Pendekar Binal bagian 30

Kun Lun Shan, barisan pegunungan terpanjang dan terbesar di Tiongkok, terbagi tiga cabang: utara, tengah dan selatan. Tiga cabang bukit barisan ini berpangkal dari dataran tinggi Pamir di pegunungan Himalaya dan membentang ke timur hingga hampir meratai seluruh negeri Tiongkok. 

Kun Lun Shan atau pegunungan Kun Lun yang dimaksudkan di sini adalah pegunungan sumber aliran ilmu silat yang termasyhur yang terletak di hulu sungai He, di propinsi Cinghay. Di antara puncak gunung yang berderet-deret itu berdiri tegak Puncak Naga Giok. Meski sekarang masih musim panas, namun di kaki Puncak Naga Giok sudah terasa seperti di musim dingin, angin meniup keras dan kabut tebal membungkus pegunungan yang lembab itu. 

Akhirnya Yan Nan Tian tiba juga di kaki Puncak Naga Giok itu, orangnya kelihatan pucat kurus, kudanya juga kelelahan, bahkan roda keretanya seakan-akan juga sukar menggelinding lagi. Bayangan raksasa pegunungan dengan berat menindihi kereta kuda itu. Tangan kiri Yan Nan Tian memegang tali kendali dan tangan kanan memondong bayi, bau harum menusuk hidung yang tersiar dari dalam kereta membuatnya hampir muntah. Tapi bayi itu sedang tidur dengan lelapnya, anak sekecil itu rupanya sudah terbiasa oleh siksa derita dalam pengembaraan.

 Dengan penuh kasih sayang tak terbatas Yan Nan Tian memandangi wajah kecil itu, tiba-tiba ia mengulum senyum dan bergumam, “Nak, sepanjang jalan ini tidak sedikit kau minum susu orang. sampai di sini kau disusui orang secara berganti-ganti, di dunia ini selain dirimu rasanya tiada anak lain yang ....” sampai di sini mendadak ucapannya terhenti, tubuhnya juga mendadak mengapung ke atas. 

Saat tubuhnya mengapung ke udara itulah segera terdengar pula suara “tek-tak-tok” belasan kali, belasan jenis senjata rahasia dari berbagai ukuran sama menancap di tempat yang didudukinya tadi. Sungguh berbahaya. Apabila dia terlambat mengapung sedetik saja, tentu tubuhnya sudah bertambah belasan lubang. Setelah berjumpalitan di udara, tangan kirinya, meraih pelana kuda, segera orangnya menyusup ke bawah perut kuda, ia tidak takut dirinya sendiri terluka, tapi menguatirkan keselamatan bayi dalam pelukannya itu.

Gerakannya itu sungguh cepat dan gesit luar biasa, mau tak mau membuat si penyergap berseru memuji, “Kepandaian hebat!” 

“Main sergap, bangsat?” bentak Yan Nan Tian. 

Belum lenyap suaranya, kembali kuda tadi meringkik kaget dan berdiri menegak, badan kuda segera menyemburkan belasan pancuran darah segar. Tanpa pikir lagi telapak tangan Yan Nan Tian lantas menghantam, “blang-blang”, kayu kereta yang mengapit kuda patah dan kuda yang terluka itu meloncat ke depan. Menyusul Yan Nan Tian menghantam pula sekerasnya, “blang”, dinding kereta berlubang besar, selagi kuda tadi meringkik panjang, bayi di tangan kirinya itu telah dimasukkan ke dalam kereta melalui lubang yang dibobolnya tadi. 

Sementara itu berpuluh bintik-bintik perak telah menghujani pula. Secepat kilat Yan Nan Tian menjulang tinggi lagi ke atas, terdengar suara mendenging menyambar lewat di bawah kakinya. Dalam keadaan gawat begitu, kalau sedikit lena saja, sekalipun Yan Nan Tian sendiri selamat, bayi dalam pondongannya pasti akan menjadi korban. Andaikan bayinya tidak tewas, tentu kereta itu juga akan ditarik kuda yang terluka itu dan menggilasnya.

Begitulah selagi tubuh Yan Nan Tian masih terapung di udara, tiba-tiba ia sudah dikerubut oleh beberapa jalur sinar pedang. Begitu ketat jaringan pedang itu mengurungnya, tampaknya sukar baginya untuk mengelakkan diri, andaikan dapat menghindarkan serangan pedang ini tentu juga tak terluput oleh tebasan pedang yang lain. Siapa duga, selagi badan terapung di udara itulah, sekuatnya ia pentang kedua tangan, mendadak tubuhnya mengapung lebih tinggi lagi beberapa meter sehingga semua serangan pedang menyambar lewat di bawah kakinya. 

Terdengar suara “trang-tring” yang ramai, serangan beberapa pedang itu tak sempat menahan diri sehingga saling bentur sendiri. Tapi sekali saling gebrak, lalu berhenti, tujuh atau delapan orang sama melompat mundur. 

Di bawah cuaca remang-remang tertampak si antara mereka itu ada empat orang berdandan sebagai Taojin (pendeta agama Tao). Sementara itu Yan Nan Tian sempat menancapkan kakinya di atas kereta, habis itu secepat kilat ia meluncur ke depan, kedua telapak tangan terus menghantam batok kepala seorang Taojin berjubah biru paling depan. Karena merasa dirinya diserang secara keji, maka serangan balasannya sekarang juga tanpa kenal ampun. Betapa hebat pukulan Yan Nan Tian ini sungguh luar biasa. Tentu saja si jubah biru terkejut oleh sambaran angin pukulan yang mahadahsyat itu, ia tergetar mundur dan sebisanya pedang terus menebas. 

Taojin ini bukan sembarangan Taojin, jurus pedangnya ini hasil latihan berpuluh tahun lamanya, ia yakin seumpama pedangnya tidak dapat melukai musuh, sedikitnya cukup untuk membela diri. Tak terduga, belum habis sama sekali pedangnya ditebaskan, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kencang, pedang sudah berpindah ke tangan lawan. Sungguh Taojin yang hebat, menghadapi bahaya ia tidak menjadi bingung dan sempat menyelinap lewat di bawah angin pukulan Yan Nan Tian. 

Melihat ketangkasan lawan, tanpa terasa Yan Nan Tian juga berseru memuji, “Bagus!” Berbareng dengan seruannya itu, pedang rampasannya lantas menyabet lawan yang berada di sampingnya. 

Yan Nan Tian berjuluk “Si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia”, maka dapat dibayangkan betapa lihai serangannya. Di tengah guncangan angin senjata, sayup-sayup membawa serta suara gemuruh. 

No comments:

Post a Comment