Pendekar Binal bagian 17

“Ketua ….” demikian beramai-ramai Qian dan lainnya memberi hormat kepada orang pendek kecil itu, lalu mereka pun menceritakan apa yang baru saja terjadi tentang jual beli pedang pusaka itu.

 “Hah! Betulkah terjadi begitu?” ujar ketua itu dengan tertawa, “Wah, jika begitu Saudara Lei harus diberi selamat!” 

Dengan tertawa bangga Lei menjawab, “O, terima kasih Ketua Shen, ini hanya kejadian secara kebetulan saja,” 

Dasar manusia rendah, baru sedikit mendapat “angin” lantas kepala besar, sebutan “ketua” kepada pemimpinnya mendadak berganti jadi sebutan “Shen keke” (Kakak Shen) saja. Namun Ketua Shen itu agaknya tidak menaruh perhatian atas perubahan sikap Lei itu, dengan tertawa dia berkata pula, “Terus terang senjata pusaka setajam itu aku pun belum pernah melihatnya. Kalau tidak keberatan, apakah boleh Saudara Lei mendemonstrasikannya untuk menambah pengalamanku.”

 “Haha, boleh saja,” Lei bergelak tertawa. “Boleh saja Kakak Shen mencobanya dan segera akan terbukti.” 

“Coba pinjam pedangmu, Adik Qian,” kata Ketua Shen kepada Qian dan setelah menyingsing lengan baju, dengan tersenyum ia berkata, “Awas Adik Lei!” Habis itu pedang pinjamannya terus menebas.

 Agaknya Lei sengaja berlagak menirukan lelaki kumal tadi, dengan tangan kiri memegang cawan arak dan tangan kanan memegang “pedang pusaka” untuk menangkis secara acuh. Maka terdengarlah suara “trang, krek, trang, bluk”, benar juga kutungan pedang telah jatuh ke lantai, tapi bukan pedang Ketua Shen yang patah melainkan “pedang pusaka” Lei. 

Suara-suara “trang-krek-trang-bluk” yang terjadi dimulai dengan beradunya kedua pedang, lalu jatuhnya kutungan pedang, suara ketiga karena pecah berantakannya cawan arak Lei dan suara gedebukan terakhir itu adalah karena Lei jatuh terduduk saking kagetnya. Keruan muka Lei pucat pasi seperti mayat, bahkan kawan-kawannya juga melongo terkesima seperti patung

“Hm, masakah begini macamnya pedang pusaka?” dengus Ketua Shen sambil melemparkan pedangnya kepada Qian. 

“Tapi ... tapi tadi jelas ... jelas ....” demikian dengan menyengir Lei berusaha menerangkan. 

“Yang jelas kau telah tertipu,” ejek Ketua Shen. 

Mendadak Lei sadar, serentak ia melompat bangun dan mengumpat, “Mana orang tadi? Kurang ajar ....” 

“Hus! Jangan sembrono!” cepat Ketua Shen membentaknya.

 Karena itu Lei tidak jadi mengumpat lebih lanjut, jawabnya dengan sikap kikuk, “Ada ... ada pesan apa, Ketua.”

Kini dia telah menyebut “Ketua” lagi kepada pimpinannya, namun Ketua Shen tetap anggap tidak tahu saja, ia bertanya dengan dingin, “Bagaimana macamnya orang tadi?” 

“Seorang lelaki kumal, mungkin orang gelandangan, cuma perawakannya tinggi besar,” tutur Lei.

Ketua Shen termenung sejenak, mendadak air mukanya berubah dan bertanya pula, “Apakah kedua alis orang itu sangat tebal dan tulang pipinya menonjol, matanya setengah terpejam seperti orang selalu mengantuk saja.”

 “Ha, betul. Ketua kenal dia?”

 Ketua Shen memandang sekejap kepada Lei, lalu memandang Qian pula, tiba-tiba ia menengadah dan menghela napas panjang, lalu berkata, “Sungguh sayang, kalian sudah sekian lama ikut padaku, kalian ternyata bermata tapi tidak bisa melihat alias buta melek.” 

Lei hanya munduk-munduk saja, sekarang dia tidak berani membantah sepatah kata pun

. “Memangnya apakah kalian tahu siapa gerangan lelaki tadi?” tanya Ketua Shen lagi. 

Semua terdiam dan saling pandang dengan bingung. Akhirnya mereka tanya berbareng, “Siapa dia?”

Dengan sekata demi sekata Ketua Shen menjawab, “Dia tak lain tak bukan ialah si pedang sakti Yan Nan Tian, Pendekar Yan! Yaitu orang yang khusus ingin kutemui di sini sekarang.” 

Belum habis sang ketua menjelaskan, “bluk”, kembali Lei jatuh terduduk dengan mulut ternganga.

No comments:

Post a Comment