Pendekar Binal bagian 15

Sebuah jalan batu yang tersapu bersih dengan beberapa rumah yang resik dan sederhana, wajah penghuni rumah-rumah itu pada umumnya tampak ramah dan baik-baik. Inilah sebuah kota kecil, sangat kecil. Sinar sang surya memancari jalan satu-satunya di kota kecil ini, sebuah panji kain hijau lusuh tampak terpancang pada satu-satunya kedai arak dengan tulisan “Tai Bai” atau kedai Lai Tai Bai (penyair termasyhur pada jaman Tang dan terkenal gemar minum arak). 

Sudah biasa kedai kecil ini sepi melulu, si pelayan malahan sedang mengantuk dengan mendekap di atas meja. Memang ada juga tamunya, di meja sebelah sana duduk sendirian seorang tamu. Tapi si pelayan malas melayani tamu demikian ini. Sudah beberapa hari tamu ini selalu datang minum arak, tapi selain minta satu poci arak murahan, nyamikan atau makanan kecil  saja tidak mau keluarkan sepeser lebih, apalagi makanan yang lezat-lezat. 

Maklumlah, tamu ini sesungguhnya terlalu miskin, begitu miskin sehingga sepatu rumput butut yang dipakainya itu sudah hampir bolong seluruhnya. Namun dia sama sekali tidak merasa rendah harga diri, dia duduk bersandar dinding sambil berlipat kaki dan menikmati araknya, tubuhnya yang kekar itu laksana harimau kumbang yang kemalas-malasan. 

Poci arak di depannya sementara itu sudah kosong, tampaknya orang itu pun sudah mabuk, cahaya matahari yang menyorot dari luar jendela itu menyinari wajahnya yang kelihatan kepucat-pucatan dengan jenggot yang pendek, kedua alisnya yang tebal dengan tulang pipinya yang menonjol itu tampak menambah angkernya. Dengan sebelah telapak tangannya yang kurus tapi lebar itu dia menutupi mukanya, tangan yang lain memegang sebatang pedang karatan, akhirnya dia mendengkur, tertidur. 

Waktu itu baru lewat tengah hari, kota kecil yang sunyi itu tiba-tiba menjadi riuh oleh berdetaknya kaki kuda lari, beberapa penunggang kuda tampak datang dan berhenti di depan kedai arak itu. Beberapa lelaki kekar dengan baju sutera serentak melompat turun dan masuk kedai arak itu sehingga kedai sekecil itu seketika seakan-akan menjadi penuh sesak. Pinggang laki-laki paling depan bergantung pedang, sikapnya berseri-seri seperti orang baru mendapat rezeki sehingga lubang-lubang pada mukanya yang burik pun seakan-akan bercahaya. 

Begitu dia melangkah masuk kedai, serentak dia bergelak tertawa dan berolokolok, “Hahaha, kedai butut begini juga pakai nama Tai Bai.”

Lelaki di belakangnya bermuka bulat dengan perut buncit, juga membawa pedang, potongannya lebih mirip saudagar dari pada jago kungfu. Dengan tertawa ia menanggapi ucapan kawannya tadi, “Saudara Lei, engkau salah. Meski syair Li Tai Bai bernilai tinggi, tapi dia tetap miskin dan cocok bertempat tinggal di kedai buruk begini.”

Lalu ia berteriak-teriak memanggil pelayan, “Hai, pelayan, bawakan arak dan makanan paling lezat, cepat!”

Setelah menenggak arak, senda-gurau beberapa orang itu semakin riuh seakan-akan anggap dunia ini mereka punya dan menyepelekan orang lain.

Keruan lelaki kekar yang mengantuk di pojok sana berkerut kening, mendadak ia duduk menegak sambil mengulet kemalas-malasan dan bergumam, “Wah, bau busuk, dari mana datangnya bau busuk ini ....” sekonyong-konyong ia pun menggebrak meja dan berteriak, “Pelayan, tambahkan araknya!”

Suaranya yang menggelegar itu membikin beberapa orang yang baru datang itu berjingkat kaget. Orang yang dipanggil “Lei” tadi tampak marah dan berdiri hendak mencari perkara, tapi seorang kawannya yang kurus kecil cepat mencegahnya dan membisikkannya, “Sabar dulu, Ketua sudah hampir tiba, buat apa kita mencari gara-gara.” 

Lei  mendengus dan duduk kembali, setelah menenggak araknya, lalu berkata pula, “Hei, Adik Sun, apakah betul tempat ini yang dimaksud oleh ketua, kau tidak salah dengar?”

 “Tanggung tidak salah, “jawab Saudara Sun, si kurus kecil tadi. “Kakak Kedua Qian sendiri juga dengar.”

Si lelaki muka bulat menukas, “Ya, benar, memang tempat ini yang dimaksudkan. Konon beliau ingin menemui seorang ksatria besar, maka kita disuruh membawa kadonya menunggu
di sini.”

 “Apakah kau tahu siapa yang hendak ditemui ketua kita?” tanya Kakak Lei. 

 “Sudah tentu kutahu, “ujar orang yang disebut Kakak Kedua tadi, lalu dengan suara tertahan ia menyebut nama seseorang. 

 “Hah! Jadi dia yang dimaksudkan? Masakah beliau sudi datang ke tempat kecil ini?” “Jika beliau tidak sudi datang, buat apa ketua datang ke sini.” 

Sikap beberapa orang itu lantas prihatin demi mengetahui siapa yang hendak ditemui pemimpin mereka, walaupun masih tetap berkelakar, tapi suaranya tidak berani lagi keras. Lalu mereka pun bicara mengenai ksatria besar yang dimaksudkan itu, konon pedang sakti ksatria besar itu dapat memotong besi seperti merajang sayur, di malam hari bercahaya seperti sinar lampu.

  “Memang, kalau saja tiada pedang sehebat itu mana mungkin hanya sekejap saja kepala kawanan Iblis dari Yinshan (Gunung Yin)  itu terpenggal seluruhnya?” 

“Ya, bukan saja ilmu pedangnya maha sakti, bahkan ilmu peringan tubuhnya juga hebat. Nah, bayangkan, betapa tingginya tembok benteng kota Beijing, dengan sekali loncat beliau sanggup melintasinya.” 

“Benarkah itu?” si Kakak Lei melelet-lelet lidah. 

“Mengapa tidak benar?” ujar Kakak Kedua Qian. 

“Konon, petangnya, dia habis minum di kota Beijing, tapi sebelum fajar dia sudah berada di Yinshan, kawanan Iblis Yinshan baru melihat berkelebatnya sinar pedang dan kepala mereka pun terpenggal satu per satu .... Hei..., konon sinar pedangnya terlihat hingga ratusan li jauhnya, sungguh luar biasa!”

No comments:

Post a Comment