubuh gemetar dan dahi penuh keringat dingin. 

Cepat ia bertanya dengan khawatir, “Hei, kenapakah engkau?

Pe ... perutku sakit, agaknya jabang bayi dalam perut bergerak, mungkin ... mungkin akan ....

Jian Feng menjadi kelabakan. “Wah, bagaimana baiknya ini?” katanya dengan gelisah.

Lekas bawa keretamu ke tepi jalan, lekas ... lekas!” desis si perempuan dengan suara serak.

Dengan tergopoh-gopoh Jian Feng menghalau keretanya ke tengah semak rumput di tepi jalan, kuda meringkik, Jian Feng tiada hentinya mengusap keringat, akhirnya ia pun menyusup ke dalam kereta.

Sejenak kemudian, pintu kereta yang sudah hancur itu tertutup oleh kain baju. Terdengar suara keluhan terputus-putus di dalam kereta. “Kakak Jian Feng, sungguh aku takut ... takut sekali.

Tidak perlu takut, tabahkan hatimu ... sebentar lagi semuanya akan beres.

Tapi aku ... aku takut, kakak Jian Feng, peganglah ... peganglah tanganku, peganglah yang erat .... “

Ya, ya ... tanganku terasa lemas juga. Tabahlah, sabar ... sabar ....

Suara keluhan yang menahan rasa sakit itu berlangsung sekian lama, tiba-tiba dari dalam kereta tersiar suara tangis jabang bayi yang keras lantang.

Selang sejenak pula, terdengar seruan Jian Feng yang kegirangan, “Hei, anak kembar ... kembar dua ....

Lewat agak lama, dengan mandi keringat dan penuh rasa gembira Jian Feng menerobos keluar kereta. Tetapi ke mana tatapnya sampai, seketika ia melongok kaget. Ternyata rombongan Hek-bian-kun yang lari sipat kuping tadi kini sudah berdiri pula di depan kereta, dengan sorot mata yang dingin mereka mengawasi Jian Feng tanpa berkedip.

Sebisanya Jian Feng bersikap tenang, tapi tidak urung air mukanya berubah pucat, tanpa terasa ia berucap, “Ka ... kalian kembali lagi?!

Hehe, Tuan muda Jian terkejut ya?” si jengger ayam menyeringai ejek.

Apakah kalian ingin mampus?!” gertak Jian Feng.

Hahahaha! Ingin mampus? ....” Hek Bian Kun terbahak-bahak.

Memangnya kalian belum kapok terhadap kelihaian ilmu Siu Giok Kok, Istana Yi Hua?” bentak Jian Feng pula.

Hehe, Jian Feng, kukira kau tidak perlu berlagak pilon,” jengek Hek Bian Kun. 
Kita tahu sama tahu, yang dikehendaki kedua Putri dari Istana Yi Hua saat ini justru adalah jiwa kalian berdua dan bukanlah kami.

Keringat meleleh melalui hidung Jian Feng yang mancung itu terus merembes ke mulutnya, namun bibirnya terasa kering, ia menjilat bibir, lalu berkata dengan tertawa, “Haha, kukira kalian sudah gila, masakah kedua putri dari Istana Bunga menginginkan jiwaku? .... aha, apakah kau tahu siapa yang berada di dalam kereta ini?

Huh, siapa yang berada di dalam kereta? Memangnya kau sangka aku tidak tahu? Dia tidak lebih adalah budak pelarian dari Istana Yi Hua , memangnya kau ingin menggertak kami?” demikian jengek si jengger ayam.

Tergetar hati Jian Feng, walaupun ia berusaha tetap tertawa, namun lebih tepat dikatakan menyengir.

Hek Bian Kun terkekeh-kekeh, katanya, “Tuan muda Jian Feng terkejut lagi bukan? Mungkin kau ingin tanya dari mana kami tahu urusan ini? Hehe, inilah rahasia besar, betapa pun kau tak dapat menerka dan juga tidak pernah membayangkannya.

Ya, memang betul inilah rahasia, rahasia besar. Bahwasanya Jian Feng sengaja kabur meninggalkan rumahnya justru disebabkan ingin menghindari pengejaran kedua Kiongcu (putri) dari Ih Hoa Kiong (Istana Yi Hua).Rahasia ini boleh dikatakan tidak diketahui oleh siapa pun kecuali dia sendiri dan istrinya, tapi sekarang orang-orang dari Bandit 12 Shio ini justru mengetahui juga. Dari manakah mereka mendapat tahu?

Pendekar Binal bagian 3

Sementara itu Hek Bian Kun telah melangkah ke sana dengan gedebak-gedebuk dan segera hendak menarik pintu kereta. Pada saat itulah mendadak jendela kereta terbuka sedikit dan terjulurlah sebuah tangan yang putih halus, di antara jari jemari yang putih mulus tanpa cacat itu terjepit setangkai bunga Bwe (sakura). Bukan bunga Bwe sembarang bunga Bwe tapi bunga Bwe hitam.

Sungguh aneh bin ajaib ada bunga Bwe mekar di musim panas, apalagi bunga Bwe warna hitam. Tangan yang putih, bunga Bwe yang hitam, sungguh perbedaan yang mencolok dan keindahan yang gaib dan sukar dilukiskan.

Berbareng dengan terulurnya tangan dengan bunga Bwe hitam itu, terdengar pula ucapan dengan nada yang manis, “Coba kalian lihat, apakah ini?

Serentak muka Hek Bian Kun berkerut-kerut mengejang, tangannya yang hendak menarik daun pintu kereta itu pun mendadak tak bergerak lagi. Senjata paruh ayam dan taji ayam juga berhenti di tengah udara. Keenam bandit yang terkenal ganas itu mendadak seperti kena sihir, semuanya melongo kaku tak berani bergerak.

Siu Giok Kok, Ih Hoa Kiong!” hanya kedua kalimat ini tercetus dari mulut Hek Bian Kun dengan tergegap-gegap.

Eh, tajam juga pandanganmu,” ujar orang di dalam kereta.

Cayhe ... hamba ....” gigi Hek Bian Kun gemertuk sehingga tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Kalian ingin mampus atau tidak?” tanya orang di dalam kereta dengan suara halus.

Dengan gemetar Hek Bian Kun menjawab, “Hamba ... hamba tidak ....”

Kalau tidak ingin mampus, kenapa tidak lekas pergi!

Baru habis ucapan ini, tanpa pamit lagi si merah, si kuning, si belorok dan si hitam, semuanya kabur secepat terbang. Langkah Hek Bian Kun sekarang tidak lamban lagi, napasnya juga tidak kempas-kempis, meski gemuk luar biasa tubuhnya, tapi kecepatan langkahnya kini melebihi siapa pun. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tiada yang percaya orang segemuk itu mempunyai gerak langkah sedemikian cepat dan gesit.

Kang Hong lantas mendekati jendela kereta dan bertanya dengan nada khawatir, “Engkau tidak ... tidak apa-apa bukan?

Ah tidak, aku hanya memberi salam saja kepada mereka,” ujar perempuan di dalam kereta dengan tertawa.

Kang Hong menghela napas lega, katanya pula, “Sungguh tak terduga engkau telah membawa setangkai Hek Giok Bwe Hoa (bunga Bwe kemala hitam) dari istana sana, tidak nyana bandit yang jahat seperti Cap Ji She Shio juga begitu takut pada mereka.

Ya, dari itu dapatlah kau bayangkan betapa lihainya mereka,” kata orang dalam kereta

Maka lekas kita berangkat saja, kalau ….

Tiba-tiba terdengar angin berkesiur, orang-orang yang kabur tadi kini sudah datang kembali, bahkan datangnya terlebih cepat daripada perginya tadi.

Hehehe, hampir saja kami tertipu,” demikianlah Hek Bian Kun terkekeh-kekeh.

Apakah kalian tidak takut mati?” gertak Kang Hong, tapi dalam hati, sebenarnya sangat khawatir.

Hehehe, jika yang berada di dalam kereta benar-benar orang dari Istana Yi Hua, mustahil tadi kami dapat kabur dengan hidup!” kata Hek Bian Kun,
 “Memangnya pernah kau dengar bahwa Putri dari Istana Yi Hua suka mengampuni jiwa orang?

Tiba-tiba orang di dalam kereta menukas, “Sudah kuampuni kalian, mengapa kalian malah ….

Barang tiruan, ayolah keluar sini!” bentak Hek Bian Kun, mendadak ia melompat maju, sekali hantam, pintu kereta ditonjoknya hingga ambrol.

Yang duduk dalam kereta memang seorang perempuan, perempuan muda dengan rambut kusut dan wajah pucat seperti orang sakit, walaupun demikian sama sekali tidak mengurangi cantiknya yang mempesona.

Sebenarnya sepasang mata perempuan ini juga tidak begitu jeli, hidungnya juga tidak terlalu mancung, mulutnya juga tidak sangat mungil, namun gabungan dari mata hidung mulut dengan raut mukanya itu sedemikian serasinya sehingga setiap orang yang memandangnya pasti ingin memandang untuk seterusnya, terutama sorot matanya yang penuh mengandung perasaan, pengertian dan kecerdasan yang sukar diukur. Di luar dari semua itu, ternyata perut perempuan itu membuncit besar, kiranya sedang hamil tua.

Melihat itu, melengak juga Hek-bian-kun, tapi segera ia tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hahaha! Kiranya seorang perempuan bunting, berani lagi mengaku orang Istana Yi Hua ....

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong perempuan bunting itu melayang keluar, belum lagi Hek Bian Kun menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu ia sudah kena ditempeleng beberapa kali.

Setelah melayang kembali ke tempat duduknya, perempuan muda itu bertanya dengan tersenyum, “Memangnya kenapa kalau perempuan bunting?

Hm, main sergap, terhitung apa?” teriak Hek Bian Kun dengan geram dan penasaran, segera ia menghantam pula. Meski tubuhnya gemuk seperti gajah bengkak, tapi pukulannya ini sungguh cepat, keras lagi ganas.

Namun perempuan muda itu tetap mengulum senyum, tangannya yang halus itu menyampuk perlahan, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pukulan Hek Bian Kun itu tertolak kembali dan “blang”, dengan tepat menghantam pada pundak sendiri.

Dengan jelas Hek Bian Kun melihat kepalan sendiri menghantam pundak sendiri, tapi ia justru tidak mampu mengerem dan juga tidak dapat menghindar. Betapa hebat tenaga Hek Bian Kun dapat dibayangkan ketika sekali tonjok menghancurkan pintu kereta tadi, maka pukulan yang mengenai pundak sendiri ini membuatnya mengerang kesakitan dan jatuh terkapar.

Kawan-kawannya, yaitu si jengger dan si ekor ayam sebenarnya juga sudah bersiap-siap ingin menerjang maju, tapi mereka jadi melongo menyaksikan kawan gemuk mereka itu terjungkal dan karena itu mereka pun tidak berani bergerak lagi.

Pendekar Binal bagian 2

Air muka Jian Feng berubah pula, katanya, “Tampaknya mereka sudah datang!

Hahahaha! Memang benar, kami sudah datang!” mendadak terdengar orang bergelak tertawa di balik kereta sana.

Suara tertawa itu pun seperti ayam berkotek, tajam, bising, menusuk telinga. Selama hidup Jian Feng belum pernah mendengar suara tertawa yang begitu aneh.

Dengan terkejut ia berpaling dan membentak tertahan, “Siapa itu?

Begitu lenyap suara tertawa bagai ayam berkotek itu, dari belakang kereta lantas muncul enam-tujuh orang. Orang pertama bertubuh kurus kering, tingginya lebih lima kaki, bajunya berwarna merah membara sehingga tampak sangat mencolok, tidak serasi dan agak aneh.

Orang kedua bertubuh jangkung, tingginya lebih dua meter, baju kuning dan kopiah kuning, muka penuh benjolan daging lebih dan tanpa emosi. Menyusul adalah empat orang dengan dandanan yang lebih aneh, pakaian mereka terbuat dari potongan-potongan kain yang berwarna-warni sehingga mirip baju pengemis seperti di panggung sandiwara. Wajah dan perawakan keempat orang ini tidak sama, tapi tampak bengis dan tangkas, gerak-gerik pun seragam mirip orang berbaris.

Agak jauh di belakang sana, mengikut pula seorang gemuk, begitu gemuk sehingga kulit daging bagian pipi dan perut seakan-akan kedodoran bergelantungan, berat badan keenam orang di depannya digabung seluruhnya mungkin juga tidak lebih berat daripada bobot si gemuk. Saking gemuknya sehingga jalannya kepayahan, kakinya seperti tidak sanggup menahan tubuh sendiri yang gede dan tambun itu, setiap langkah membuatnya terengah-engah.

Wah, panasnya, bisa mampus aku!” demikian tiada hentinya si gemuk mengeluh dengan megap-megap dan bermandi keringat.

Kang Hong melompat turun dari keretanya, sebisanya ia bersikap tenang dan menegur, “Apakah yang datang ini Su-sin-khek (si tamu penjaga subuh) dan Hek-bian-kun (tuan muka hitam) dari Cap-ji-she-shio adanya?

Si baju merah tadi terkekeh-kekeh, jawabnya, “Tajam juga pandangan Tuan muda Jian Feng. Cuma kami ini sesungguhnya hanya seekor ayam dan seekor babi saja, sebutan Su-sin-khek dan Hek-bian-kun yang sedap ini adalah hadiah teman-teman Kangouw, kami sendiri mana berani menerimanya.

Dengan sorot mata tajam Jian Feng berkata, “O, tentunya saudara ini ialah ….

Yang merah adalah jengger, yang kuning adalah dada dan yang belorok adalah ekor,” potong si baju merah dengan tertawa. “Mengenai kawan paling belakang itu, silakan kau menilai sendiri. Bentuknya mirip apa, maka itulah dia.

Entah ada petunjuk apakah dari kalian?” tanya Jian Feng.

Konon Jian-kongcu (Tuan muda Jian) mendapatkan pacar baru, kami bersaudara jadi ingin tahu macam apakah si dara cantik yang dapat memikat hati pangeran kita mahacakap ini,” jawab si baju merah alias jengger jago. 

Selain itu kami bersaudara juga ingin memohon sesuatu benda padamu.”

Benda apakah yang kalian kehendaki?” tanya Jian Feng.

Si jengger ayam bergelak tertawa, jawabnya, “Benda yang dapat menarik perhatian saudara gemuk kami sehingga dia memburu ke sini tanpa menghiraukan panas terik matahari, kukira pastilah bukan benda sembarang benda.

Tepat pada saat itu si gemuk tadi alias Hek Bian Kun sudah mendekat dengan napas terengah-hengah dan menyambung dengan cengar-cengir, “Benar, kalau bukan benda bagus, kan lebih enak kucari angin dan tidur di rumah saja.

Diam-diam hati Jian Feng tergetar, tapi sikapnya tetap tenang, katanya dengan suara berat, “Cuma sayang perjalananku ini tergesa-gesa sehingga tidak membawa suatu benda berharga apa pun yang dapat menarik minat para ahli seperti kalian ini.

Hehehe!” si jengger terkekeh-kekeh.

Kabarnya mendadak Jian-kongcu telah menjual seluruh harta benda dan meringkaskannya menjadi sekantong mutiara mestika dan batu manikam ... hehe, rasanya Jian-kongcu juga tahu kami Cap-ji-she-shio biasanya tidak pernah pulang dengan tangan hampa, maka demi persahabatan, sudilah Jian-kongcu menghadiahkan kami sekantong ratna mutu manikam itu.

Haha, bagus, bagus!” Jian Feng juga tertawa. “Ternyata kalian tahu sejelas itu. Ya, aku pun tahu Cap-ji-she-shio biasanya tidak suka sembarangan turun tangan, dan sekali turun tangan tidak pernah pulang dengan tangan hampa, akan tetapi ....

Akan tetapi apa?” tukas si jengger merah. “Kau menolak?

Hehe, aku sih tidak menolak, hanya ….” belum habis Jian Feng menjengek, tahu-tahu bayangan berkelebat, ia sudah menubruk maju.

Jengger ayam itu pun tidak kalah gesitnya, dalam sekejap itu tangannya sudah memegang semacam senjata berbentuk aneh, mirip paruh ayam dan serupa ganco. Secepat kilat ia menyerang, hanya sekejap saja ia melancarkan tujuh-delapan kali serangan dengan gaya yang aneh seperti ayam jantan mematuk dan menyerang dengan jalu atau taji, semuanya mengincar Hiat-to (titik urat darah) mematikan di tubuh Jian Feng.

Agak repot juga Jian Feng, mendadak ia loncat ke atas sehingga serangan maut itu dapat dielakkan. Tapi pada saat itu empat pasang “taji” ayam sudah menanti pula di bawah. 

Nyata, sekali jengger ayam bergerak, serentak keempat orang berbaju warna-warni yang merupakan ekor ayam juga menubruk maju, empat pasang taji ayam juga merupakan senjata yang jarang terlihat di dunia Kangouw, sekali paruh ayam mematuk, serentak taji ayam juga menyerang, kerja sama mereka sangat rapat sehingga mirip seorang dengan bertangan banyak.

Memangnya Jian Feng sudah kewalahan, apalagi menghadapi serangan yang aneh ini, belum lagi si baju kuning yang merupakan dada mentok ayam itu masih mengawasi disamping dan sedang menunggu peluang untuk ikut menyerang.

Hehehe!” Hek Bian Kun, si babi hitam, terkekeh-kekeh.

 “Ayolah saudara-saudara, tambah gas sedikit, supaya lebih kencang. Kita bukan perempuan, tidak perlu mendambakan kasih sayang anak cakap ini, Eh, permisi sebentar saudara-saudara, biar kutengok dulu si cantik di dalam kereta itu.

Berhenti!” bentak Jian Feng dengan murka. Maksudnya ingin mencegah, akan tetapi tak berdaya sebab ia direpotkan oleh berbagai macam senjata aneh lawan-lawannya.

Pendekar Binal bagian 1

Jian Feng, setiap orang yang bertelinga di dunia Kangouw (persilatan) niscaya pernah mendengar nama “si mahacakap” ini, begitu pula nama Yan Nan Tian, si jago pedang nomor satu di dunia persilatan. Setiap insan persilatan yang bermata,  tentu juga berhasrat melihat wajah Jian Feng yang sangat tampan serta ingin menyaksikan ilmu pedang milik Yan Nan Tian, yang tiada bandingannya di kolong langit ini.

Setiap orang pun tahu bahwa tiada seorang gadis di dunia ini yang sanggup menahan senyuman Jian Feng dan juga tiada jago silat yang mampu melawan pedang sakti Yan Nan Tian. Semua orang percaya bahwa pedang Yan Nan Tian sanggup mencabut nyawa seorang panglima di tengah-tengah pasukannya dan dapat membelah seutas rambut menjadi dua, sedangkan senyuman Jian Feng mampu menghancurluluhkan hati setiap orang perempuan.

Akan tetapi pada saat itulah lelaki yang paling cakap di dunia ini justru sedang lari terbirit-birit demi seorang perempuan. Dengan pakaian yang sederhana dan kumal Jian Feng sedang mengendarai sebuah kereta kuda rongsokan dan menyusuri sebuah jalan yang sudah lama telantar dan tidak terinjak kaki manusia. Dalam keadaan demikian, siapa pun takkan percaya bahwa dia inilah Jian Feng, si mahacakap, si rupawan yang romantis dan menggiurkan hati setiap gadis itu.

Panas terik sinar sang surya dalam bulan ketujuh, menyengat kulit. Waktu itu sudah dekat senja, namun manusia dan kudanya masih kegerahan oleh hawa yang panas itu. Jian Feng ternyata tidak menghiraukan badannya yang sudah basah kuyup air keringat, ia masih terus mencambuki kudanya agar berlari terlebih kencang.

Suasana sunyi senyap, hanya terdengar berdetaknya kuda lari dan gemertuk roda kereta diselingi menggeletarnya cambuk. Tiba-tiba suara ayam berkokok memecah kesepian. Sungguh aneh, dari mana datangnya ayam berkokok di jalan telantar menjelang senja ini?

Berubah air muka Jian Feng, sorot matanya yang tajam memancar jauh ke depan sana, terlihat seekor ayam jantan besar menongkrong di atas dahan pohon reyot di tepi jalan tanpa bergerak sedikit pun. Jenggernya yang merah indah kereng serta bulunya yang beraneka warna itu tampak berkilau-kilau. Mata ayam jantan itu pun seakan-akan memancarkan sinar yang jahat dan mengerikan. Muka Jian Feng bertambah pucat, mendadak ia menarik tali kendalinya. Kuda itu meringkik panjang dan kereta pun berhenti.

Ada apa?” tanya sebuah suara lembut dan manis dari dalam kereta.

Jian Feng ragu-ragu sejenak, jawabnya kemudian dengan menyeringai, “Ah, tidak apa-apa, tampaknya kita kesasar.” Segera ia memutar balik keretanya dan dikaburkan ke arah datangnya tadi. 

Terdengar ayam jantan berkokok pula seakan-akan lagi mengejeknya. Dengan gelisah Jian Feng mencambuk kudanya sehingga berlari lebih cepat. Akan tetapi, belum lagi seberapa jauh, sekonyong-konyong ia menghentikan keretanya, sebab di tengah jalan melintang sesosok tubuh gemuk besar. Bukan tubuh manusia melainkan tubuh babi raksasa. Sungguh aneh, dari mana datangnya babi sebesar ini di jalan telantar dan lama tak terinjak manusia ini? Padahal baru saja keretanya lalu di sini tanpa kelihatan secuil daging babi, tapi sekarang seekor babi besar, benar-benar seekor bulat, melintang di situ.

Engkau kesasar lagi bukan?” terdengar pula suara lembut tadi dari dalam kereta yang jendelanya dan pintunya tertutup rapat itu.

Aku ... aku ....” Jian Feng tergegap dengan butiran keringat memenuhi dahinya.

Untuk apa kau dustaiku?” ujar suara lembut manis itu dengan menghela napas perlahan.
Sudah sejak tadi kutahu.

Kau tahu?” Jian Feng menegas dengan tersipu-sipu.

Ketika mendengar kokok ayam tadi, sudah kuduga pasti orang ‘Cap-ji-she-shio’ hendak merecoki kita. Supaya aku tidak khawatir, maka kau dustai aku, betul tidak?

Sungguh aneh,” kata Jian Feng dengan gegetun. “Padahal perjalanan kita ini sedemikian rahasia, mengapa mereka bisa tahu? ... Tapi ... tapi engkau jangan khawatir, urusan apa pun akan kuhadapi.

Kau salah lagi,” kata orang di dalam kereta dengan suara halus, “sejak hari itu aku sudah ... sudah bertekad sehidup semati denganmu, bahaya apa pun yang akan terjadi juga harus kita hadapi bersama.

Tapi keadaanmu sekarang ....

Tidak menjadi soal, aku merasa baik-baik saja.”

Baiklah, dapatkah engkau turun dan berjalan? Kedua arah jalan ini sudah diberi tanda peringatan, tampaknya terpaksa kita harus meninggalkan kereta dan menyusuri ladang belukar ....
Mengapa kita harus meninggalkan kereta ini?” ujar orang dalam kereta. “Kalau mereka sudah berhasil membayangi kita dan sulit meloloskan diri, biarlah kita tunggu saja di sini. Meski nama Cap-ji-she-shio terkenal kejam, kita juga tidak perlu gentar terhadap mereka.

Aku hanya khawatir ... khawatirkan engkau ….” Jian Feng ragu-ragu. 

Ia tahu kemampuan sang kekasih, tapi ia pun tahu siapa “Cap-ji-she-shio”, yakni ke-12 lambang kelahiran yang digunakan sebagai nama julukan oleh 12 gembong penjahat yang akhir-akhir ini terkenal sangat kejam dan ganas di dunia Kangouw. Dari ke-12 lambang kelahiran itu (tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam jago, anjing dan babi) tampaknya yang baru muncul adalah si ayam jago dan babi.

Begitulah orang dalam kereta berkata pula dengan tertawa, “Jangan khawatir, tidak menjadi soal bagiku.

Tiba-tiba wajah Jian Feng juga menampilkan senyuman mesra, katanya perlahan, “Dapat bertemu dengan dirimu, sungguh sangat beruntung bagiku.

Yang benar-benar beruntung adalah diriku,” ujar orang dalam kereta dengan tertawa merdu.

Kutahu, di dunia Kangouw ini entah betapa banyak anak perempuan yang mengagumi diriku bahkan iri padaku, sebab mereka ….

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong kuda meringkik dan berjingkrak. Angin senja meniup silir-semilir, tapi binatang ini merasakan adanya petanda buruk. Babi yang menggeletak di tengah jalan tadi mendadak membalik tubuh, kokok ayam terdengar pula di kejauhan, cuaca senja berubah menjadi suram seakan-akan tercekam oleh suasana yang sunyi dan rawan.